5 Pemuda Demonstran Hongkong yang Melarikan Diri dengan Perahu Karet Tiba di AS

oleh Jin Shi

Suatu pagi di pertengahan Juli 2020. Sebanyak 5 orang pemuda asal Hongkong berangkat dari sebuah dermaga terpencil dengan menumpang perahu karet yang mereka beli sendiri. Mereka hanya membawa iPhone dan kompas untuk memandu mereka melewati ratusan mil laut lepas hingga tiba di Taiwan.

Usia kelima pemuda itu berkisar antara 18 hingga 26 tahun, dan mereka hampir tidak saling mengenal sebelumnya. Namun tekad dan tujuan yang sama, yaitu melarikan diri dari Hongkong untuk menghindari penindasan dan penangkapan oleh pemerintah Hongkong telah menyatukan mereka. Kelima orang pemuda tersebut semua telah berpartisipasi dalam Gerakan Anti Perubahan UU Ekstradisi pada tahun 2019.

Setelah perjalanan yang mendebarkan, kelima orang pemuda ini akhirnya tiba di Amerika Serikat dengan menerima suaka. Reporter ‘Wall Street Journal’ baru-baru ini, mewawancarai 3 orang dari mereka dan mengungkapkan kisah pelarian yang tidak diketahui publik ini. Menurut laporan, Ini adalah satu-satunya kasus sukses yang dikonfirmasi dari sekelompok orang yang melarikan diri ke alam kebebasan dengan menumpang perahu karet.

Di antara lima orang tersebut, Ray, 25 tahun, adalah seorang staf pergudangan. Pada bulan November 2019, ia berpartisipasi dalam konfrontasi antara pengunjuk rasa dan polisi di dua universitas di Hongkong selama beberapa hari. 

Ketika itu, polisi Hongkong menangkap lebih dari 1.000 orang pengunjuk rasa. Ray mengatakan bahwa berkat merangkak di sepanjang rel kereta api dalam kegelapan malam itu, dirinya berhasil lolos dari penangkapan. Selanjutnya, pihak berwenang sempat berkali-kali mendatangi apartemen tempat tinggal orang tuanya, tetapi dia terus bersembunyi di luar.

Tommy yang berusia 22 tahun, adalah mahasiswa akademi seni. Dia dipenjara selama tiga hari dengan alasan terlibat dalam pertemuan ilegal dan kemudian dibebaskan dengan jaminan. Tommy mengatakan bahwa pihak berwenang menyita paspornya untuk mencegahnya meninggalkan Hongkong secara legal, dan sejumlah tuduhan lainnya yang datang menyusul.

Kenny yang berusia 26 tahun adalah seorang insinyur sipil. Dirinya terlibat bentrok dengan polisi dalam sebuah protes. Kenny kemudian didakwa dengan berbagai kejahatan, termasuk menyerang petugas penegak hukum. Dia mengatakan bahwa selama penahanannya, polisi meninju bagian belakang kepalanya sampai dia kehilangan kesadaran.

Menghadapi masa depan yang tidak menentu, ketiganya akhirnya memutuskan untuk melarikan diri dari kampung halamannya Hongkong. Ketiga pemuda tersebut masing-masing mengeluarkan USD. 1.300 untuk membeli speedboat angin bermesin ganda. Kemudian 2 orang pemuda lainnya ikut bergabung. Setelah itu munculnya adegan seperti yang diutarakan di atas, yakni di suatu dini hari kelima orang yang semuanya mengenakan T-shirt dan celana pendek itu berkumpul di dermaga terpencil, yang satu membawa pancingan, dan yang lain membawa seluruh tabungannya.

Mereka mengendarai speed boat dengan kecepatan penuh untuk melintasi perairan berarus deras. Ray masih ingat bahwa mereka sempat ketakutan setengah mati ketika menemui kapal yang tidak mereka kenal sedang berlayar. 

Setelah 5 jam berada dalam situasi seperti ini, GPS menunjukkan bahwa mereka telah meninggalkan perairan Tiongkok dan memasuki perairan internasional. Pada saat ini, semua orang baru dapat menghela nafas lega. Dalam kegelapan malam itu, mereka mengirimkan sinyal bahaya dengan senter. Akhirnya, sebuah kapal penjaga pantai Taiwan menemukan mereka dan membawa mereka ke Pulau Dongsha.

Ada dari kelima orang pemuda itu yang berniat untuk tinggal di Taiwan, tetapi karena pemerintah Taiwan khawatir dengan kemungkinan Dongsha nantinya mendapat serangan dari komunis Tiongkok akibat menerima mereka. Oleh karena itu, Kementerian Luar Negeri AS turun tangan untuk menangani insiden tersebut setelah mengetahui kejadian tersebut. 

Pada 13 Januari tahun ini, kelima pemuda itu diterbangkan ke New York melalui jalur Zurich, Swiss.

Samuel Chu, direktur Dewan Demokrasi Hongkong ( Hong Kong Democracy Council US. HKDC), yang berpartisipasi dalam penyelamatan kelima orang pemuda Hongkong ke Amerika Serikat, menyamakan operasi ini dengan Operasi Yellowbird yang menyelamatkan para pembangkang daratan Tiongkok setelah peristiwa pembantaian Tiananmen 4 Juni 1989.

Kelima pemuda tersebut dalam pernyataan bersama menyebutkan bahwa mereka sempat memiliki perasaan campur aduk saat meninggalkan Hongkong. Dan, sekarang setiap kali mereka melihat situasi di Hongkong yang terus berubah memburuk, perasaan mereka semakin khawatir dengan masa depan Hongkong. 

Melalui pernyataan bersama itu, mereka ingin menyampaikan kepada rakyat Hongkong dengan meminjam ucapan dari seorang warga Hongkong yang pernah menyemangati mereka ketika masih berada di Hongkong, yakni selama cahaya redup itu belum sirna, maka tidak ada sebutan kegelapan.

Kini, kelima orang pemuda ini telah memulai kehidupan baru mereka di Amerika Serikat. Ray dan Tommy, ingin menyelesaikan studi mereka di New York dan bergabung dengan Angkatan Darat AS. Kenny pindah ke Washington, ibu kota AS untuk tinggal bersama beberapa pengungsi asal Hongkong, dan berencana mendirikan sebuah kelompok untuk membantu para pengunjuk rasa dalam Gerakan Anti-Ekstradisi lainnya.

Selama peringatan 4 Juni tahun ini, mereka berpartisipasi dalam peringatan yang diadakan di New York. Tommy mengatakan bahwa pengalaman diri dan kawan-kawannya, tidak jauh berbeda dengan mahasiswa yang melakukan protes di Lapangan Tiananmen tahun itu. 

“Kita adalah sekelompok orang yang mengalami penindasan dari Partai Komunis Tiongkok,” katanya. (sin)