Kota Perbatasan Tiongkok Di-Lockdown Selama Setahun, Rezim Tak Mengulurkan Dukungan bagi Warga yang Hanya Hidup Mengandalkan Tabungan

Nicole Hao

Rezim Tiongkok sudah membuat penduduk di Ruili, sebuah kota perbatasan negara itu dengan Myanmar, di-lockdown selama hampir setahun sebagai cara untuk mengekang wabah COVID-19 di Tiongkok, tetapi  belum memberikan dukungan yang cukup kepada warga, menurut pengakuan seorang penduduk setempat.

Seorang penduduk Kota Ruili, Provinsi Yunnan dengan menggunakan nama samaran Gao,  kepada The Epoch Times pada 2 September mengatakan bahwa dia tidak dapat bekerja selama 12 bulan terakhir. Akibatnya, keluarganya tidak memiliki penghasilan, tetapi karena mereka belum menjadi pengemis, rezim hanya memberikan mereka tujuh kentang sepanjang tahun.

Sayangnya, keadaan mungkin memburuk di masa depan, menurut Gao, yang tinggal bersama keluarganya di kotapraja Mengxiu, Ruili.

“Tabungan kami hanya bisa menghidupi keluarga kami untuk hidup dua bulan lagi. Ini mengerikan tetapi kami tidak punya solusi,  kami hanyalah penduduk biasa, tidak punya cara untuk mencari nafkah. Kami tidak punya penghasilan! … Siapa yang berani protes? pasukan di perbatasan lima kali lipat penduduk kita. Begitu kami protes, kami akan langsung ditahan!,” ujarnya. 

Gao menjelaskan mengapa zona perdagangan Jiegao di kota itu—bekas pusat beberapa wabah COVID-19 dalam beberapa bulan terakhir—telah dilaporkan oleh partai komunis sebagai bebas dari virus Komunis Tiongkok, umumnya dikenal sebagai coronavirus.

“Rezim mengumumkan Jiegao bebas virus. Itu karena sebenarnya bebas dari orang. Semua warga [dipaksa] pindah.… Kami tidak diizinkan pergi ke sana, baru-baru ini, kami [total 210.500 penduduk di kota Ruili] diminta untuk menjalani tes COVID setiap tiga hari di perkotaan dan seminggu sekali di pedesaan,” ujarnya. 

Untuk mengendalikan penyebaran virus, rezim memberlakukan kontrol ketat terhadap pergerakan orang-orang.

“Setiap hari, [pemerintah Tiongkok] hanya mengizinkan belasan orang dari Myanmar untuk memasuki Ruili, tetapi ada lebih dari 100.000 warga Tiongkok masih di Myanmar yang ingin kembali.… Ruili adalah satu-satunya pelabuhan di mana [rezim] mengizinkan orang masuk dari Myanmar,” kata Gao.

Karena jalur perbatasan melewati banyak desa, beberapa warga Tionghoa yang telah menikah dengan warga Myanmar dan dengan demikian memiliki kerabat di kedua negara. Gao mengatakan bahwa sangat sulit bagi penduduk untuk meninggalkan Ruili. Bahkan lebih sulit bagi mereka untuk masuk kembali ke kota.

Sebelum pandemi COVID-19, masyarakat setempat dapat dengan mudah melintasi perbatasan di berbagai pelabuhan dengan menggunakan pass yang valid di kedua pihak. Setelah pandemi, rezim Tiongkok mengusir warga Myanmar, tetapi juga tidak mendukung kepulangan warga negara Tiongkok dari Myanmar.

Lockdown Sepanjang Tahun

Rezim Tiongkok telah mengunci kota segera setelah mendeteksi infeksi virus lokal selama 17 bulan terakhir. Ruili di-lockdown pada 14 September 2020. Sejak itu,  Ruili terus-menerus menderita wabah, yang menyebabkannya tetap di-lockdown sebagian atau seluruhnya.

“Dalam setahun terakhir, kami sering di-lockdown di rumah, Kami tidak punya penghasilan. Kehidupan warga biasa sangat sulit. Pemerintah setempat memberitahukan kapeada kami jika kami semiskin pengemis yang tidak memiliki tabungan, kami dapat mengajukan permohonan jaminan sosial. Kemudian, pemerintah akan memberi kami beras dan mie instan,” ujar warga itu. 

“Saat ini, tidak ada peluang kerja di Ruili. Semua pabrik dan perusahaan tutup. Pihak berwenang memberi tahu kami bahwa sangat mungkin kami akan dikurung terus menerus selama setengah tahun lagi,” tambahnya. 

Namun demikian, biaya hidup lebih tinggi daripada sebelum wabah, demikian Gao mencatat. Harga pangan naik karena terbatasnya pemasok yang disetujui pemerintah dan kontrol transportasi yang ketat. Anak-anak menghadiri kelas online, tetapi bayarannya tetap setinggi sebelum pandemi.

Gao mengatakan beberapa penduduk setempat telah pergi atau berencana meninggalkan kota, tetapi mereka perlu mengajukan izin khusus dan membayar tes COVID-19 di rumah sakit setempat, yang tidak murah.

Dia juga mengatakan bahwa penduduk dari Jiegao berada dalam situasi yang lebih buruk, karena mereka tidak dapat kembali ke rumah mereka selama berbulan-bulan dan harus menyewa kamar di kota-kota lain di Ruili atau, jika mereka beruntung, tinggal dengan kerabat atau teman-teman mereka.

Sejak April 2020, rezim Tiongkok  mengklaim bahwa wabah virus terkendali dan hanya mengumumkan infeksi terbatas setiap hari. Pada 5 September, rezim mengumumkan satu kasus infeksi COVID-19 yang baru di Guangzhou, Provinsi Guangdong. Rezim menyatakan bahwa pasien telah tertular virus ketika dia membuang sampah dari sebuah hotel yang digunakan untuk mengkarantina penumpang yang kembali ke Tiongkok dari luar negeri. (Vv)