Perusahaan Selebriti Tiongkok Beramai-ramai Tutup Dikarenakan Komunis Tiongkok Mengawasi Industri Entertainment dengan Ketat

Alex Wu

Ketika rezim komunis Tiongkok terus-menerus menekan industri hiburan, ratusan studio dan perusahaan milik para selebriti di daratan Tiongkok baru-baru ini akhirnya tutup. 

Rezim Tiongkok menargetkan industri hiburan dengan pemeriksaan yang lebih ketat untuk penghindaran pajak. Sementara itu, bintang-bintang top Tiongkok, seperti Zhao Wei dan Zheng Shuang,  dimasukkan dalam daftar hitam oleh media yang dikelola pemerintah dan klub penggemar mereka ditutup dengan cepat.

Studio seni yang terdaftar dengan nama-nama selebriti  berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir, tetapi tahun ini banyak dari studio seni ini telah mengajukan permintaan untuk ditutup. Sejauh ini, lebih dari 700 studio telah ditutup. Di Juni saja, lebih dari 100 perusahaan mengajukan pembubaran.

Menurut data publik, pada tahun 2016, angka pertumbuhan pendaftaran tahunan studio seni dan perusahaan para selebritis  mencapai hampir 100 persen, dan jumlah perusahaan baru pada tahun 2018 melebihi angka 3.000.

Namun, per 12 September 2021, baru ada sekitar 260 yang baru perusahaan terdaftar milik para selebriti tahun ini, turun 278 persen dari periode yang sama tahun lalu.

Seorang petugas keuangan studio yang tidak disebutkan namanya mengatakan kepada media berbahasa Mandarin, bahwa para selebriti mendaftarkan studio individu sebagai kepemilikan tunggal untuk menghindari pembayaran pajak penghasilan perusahaan tersebut dan untuk memperoleh tarif pajak yang relatif rendah.

Selain itu, beberapa bintang dengan pendapatan lebih tinggi mendirikan beberapa studio, masing-masing dengan jumlah pekerja yang sedikit, untuk membayar pajak di setiap studio secara terpisah, untuk membayar pajak lebih sedikit.

Mengenai tindakan keras rezim Tiongkok terhadap industri hiburan, para analis yakin ada alasan-alasan ekonomi dan politik di baliknya.

Analis hubungan terkini yang berbasis di Amerika Serikat, Li Zhengkuan, menulis dalam komentarnya untuk The Epoch Times berbahasa Mandarin bahwa, rezim komunis Tiongkok menghadapi perlawanan yang lebih kuat dari demokrasi Barat pada tahun-tahun belakangan ini, ditambah dengan depresi yang disebabkan oleh epidemi COVID-19 dan

krisis ekonomi dalam negeri. Untuk mencegah rezim Tiongkok runtuh, Komunis Tiongkok yang berkuasa memperketat cengkeramannya atas semua sumber daya. Menutup negara, hanya mengizinkan satu suara, dan bersiap untuk perang telah menjadi pilihan kebijakan pemimpin  Komunis Tiongkok Xi Jinping.

Li Zhengkuan mengatakan, Kali ini Komunis Tiongkok yang menargetkan industri hiburan tidak hanya ‘memotong bawang’ ( semacam istilah Tiongkok yang populer untuk menggambarkan rezim Tiongkok yang merampas uang dari orang-orang melalui manipulasi kebijakan), tetapi juga mempromosikan apa yang disebut ‘kemakmuran bersama,’ dan mengambil kesempatan untuk meluncurkan Revolusi Kebudayaan yang kedua.

“Ini juga melibatkan perjuangan politik yang sengit antara pemimpin puncak Partai Komunis Tiongkok. Karena faksi-faksi Partai Komunis Tiongkok yang berbeda berada di belakang korupsi industri hiburan Tiongkok,” ujarnya.  

Sementara itu, Komentator  Tang Qing mencatat bahwa tindakan keras terhadap industri hiburan adalah untuk memperkuat otoritas Partai Komunis Tiongkok. Seni dan opini publik hanya dapat dikendalikan oleh Partai Komunis Tiongkok, bukan oleh orang-orang kaya atau para selebriti Tiongkok.

“Ketika jumlah penggemar seorang bintang melebihi jumlah anggota Partai Komunis Tiongkok, maka Partai Komunis Tiongkok tidak akan mengizinkan jumlah penggemar tersebut dan harus menindaknya,” demikian tulis Tang Qing dalam artikelnya untuk The Epoch Times berbahasa Mandarin. (Vv)