Tekanan Beijing Mengancam Pemindahan Patung Pembantaian Tiananmen di Hong Kong

oleh Anders Corr

Rencana pemindahan “Pillar of Shame” sebagai simbol peringatan pembantaian Tiananmen di Beijing menjadi sorotan luas.  Barat didorong harus melarang perusahaan untuk bekerja sama dengan rezim totaliter seperti Tiongkok dalam penindasan demokrasi dan kebebasan berbicara.

Sebuah universitas di Hong Kong menggunakan sebuah firma hukum Amerika Serikat dan Inggris, untuk menghapus sejarah fisik pembantaian Lapangan Tiananmen, dalam bentuk membantu memindahkan sebuah patung yang hampir sakral di Hong Kong di mana terukir korban-korban pada 4 Juni 1989.

Patung tersebut dibuat oleh pematung Denmark Jens Galschiot menggambarkan sebuah  “Pillar of Shame”  yang menunjukkan dalam perincian memilukan dan emosional penderitaan puluhan pengunjuk rasa pro- demokrasi di Lapangan Tiananmen.

Pada 7 Oktober, firma hukum Chicago dan London, Mayer Brown mengirimkan sebuah surat atas nama Universitas Hong Kong ke sebuah organisasi Hong Kong yang merupakan pengurus patung tersebut. Surat itu menuntut pemindahan patung tersebut pada 13 Oktober pukul 17.00 dan mengancam pembuangan patung tersebut.

“Mereka benar-benar ingin menghancurkan segala sesuatu mengenai sebuah cerita yang tidak diinginkan Tiongkok untuk diketahui oleh orang-orang,” kata Jens Galschiot kepada ArtNet, sebuah situs berita seni. 

“Saya harap lembaga-lembaga seni di seluruh dunia akan melakukan sesuatu [mengenai hal ini]. Ini adalah sebuah monumen yang termasuk seni. Kami menyerukan tindakan tetapi tidak banyak waktu,” tambahnya. 

Jens Galschiot mengatakan kepada ArtNet bahwa karyanya tidak hanya berfungsi sebagai sebuah monumen, tetapi juga sebagai sebuah batu nisan bagi korban-korban yang dibantai di Tiananmen. 

“Kami semua percaya bahwa suatu hari nanti, kami akan meletakkan patung tersebut di Lapangan Tiananmen di Beijing, Satu hari, Tiongkok akan berubah. Itu adalah mimpi kami, tetapi sekarang ini adalah sebuah mimpi buruk,” kata sang seniman. 

Organisasi Hong Kong, yang disebut Aliansi Hong Kong untuk Mendukung Gerakan-Gerakan Demokratik Patriotik Tiongkok, menanggapi dengan suratnya sendiri yang memprotes ancaman pemindahan patung tersebut. Surat itu menunjukkan bahwa setelah lebih dari 20 tahun, memberi organisasi tersebut hanya beberapa hari untuk mengatur pemindahan patung yang rapuh itu adalah tidak dapat diterima.

Aliansi Hong Kong telah mengadakan peringatan Lapangan Tiananmen selama tiga dekade, tetapi sekarang banyak penyelenggaranya telah ditangkap di bawah undang-undang keamanan nasional yang baru, dan berada di penjara. 

Jens Galschiot sendiri memiliki kehilangan kontak dengan penyelenggara tersebut. Polisi menggerebek dan menyita barang-barang yang dipamerkan dari Museum Aliansi Hong Kong pada 4 Juni, yang kini telah dipindahkan secara online.

Lebih dari 180.000 orang berpartisipasi dalam nyala lilin untuk mengenang para korban Pembantaian Tiananmen 1989, di mana demonstrasi massal yang belum pernah terjadi sebelumnya dibubarkan oleh tentara yang dikirim oleh rezim komunis Tiongkok. (Sung Pi Lung/The Epoch Times)

Sang seniman menggambarkan ancaman pemindahan patung itu sebagai tidak adil dan tidak bermoral.

“Mereka memberi orang-orang itu waktu lima hari untuk memindahkan patung itu, itu adalah tidak mungkin. Banyak mahasiswa di penjara, ini benar-benar gila dan tidak adil. Saya memiliki sebuah kesepakatan dengan universitas tersebut untuk pameran permanen patung ini,” kata Jens Galschiot kepada CNN. 

“Ini adalah sebuah pernyataan besar dari pemerintah Tiongkok jika mereka memindahkan patung tersebut. Patung tersebut adalah satu-satunya monumen yang mengingat tindakan keras Tiananmen, secara moral itu adalah sebuah  masalah besar,” imbuhnya.

“Pillar of Shame” di Hong Kong adalah karya paling terkenal dari Jens Galschiot dari sebuah karya besar potongan-potongan patung dan konseptual. Dua “Pillar of Shame”  lainnya didirikan dalam rangkaian tiga patung. “Pillar of Shame”  yang kedua diresmikan di Meksiko pada tahun 1999, untuk menggambarkan penindasan terhadap masyarakat adat; dan “Pillar of Shame”  yang ketiga diresmikan di Brasil pada tahun 2000, untuk menggambarkan sebuah pembantaian terhadap petani-petani yang tidak memiliki tanah.

“Pillar of Shame”  di Hong Kong, yang dapat dibilang sakral bagi perjuangan Tiongkok untuk demokrasi, adalah yang pertama kali diresmikan, dengan penuh rasa pedih, seminggu sebelum serah terima Hong Kong dari Inggris ke Tiongkok pada tahun 1997. 

“Pillar of Shame” direlokasi pada tahun 1998 ke Universitas Hong Kong, di mana setiap tahun dicuci oleh para aktivis pro-demokrasi menjelang persiapan peringatan Tiananmen.

“Rasanya menakutkan, seminggu sebelum serah terima Hong Kong dari Inggris ke Tiongkok. Tetapi setelah beberapa bulan, tidak terjadi apa-apa. Tiongkok membuat pengaturan satu negara, dua sistem dan hal itu adalah baik-baik saja. Tetapi sekarang, hanya ada satu negara, satu sistem,” kata Jens Galschiot, yang berada di Hong Kong pada tahun 1997 untuk instalasi awal kepada ArtNet.

Kepercayaan dan kekuatan Beijing berkembang pesat di Hong Kong, menyusul penindasan brutal terhadap protes pro-demokrasi Hong Kong pada tahun 2019 hingga 2020, sebuah kurikulum pendidikan nasionalis Tiongkok yang lebih baru, sebuah hukum keamanan nasional yang mengkriminalisasi opini politik terhadap Beijing, dan sebuah hotline keamanan nasional di mana para aktivis pro-demokrasi dapat dilaporkan.

Universitas Hong Kong mengutip nasihat hukum dalam keputusannya untuk memindahkan patung tersebut, dan cenderung di bawah tekanan yang semakin meningkat dari Beijing untuk menghapus seni, kebudayaan, dan beasiswa yang mendukung demokrasi.

Kantor Mayer Brown di Chicago dan Hong Kong tidak segera menanggapi sebuah permintaan komentar. Kontak hubungan masyarakat Mayer Brown adalah sama untuk Beijing dan Hong Kong.

Sementara Mayer Brown memiliki kantor-kantor hukum di 24 kota di seluruh dunia–termasuk Hong Kong, Beijing, Shanghai, dan Brussel–dan dapat dikatakan adalah sebuah pilihan yang masuk akal untuk menavigasi masalah internasional yang kompleks ini, keterlibatan sebuah firma yang berbasis di Amerika Serikat yang berada di Universitas Hong Kong memiliki efek, disengaja atau tidak, menempatkan beberapa kesalahan atas kemarahan kebudayaan ini pada Amerika Serikat.

Argumen apa pun yang menyatakan bahwa semua klien berhak mendapatkan perwakilan hukum tidak akan berhasil di sini. Universitas Hong Kong tidak menghadapi tuntutan di ruang sidang. Ada banyak pengacara Hong Kong yang dapat mengirim surat tersebut dengan biaya yang jauh lebih murah.

Dan, kediktatoran totaliter, seperti Beijing dan universitas di Hong Kong yang harus semakin melayani Partai Komunis Tiongkok, dapat dikatakan tidak pantas mendapatkan layanan- hukum Amerika Serikat dalam upaya mereka untuk menghapus sejarah berdarah milik mereka sendiri.

Kepemimpinan Mayer Brown menunjukkan kurangnya penilaian yang mendalam dalam menerima tugas yang tercela secara moral ini. Situasi tersebut menunjukkan kebutuhan untuk undang-undang Amerika Serikat, Inggris, dan Eropa yang baru terhadap bisnis yang membantu dalam penindasan demokrasi dan kebebasan berbicara di luar negeri. 

Demi mendapat sedikit uang, bisnis yang tidak bermoral bersedia membayar untuk Beijing, mencoreng nama baik Amerika Serikat dan sejarah panjang Amerika Serikat dalam membela kebebasan dan demokrasi di seluruh dunia. (Vv)

Anders Corr memiliki gelar sarjana/master dalam ilmu politik dari Universitas Yale (2001) dan gelar doktor dalam bidang pemerintahan dari Universitas Harvard (2008). Dia adalah kepala sekolah di Corr Analytics Inc., penerbit Journal of Political Risk, dan telah melakukan penelitian ekstensif di Amerika Utara, Eropa, dan Asia. Dia menulis “The Concentration of Power” (akan terbit pada tahun 2021) dan “No Trespassing,” dan mengedit “Great Powers, Grand Strategies.”