Dolar Amerika Serikat Terus Mengalir ke Genosida yang Dilakukan Tiongkok

oleh Emel Akan

Dana-dana yang dipertanggungjawabkan secara sosial mendapatkan banyak perhatian dalam beberapa tahun terakhir tetapi jutaan orang Amerika Serikat masih memiliki banyak saham perusahaan yang terikat dengan rezim genosida dan tidak tahu bagaimana mengenalinya di dalam portofolio investasi mereka.

Perusahaan pengelola dana tidak memberikan transparansi yang cukup kepada pelanggannya mengenai kepemilikan mereka, menurut pengacara hak asasi manusia. 

Oleh karena itu sebagian besar investor tidak tahu apakah portofolio yang mereka miliki, bebas dari perusahaan yang secara substansial berkontribusi pada genosida atau kejahatan terhadap kemanusiaan.

Hal ini semakin menjadi sebuah masalah bagi investor, terutama holding sekuritas Tiongkok melalui dana-dana yang diperdagangkan di bursa yang dikelola secara pasif.

Pemerintahan Donald Trump pada Januari, mendeklarasikan perlakuan rezim Tiongkok terhadap orang-orang Uyghur dan etnis minoritas Muslim lainnya di wilayah Xinjiang jauh di barat sebagai sebuah genosida, sebuah posisi yang didukung oleh pemerintahan Donald Trump pada Januari yang juga didukung Joe Biden. Beberapa legislatif negara juga telah mengikutinya, termasuk Kanada, Belanda, dan Inggris.

Pemerintah Amerika Serikat juga telah menjatuhkan sanksi kepada pejabat dan entitas Tiongkok atas penindasannya terhadap orang-orang Uyghur, dan kelompok-kelompok lain, termasuk warga Hong Kong, dan praktisi Falun Gong.

Sementara itu, dana pengelolaan investasi di Amerika Serikat dan di seluruh dunia memegang saham  perusahaan Tiongkok yang mendukung aparat militer dan keamanan rezim komunis, dan membantu pelanggaran hak asasi manusia oleh rezim Tiongkok.

Untuk mengatasi celah ini, Presiden Joe Biden menandatangani sebuah pesan eksekutif pada bulan Juni, yang melanjutkan sebuah aturan era pemerintahan Donald Trump, yang melarang investor Amerika Serikat untuk berinvestasi di perusahaan Tiongkok yang memiliki hubungan dengan militer Beijing. Baik Joe Biden maupun mantan Presiden Donald Trump mengumumkan sebuah keadaan darurat nasional untuk mengatasi ancaman keamanan yang ditimbulkan oleh perusahaan ini.

“Saya telah memutuskan bahwa perlu untuk melanjutkan  kedaruratan nasional,” kata Joe Biden pada 9 November, dalam sebuah pengumuman yang memperpanjang larangan investasi.

“Republik Rakyat Tiongkok semakin mengeksploitasi  modal negara Amerika Serikat untuk sumber daya dan untuk memungkinkan pembangunan dan modernisasi militer, intelijen, dan aparatur keamanan lainnya,” lanjut Joe Biden.

Sementara langkah ini adalah monumental, pemerintah Amerika Serikat adalah lambat dalam menanggapi ancaman yang berkembang yang ditimbulkan oleh rezim komunis, menurut pendukung Tiongkok yang agresif di Washington.

“Tanggapan kebijakan tidak sekuat yang diharapkan,” kata Bill Browder, seorang manajer pengelola investasi global dan aktivis hak asasi manusia, di Forum Tiongkok tahun ini.

“Karena pemerintah Amerika Serikat “ingin mengganggu situasi yang ada sesedikit mungkin karena takut akan serangan balasan di bidang ekonomi,” tambahnya.

Daftar larangan investasi milik Kementerian Keuangan sejauh ini mencakup 59 perusahaan yang beroperasi di sektor teknologi pertahanan dan pengawasan. Orang-orang Amerika Serikat dilarang berinvestasi dalam saham atau obligasi perusahaan ini.

Daftar larangan tersebut mencakup perusahaan terkenal seperti pembuat peralatan telekomunikasi Huawei, produsen pengawasan video Hikvision, pembuat chip Semiconductor Manufacturing International Corp., perusahaan kedirgantaraan Aviation Industry Corp. of China, dan operator seluler milik negara Tiongkok yaitu China Mobile dan China Telecom.

Sementara menolak akses perusahaan Tiongkok ke pasar modal Amerika Serikat adalah sebuah langkah penting, daftar larangan itu sendiri tidaklah luas.

Pada Juni, pemerintah menugaskan Kementerian Keuangan dengan memperbarui daftar larangan tersebut. Namun, Kementerian Keuangan gagal menambahkan perusahaan yang baru, meskipun ada lebih banyak entitas yang mengancam keamanan nasional Amerika Serikat, menurut para kritikus.

Misalnya, ada lebih dari 400 entitas Tiongkok di dalam “daftar entitas” Kementerian Perdagangan, yang melarang ekspor teknologi Amerika Serikat ke perusahaan ini tanpa sebuah izin. Entitas itu ditambahkan karena keprihatinan keamanan nasional atau karena peran entitas tersebut dalam memfasilitasi pelanggaran hak asasi yang dilakukan oleh Beijing.

Hanya kurang dari 1 persen perusahaan ini yang berakhir di daftar larangan investasi milik Kementerian Keuangan, kata Roger Robinson, mantan ketua Komisi Peninjauan Ekonomi dan Keamanan Amerika Serikat-Tiongkok di Kongres, di Forum Tiongkok.

Pada Juni, pemerintah Amerika Serikat menambahkan lima perusahaan tenaga surya yang berbasis di Tiongkok ke daftar entitas tersebut, karena berpartisipasi dalam kampanye kerja paksa Beijing terhadap orang-orang Uighur di Xinjiang. Dua di antara lima perusahaan itu, Hoshine Silicon Industry dan Xinjiang Daqo New Energy, diperdagangkan secara publik dan dapat dipegang oleh indeks utama dan dana investasi.

Para kritikus juga mempertanyakan ruang lingkup daftar entitas tersebut, karena ada banyak perusahaan Tiongkok yang kecil yang luput dari perhatian.

Sebuah laporan baru dari Center for Security and Emerging Technology (CSET) di Universitas Georgetown  menemukan bahwa, hampir 91 persen pemasok peralatan kecerdasan buatan untuk militer Tiongkok tidak ada dalam daftar entitas tersebut.

“Kita berbicara mengenai 5.000 perusahaan Tiongkok dalam portofolio kira-kira 150 juta orang Amerika Serikat,” kata Roger Robinson, mengacu pada semua   perdagangan saham Tiongkok di Amerika Serikat atau bursa lain di seluruh dunia, serta market over-the-counter.

Dan para investor Amerika Serikat tidak tahu berapa banyak dari perusahaan-perusahaan ini adalah pelanggar hak asasi manusia atau pelanggar keamanan nasional, kata Roger Robinson.

Sementara itu, Kongres Amerika Serikat sedang mengerjakan sebuah tindakan untuk menyingkirkan  perusahaan Tiongkok yang tidak patuh dari bursa Amerika Serikat mulai tahun 2022. Rencana Undang-Undang itu, Undang-Undang Percepatan Meminta Pertanggungjawaban Perusahaan-Perusahaan Asing, yang disahkan Senat dengan suara bulat pada bulan Juni diperkirakan akan dipindahkan melalui DPR segera.

Rencana Undang-Undang tersebut merupakan sebuah tindak lanjut dari Undang-Undang Pertanggungjawaban Perusahaan-Perusahaan Asing, yang ditandatangani menjadi undang-undang oleh Donald Trump pada Desember lalu. Di bawah undang-undang ini, perusahaan asing yang tidak mematuhi audit-audit Dewan Pengawas Akuntansi Perusahaan Terbuka selama tiga tahun berturut-turut, akan dikeluarkan dari daftar bursa Amerika Serikat.

Regulator Amerika Serikat, termasuk Dewan Pengawas Akuntansi Perusahaan Terbuka, tidak dapat memeriksa surat audit perusahaan yang berbasis di Tiongkok, karena Beijing telah menolak untuk mengizinkan pemeriksaan, mengutip alasan keamanan dan privasi nasional.

Rencana Undang-Undang tindak-lanjut yang disponsori oleh Senator John Kennedy (R-La.) berusaha untuk menempatkan lebih banyak tekanan pada perusahaan-perusahaan Tiongkok, yang mengharuskan perusahaan Tiongkok untuk mematuhi standar audit Amerika Serikat dalam dua tahun berturut-turut, bukan tiga tahun berturut-turut.

Bursa saham Amerika Serikat harus memastikan uang investor Amerika tahun berturut-turut tidak digunakan untuk membiayai pelanggaran hak asasi manusia dan genosida, yang dilakukan oleh Beijing, kata Chris Iacovella, CEO American Securities Association yang mewakili perusahaan jasa keuangan yang kecil dan daerah.

Dengan mengesahkan Rencana Undang-Undang bipartisan tersebut, “Kongres dapat terus-menerus melindungi para investor, integritas pasar-pasar kita, dan keamanan nasional kita,” kata Chris Iacovella. (Vv)