Tiongkok dan Rusia Tidak akan Benar-Benar Bergandengan Tangan Apalagi Berperang Demi Kesetiakawanan

oleh Li Yan

Baru-baru ini, terjadi ketegangan pada perbatasan Ukraina akibat penempatan pasukan siap perang Rusia dalam jumlah besar. Sedangkan di Selat Taiwan, situasi ketegangan akibat pesawat tempur Tiongkok terus mondar mandir melewati zona pertahanan Taiwan yang juga memicu fokus perhatian dunia. Akankah Tiongkok dan Rusia bersekongkol untuk menahan Amerika Serikat dan membuat negara adidaya itu gagal dalam menjaga perdamaian kawasan Asia Pasifik ? Para ahli mengatakan tidak mungkin, karena antara Tiongkok dan Rusia belum mencapai tingkat saling percaya yang setinggi itu.

Banyak orang memperkirakan bahwa Rusia mungkin akan menyerang Ukraina tahun depan. karena menempatkan 100.000 orang tentara di dekat perbatasan dengan Ukraina.

Selain itu, pada pertengahan Desember, Presiden Rusia Vladimir Putin meminta NATO menarik semua pasukannya dari negara-negara anggota Eropa Timur, juga minta NATO tidak melakukan kegiatan militer apapun di wilayah Eropa Timur, Asia Tengah, dan Kaukasus yang merupakan wilayah bekas Uni Soviet.

Nikkei melaporkan bahwa negara Barat kemungkinan besar tidak akan menyetujui permintaan dari Rusia ini, tetapi Putin tidak akan menyerah begitu saja. Putin berencana untuk memasukkan kembali negara-negara bekas Uni Soviet ke dalam wilayah Rusia sebagai “halaman belakang”. Masalahnya adalah ini akan berdampak serius pada keamanan Eropa dan seluruh dunia.

Jika krisis Ukraina semakin dalam, kemungkinan besar Amerika Serikat akan kesulitan untuk memindahkan sejumlah pasukannya dari Eropa ke kawasan Indo-Pasifik. Dengan demikian, Tiongkok bahkan akan lebih berani mengganggu Taiwan dan melakukan ekspansi militer di Laut Tiongkok Timur dan Selatan.

Pada 29 November tahun ini, Kementerian Pertahanan AS merilis sebuah tinjauan tentang penempatan pasukan AS di seluruh dunia, yang menunjukkan bahwa AS tampaknya tidak bermaksud memindahkan kekuatan militer utamanya ke wilayah Indo-Pasifik untuk menghadapi komunis Tiongkok sebagaimana yang diperkirakan banyak orang.

Orang dalam di Washington mengatakan bahwa sebagian alasannya adalah bahwa Amerika Serikat dan Jepang belum menyelesaikan negosiasi soal penempatan militer AS di Jepang, sedangkan meningkatnya ketegangan di Ukraina dan Iran telah menghambat Amerika Serikat dalam melakukan penyesuaian mengenai penempatan militernya yang berskala besar.

Pembicaraan yang bertujuan untuk menyelamatkan kesepakatan nuklir Iran tahun 2015 dilanjutkan minggu ini. Tujuan bersama Amerika Serikat, Eropa, Israel, dan negara-negara Teluk adalah untuk membatasi pengembangan teknologi rudal balistik Iran. Sejak Amerika Serikat menarik diri dari perjanjian nuklir tersebut pada tahun 2018, pelanggaran yang dilakukan Iran terus meningkat.

Nikkei menunjukkan, argumen mengenai Tiongkok dan Rusia, berkonspirasi untuk memprovokasi ketegangan di Ukraina dan Taiwan adalah tidak tepat. Karena Tiongkok dan Rusia belum mencapai tingkat saling percaya yang setinggi itu.

Pakar : Tiongkok dan Rusia tidak akan berperang demi kesetiakawanan

Dari analisis media, menggambarkan bahwa negara-negara Barat harus mencatat tentang hubungan yang terjalin antara Tiongkok dengan Rusia tidak sekuat yang kelihatan. Kedua negara bertetangga ini memiliki perbatasan yang panjang dan terlibat baku tembak pada tahun 1969. Kemitraan mereka tidak dibangun berdasarkan persahabatan atau kepercayaan, tetapi pada penentangan terhadap Amerika Serikat.

Bertetangga dengan Tiongkok, Rusia pasti merasa tidak nyaman. Dikatakan oleh seorang ahli bahwa militer Rusia tidak pernah berhenti melakukan latihan dan simulasi pertempuran untuk mempersiapkan diri, bila terjadi konflik bersenjata dengan Partai Komunis Tiongkok.

Meskipun kedua negara satu sama lain saling memanfaatkan dalam menghadapi Amerika Serikat, tetapi Rusia tidak ingin terlibat dalam konflik di Selat Taiwan, dan Tiongkok pun tidak ingin terlibat dalam masalah di Ukraina.

Nikkei melaporkan bahwa begitu konflik antara Amerika Serikat dengan Tiongkok mengenai masalah Taiwan, meningkat menjadi perang skala penuh, Rusia mungkin saja terlibat di dalamnya melalui beberapa cara. Tetapi inilah yang diam-diam membuat Putin khawatir.

“Untuk menjaga muka Tiongkok, Putin menyatakan penentangannya terhadap kemerdekaan Taiwan, tetapi dia tidak pernah mengatakan dia akan menerima penyatuan Taiwan dengan kekuatan senjata”, kata Shinji Hyodo, Direktur Departemen Riset Kebijakan dari Riset Pertahanan Nasional Jepang.

“Rusia tidak berniat untuk membela Tiongkok berperang dengan Amerika Serikat di Selat Taiwan. Jika terjadi perang antara Amerika Serikat dengan Tiongkok, Rusia akan menjaga jarak dari konflik”.

Jika Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang berpikir bahwa mereka dapat segera melakukan intervensi antara dua kekuatan besar ini, pemikiran ini juga salah. Karena, bagaimanapun, Tiongkok dan Rusia saling membutuhkan, dan mereka selama ini bergabung untuk melakukan provokasi di Asia dan Eropa.

Dialog dengan Rusia berfokus untuk melawan tindakan hegemonik komunis Tiongkok

Pada paro kedua Oktober tahun ini, 10 unit kapal angkatan laut Tiongkok dan Rusia sekali lagi melewati Selat Tsugaru dan Osumi dan mengelilingi kepulauan Jepang. Pakar militer percaya bahwa Rusia diundang oleh Tiongkok untuk berpartisipasi dalam operasi tersebut.

Pada awal Juli 2017, kapal angkatan laut Tiongkok berlayar ke Laut Baltik untuk berpartisipasi dalam latihan bersama yang diprakarsai oleh Rusia. Ketika konflik antara Tiongkok dan Rusia dengan Amerika Serikat semakin dalam, diperkirakan latihan maritim  seperti itu akan lebih sering terjadi.

Bagaimana seharusnya dunia merespons situasi seperti ini ? Nikkei menjelaskan bahwa Barat perlu memahami tentang hubungan kompleks antara Tiongkok dengan Rusia, dan menemukan titik lemah dari kemitraan ini untuk dimanfaatkan dengan tepat.

Intinya adalah bahwa Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang harus menunjukkan bahwa mereka tidak akan pernah menyerah pada tekanan dari Beijing dan Moskow. Presiden AS Joe Biden juga perlu terus menunjukkan sikapnya. Ia siap memberikan dukungan militer kepada Ukraina untuk melawan intimidasi Rusia.

Pada 7 Desember tahun ini, Biden dan Putin melakukan pertemuan video selama sekitar 2 jam. Gedung Putih kemudian mengeluarkan pernyataan sebagai tanggapan atas pertemuan ini, yang menyebutkan bahwa Presiden Biden menyatakan keprihatinan yang mendalam dari Amerika Serikat dan sekutu Eropa tentang eskalasi militer Rusia terhadap Ukraina, dan menegaskan bahwa jika militer meningkat, Amerika Serikat dan sekutu akan menerapkan strategi ekonomi yang kuat beserta langkah-langkah lainnya sebagai tanggapan.”

Menteri Luar Negeri Ukraina, Dmytro Kuleba mengatakan kepada Reuters pada 8 Desember bahwa pembicaraan antara presiden Amerika Serikat dan Rusia memungkinkan peredaan tegangan terjadi.

“Kontak itu sendiri sudah memainkan peran pencegah dan moderasi”, kata Dmytro Kuleba. Ia juga mengatakan menghargai kontak diplomatik kritis yang telah dilakukan oleh Amerika Serikat, dalam upayanya untuk membawa Rusia kembali ke meja perundingan”.

Nikkei akhirnya menyatakan bahwa cara terbaik untuk menangani hubungan Tiongkok-Rusia, adalah dengan menerapkan pendekatan dialog dan sanksi dua arah terhadap Rusia, sambil berfokus pada melawan tindakan hegemonik Tiongkok. (sin)