Pakar Ungkap Salah Urus Partai Komunis Tiongkok Hingga Otoritarianisme yang Justru Mendorong Menuju Kehancuran Ekonomi

Michael Washburn

Salah urus fiskal, diperparah dengan kecenderungan semakin otoriter Partai Komunis Tiongkok, dengan cepat meruntuhkan kemajuan ekonomi dan sosial serta melakukan persiapan untuk melonjaknya kemiskinan dan kerusuhan sosial di seluruh Tiongkok. Hal demikian diungkapkan oleh para ahli di acara virtual Institut Hudson pada 11 Januari 2022

Acara virtual, “Is China Headed for an Economic Crisis?” atau Apakah Tiongkok Menuju Sebuah Krisis Ekonomi?,” yang menampilkan Thomas Duesterberg, seorang rekan senior di Institut Hudson, sebuah lembaga pemikir yang berbasis di Washington, dan Leland Miller, CEO China Beige Book Internasional.

Melihat Tiongkok saat ini, Thomas Duesterberg menguraikan sejumlah kebobrokan bahwa Partai Komunis Tiongkok dalam beberapa tahun terakhir terbukti sangat tidak siap untuk mengatasi masalah tersebut.

Salah satu masalah terbesar akibat demografi Tiongkok. Apalagi, Tiongkok memiliki apa yang disebut Thomas Duesterberg sebagai sebuah populasi yang menua yang parah, di mana jumlah pria dan wanita usia kerja diperkirakan akan menurun tajam karena persentase total penduduk di tahun-tahun yang akan datang. 

Pada 2050, Thomas Duesterberg memperkirakan, setengah miliar orang Tiongkok akan berusia di atas 60 tahun dan banyak yang akan membutuhkan dukungan luas melalui sebuah sistem kesejahteraan sosial yang memang sudah tegang. Tidak hanya sistem itu terbelakang jika dibandingkan dengan jaringan sosial dan jaringan pengaman sosial ditemukan di negara-negara barat, tetapi juga kekurangan dana.

Yang memperparah masalah ini adalah sebuah tren yang berkembang menuju ketidaksetaraan, yang mengambil banyak sekali bentuk.

“Ada sebuah distribusi pendapatan yang tidak merata, baik secara vertikal maupun secara geografis. IMF mencatat dalam sebuah makalah beberapa tahun yang lalu bahwa dari menjadi salah satu ekonomi paling adil pada tahun 1990, Tiongkok sekarang memiliki ketidaksetaraan yang lebih tinggi dari kebanyakan negara, dengan ketimpangan di wilayah-wilayah perkotaan meningkat tajam. Ketimpangan ini juga meluas ke sistem pendidikan, pekerjaan, ke kesempatan, dan peluang-peluang bagi wanita,” kata Thomas Duesterberg.

Thomas Duesterberg mengutip statistik bahwa wanita saat ini hanya sekitar lima persen dari total keanggotaan komite pusat Partai Komunis Tiongkok, sebuah badan pembuat keputusan tingkat tinggi yang beranggotakan 205 orang, dan menderita sebuah kesenjangan upah yang mencolok.

Lebih lanjut memperumit gambaran ekonomi jangka panjang adalah degradasi lingkungan alam Tiongkok yang sedang berlangsung, seperti udara, air, dan tanah menjadi semakin tercemar di tengah upaya keras Beijing untuk mengendalikan sistem sungai Tiongkok. 

Selain itu, untuk semua sumber daya alamnya, salah urus di puncak berkontribusi hingga kurangnya rasa percaya diri akan kecukupan pangan, energi, dan mineral, kata Thomas Duesterberg.

Menguntungkan Badan Usaha Milik Negara

Semua masalah ini akan cukup menakutkan bahkan di sebuah negara dengan kepemimpinan yang sangat mampu dan transparan. Thomas Duesterberg mengatakan otoritarianisme rezim Xi Jinping yang semakin berkembang  dan kecenderungan untuk mendukung perusahaan milik negara yang penuh dengan kronisme dan ketidakmampuan serta mengesampingkan pemain-pemain sektor swasta, secara serius memperburuk banyak borok-borok ekonomi dan sosial.

“Perkiraan adalah bahwa perusahaan swasta milik negara Tiongkok hanya sekitar 20 persen yang produktif di sektor industri seperti di ekonomi-ekonomi Barat yang maju,” kata Thomas Duesterberg.

“Xi Jinping juga mempromosikan peran pejabat Partai Komunis Tiongkok, di dewan-dewan manajemen perusahaan, sering memajukan efisiensi politik daripada efisiensi ekonomi sebagai tujuan penatalaksanaan,” ujarnya.

Sebuah tindakan keras terhadap sumber-sumber berita independen adalah bagian penting dan mendasar dari pendekatan otoriter rezim Tiongkok dan menempatkan Tiongkok semakin kalah bersaing dengan negara-negara lain. Xi Jinping tidak hanya menolak perusahaan besar Tiongkok dan sukses seperti Alibaba, tetapi juga menolak perusahaan dinamis di pasar digital yang telah siap untuk pertumbuhan di bidang-bidang seperti video-game, ride-sharing, dan perawatan kesehatan, kata Thomas Duesterberg.

Melihat semua tren ini secara keseluruhan, tidak diragukan lagi perihal efek mengulur-ulur terhadap ekonomi Tiongkok, kata Thomas Duesterberg. Menurut angka Thomas Dusterberg, Tiongkok harus mencurahkan 7 yuan hingga 9 yuan untuk setiap yuan yang diharapkan Tiongkok mendapat untung dalam Produk Domestik Bruto secara keseluruhan. 

Thomas Duesterberg mengatakan di tahun-tahun kejayaan tahun 1990-an, angka yang sesuai adalah 1 yuan hingga 2 yuan untuk setiap yuan naik dalam Produk Domestik Bruto.

Rasio keluaran modal yang berkurang, dapat diduga, menyebabkan tingkat-tingkat yang melonjak dari utang publik maupun utang swasta di Tiongkok, Thomas Duesterberg mencatat. Bagian tanggapan Beijing mulai mengejar skema-skema real estat yang semakin sembrono di dalam negeri.

“Pada tahun 1990-an Beijing mulai mengizinkan penjualan tanah, dan pemerintah-pemerintah daerah mengambil kesempatan untuk merekayasa sebuah ledakan dalam pengembangan lahan, yang memungkinkan pemerintah-pemerintah daerah untuk memenuhi beberapa tujuan [tetapi juga] menciptakan sebuah gelembung yang jauh lebih besar dibandingkand dengan gelembung di Amerika Serikat dan Eropa pada tahun 2008, dan sebanding dengan bencana yang menghadapi gelembung-gelembung Jepang pada tahun 1990-an,” kata Thomas Duesterberg.

Ia menekankan, setengah ekonomi Tiongkok dalam dua dekade terakhir telah dikaitkan ke sektor real estat, dan 80 persen kekayaan pribadi sekarang terikat di bidang real estat. Setengah pendapatan dari penjualan setempat dan pajak-pajak pengembangan lahan menjadi tumpuan kesanggupan melunaskan utang dari kkeuangan-euangan pemerintah daerah. 

Thomas Duesterberg memperkirakan semua ini telah mempersiapkan Tiongkok untuk sebuah ledakan bencana besar dari gelembung real estat, menunjuk ke krisis Evergrande dalam beberapa bulan terakhir.

Penurunan Jangka Panjang

Leland Miller setuju dengan sebagian besar analisis Thomas Duesterberg, tetapi mengatakan bahwa ia tidak berpikir Tiongkok siap untuk sebuah “momen Lehman,” merujuk ke keruntuhan bencana besar Lehman Brothers di Amerika Serikat yang memicu krisis keuangan global pada tahun 2008. 

Sebaliknya, Leland Miller mengatakan ia memperkirakan kesengsaraan ekonomi Tiongkok terjadi dengan sebuah cara yang lebih bertahap dari waktu ke waktu.

“Saya pikir konsekuensi dari tantangan-tantangan ini adalah bahwa anda sedang melihat sebuah kemandekan jangka panjang di masa depan,” kata Leland Miller.

Miller menilai, satu hal yang terus anda lihat adalah bahwa dengan semua penumpukan utang ini, begitu banyak utang yang tanpa kinerja, dan dengan semakin banyak modal untuk penggunaan-penggunaan yang tidak produktif daripada penggunaan-penggunaan yang produktif, hal itu memperlambat ekonomi secara dramatis dari waktu ke waktu. 

Thomas Duesterberg dan Leland Miller sama-sama mengidentifikasi sebuah peran modal asing dalam menyelamatkan industri Tiongkok dan mengurangi beberapa masalah yang paling serius. 

Pengerahan kekayaan luar negeri dalam bentuk saham, obligasi, dan modal ventura dapat memberikan peningkatan pengaruh politik untuk membuat Beijing, mematuhi tugas-tugasnya di WTO dan mengekang lebih banyak lagi pelanggaran hak asasi manusia mengerikan yang dilakukanya, demikian penjelasan Thomas Duesterberg. (Vv)