Wanita Uighur Tewas dalam Kamp Kerja Paksa, Otoritas Meluncurkan Kampanye Anti-AS di Universitas Xinjiang

oleh Radio Free Asia

Dari berita yang diperoleh Radio Free Asia dilaporkan bahwa Shazadigul Tomur, seorang wanita warga etnis Uighur yang ditahan di kamp pendidikan ulang di wilayah Xinjiang, telah meninggal dunia karena penyakit lambung pada September 2020 saat melakukan kerja paksa di sebuah pabrik kaus kaki yang berada di dekat kamp.

Selain itu, pihak berwenang Tiongkok mulai meluncurkan kampanye propaganda berskala besar di wilayah Xinjiang terhadap negara-negara Barat, yang dipimpin oleh Amerika Serikat yang menuduh Beijing melakukan pelanggaran hak asasi manusia dan kebijakan genosida terhadap minoritas Uighur. Pihak berwenang juga menggunakan para dosen dan mahasiswa etnis Uighur dalam upaya propaganda anti-Amerika Serikat di universitas-universitas Xinjiang. Berikut akan kita bahas soal kebenaran dari masalah diatas melalui percakapan orang-orang terkait yang direkam oleh RFA.

Sumber yang mengetahui masalah dan pejabat setempat mengungkapkan bahwa Shazadigul Tomur, wanita warga etnis Uighur berusia 45 tahun telah ditangkap di rumahnya dan dibawa ke kamp pendidikan ulang di Toksun County, Turpan pada pertengahan tahun 2018, di mana ia menderita sakit lambung setahun kemudian.

Shazadigul Tomur, warga asli Bositan, Toksun, adalah salah satu dari ribuan orang Uighur yang terbunuh dalam kamp pendidikan ulang Tiongkok yang diyakini telah menampung sebanyak 1,8 juta orang anggota Muslim dan minoritas Turki lainnya sejak Tahun 2017. Banyak warga yang ditahan ilegal dipaksa untuk bekerja di pabrik-pabrik di Xinjiang atau di tempat lain di daratan Tiongkok.

Kerja paksa di Xinjiang telah menjadi titik utama gesekan pada bidang perdagangan antara Tiongkok dengan negara-negara Barat. Karena itu Tiongkok dikenakan sanksi dan pembatasan impor oleh Amerika Serikat dan negara-negara lain, dan memicu seruan untuk memboikot Olimpiade Musim Dingin Beijing.

Pada 23 Desember, Presiden AS Biden menandatangani Undang-Undang Pencegahan Kerja Paksa Uighur (Uyghur Forced Labor Prevention Act), yang melarang impor komoditas dari Xinjiang ke Amerika Serikat tanpa bukti yang jelas dan meyakinkan bahwa komoditas tersebut tidak dibuat oleh pekerja paksa Uighur. Pemerintah Tiongkok dengan marah menolak tuduhan tentang kerja paksa yang dikatakannya “dirancang untuk mencoreng muka Tiongkok.”

Kisah Shazadigul Tomur pertama kali menarik perhatian saat RFA menerima sepucuk surat anonim yang merangkum cerita dari penahanan sampai kematian wanita tersebut. Pejabat setempat juga telah membenarkan kejadian itu melalui sebuah wawancara telepon dengan pejabat RFA.

Penulis surat yang menolak disebutkan namanya karena takut akan tindakan pembalasan oleh otoritas Tiongkok, mengatakan dalam surat yang dikirimkan kepada RFA bahwa Shazadigul dikirim ke kamp pendidikan ulang pada pertengahan tahun 2018 dan meninggal pada September 2020.

Disebutkan juga Shazadigul meninggal dunia saat dipaksa bekerja dengan sekelompok besar tahanan di sebuah pabrik kaus kaki di kamp pendidikan ulang di  Alehui, Tokson.

Ketika wanita itu melaporkan kesehatannya kepada petugas kamp, ​​petugas mengabaikan permohonannya, dengan mengatakan itu bukan pertama kalinya dia memberitahu petugas bahwa dia sedang menderita.

Menurut surat itu, sakit lambung Shazadigul semakin parah sampai-sampai muntah darah saat kerja dalam pabrik pada September 2020. Suatu hari, dia kehilangan kesadaran saat bekerja di pabrik, lalu meninggal dunia.

Surat itu juga mengatakan bahwa sebelum kematiannya, Shazadigul Tomur sudah mengidap penyakit alergi makanan dan tidak bisa makan untuk waktu yang lama. Tetapi hal itu dianggap oleh petugas kamp sebagai mogok makan sukarela, yang membuat dirinya mendapat perlakuan dalam interogasi dan penyiksaan yang lebih parah, tetapi tidak memberinya kesempatan untuk menjelaskan alergi makanannya.

Pejabat kota Bositan yang dihubungi oleh Radio Free Asia mengkonfirmasi bahwa Shazadigul yang bekerja di sebuah pabrik di kamp pendidikan ulang Zhongtai, telah meninggal. Tetapi pejabat itu tidak mengomentari kesehatan wanita itu sebelum dan selama penahanannya.

“Dia meninggal di Rumah Sakit Rakyat Kabupaten,” kata pejabat pemerintah kota itu kepada RFA.

Surat itu juga mengungkspksn bahwa setelah Shazadigul diinterogasi dan disiksa, dia tampaknya sudah terbiasa dengan makanan di kamp pendidikan ulang, tetapi rasa sakit pada lambungnya tidak kunjung baik sampai kemudian ia mengalami rasa sakit yang sangat serius.

Meskipun dia tidak melaporkan kesehatannya yang memburuk kepada petugas kamp, ​​tetapi para petugas itu tahu sering muntah-muntuh, tetapi tetap skeptis terhadap penderitaannya.

Sampai yang terakhir Shazadigul saat tiba di pabrik, dia mengatakan kepada petugas kamp bahwa dia merasa pusing dan tidak enak badan, tetapi mereka tetap memaksaanya untuk ikut  berbaris dengan ribuan pekerja paksa Uighur lainnya dan membawanya ke dalam lokasi untuk bekerja.

Dua jam kemudian, Shazadigul kehilangan kesadaran, muntah darah dan jatuh ke lantai. Petugas membawanya ke rumah sakit, di mana dia dinyatakan meninggal setelah paramedis tidak berhasil menyelamatkan jiwanya.

Seorang petugas polisi Tokson membohongi Radio Free Asia dengan mengatakan bahwa Shazadigul Tomur dibawa dari kamp konsentrasi ke rumah sakit, lalu dibawa ke rumah bukan ke kamp pendidikan ulang setelah perawatan gagal, setelah itu ia meninggal. 

“Dia meninggal di rumah setelah dibawa pulang dari rumah sakit”.

Pejabat itu membenarkan bahwa wanita tersebut bekerja di pabrik kaus kaki. 

“Itu disebut Sekolah Pendidikan Ulang Keempat, dan sekarang masih ada pabrik di sekolah pendidikan ulang itu juga. Mereka membuat kaus kaki dan sejenisnya di pabrik sekolah pendidikan ulang itu”.

Pejabat itu pernah mendengar bahwa Shazadigul memiliki masalah pada paru-parunya, tetapi dia tidak melihat laporan medis apa pun, dan dia tidak tahu bahwa Shazadigul menderita radang dinding lambung / gastritis.

Seorang petugas polisi yang bekerja di kota Bositan, sekitar 40 mil dari kamp pendidikan ulang Zhongtai, sebelumnya pernah memberitahu Radio Free Asia bahwa para tahanan tidak dapat memilih sendiri makanan, mereka harus makan apa yang sudah disediakan pihak kamp, dan petugas kamp pun tidak peduli apakah makanan akan berpengaruh terhadap kesehatan para pekerja paksa itu.

Juga, dalam pernyataan genosida, pihak berwenang Tiongkok meluncurkan kampanye anti-Amerika di Universitas Xinjiang.

Menurut media pemerintah Tiongkok bahwa pada pertengahan Desember 2021, pihak berwenang mulai memobilisasi para dosen dan mahasiswa etnis Uighur beragama Muslim dari universitas di Daerah Otonomi Uighur Xinjiang yang jumlahnya diperkirakan mencapai 12 juta, termasuk mahasiswa dari Universitas Xinjiang, Universitas Kedokteran Xinjiang, Universitas Normal Xinjiang dan Universitas Kashgar.

Laporan media menyebutkan, pihak berwenang berusaha memastikan bahwa tuduhan genosida dan kerja paksa Uighur di Xinjiang yang dilontarkan Barat mendapat penolakan dari kampus dalam pertemuan dan diskusi. Dan melaluinya negara-negara Barat dan organisasi hak asasi manusia internasional yang di bawah kepemimpinan Amerika Serikat telah dicap sebagai organisasi anti-Tiongkok.

Dalam pidato mereka, dosen dan siswa yang memberikan kesaksian mengatakan bahwa AS memimpin kekuatan Barat lainnya untuk membuat tuduhan palsu tentang genosida dan kerja paksa, Mereka juga mengatakan bahwa orang-orang dari semua kelompok etnis di Xinjiang menikmati kesempatan kerja yang sama dan menjalani kehidupan yang bahagia di bawah kepemimpinan Partai Komunis Tiongkok.

Badan legislatif di Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa telah menyatakan perlakuan buruk pemerintah Tiongkok terhadap warga etnis Uighur dan minoritas Turki lainnya di Xinjiang sebagai tindakan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Mereka juga memberlakukan sanksi yang ditargetkan pada mereka yang diyakini bertanggung jawab atas tindakan biadab tersebut.

Analis dan aktivis hak-hak Uighur mengatakan, tuduhan itu telah membuat kampanye propaganda melawan demokrasi Barat yang dipimpin AS semakin kuat.

Mereka mengatakan, AS baru-baru ini telah mengesahkan Undang-Undang Pencegahan Kerja Paksa Uighur dengan dukungan hampir bulat dari seluruh anggota Kongres. UU ini memaksa pemerintah Tiongkok untuk melakukan kampanye propaganda besar-besaran seakan ingin membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah.

Hu Ping, seorang analis masalah Tiongkok yang berada di Amerika Serikat mengatakan, tujuan pemerintah Tiongkok adalah untuk membingungkan masyarakat internasional dengan mempromosikan kebijakannya terhadap Uighur yang telah mendapatkan dukungan dari rakyat daratan Tiongkok. 

“Hal yang lebih penting lagi, bahwa pemerintah Tiongkok mencoba untuk meyakinkan rakyatnya bahwa kebijakan mereka itu tidak salah. Dalam pandangan pemerintah Tiongkok, jika mereka dapat memaksa para intelektual dan para pemimpin budaya etnis Uighur di Xinjiang untuk melakukan propaganda semacam ini, tentunya hasil dari bujukan semacam ini memiliki arti lebih besar ketimbang propaganda yang dilakukan oleh orang-orang etnis Han atau para pemimpin komunis.”

Hu Ping mengatakan, di bawah kepemimpinan Xi Jinping yang naik tahta sejak tahun 2012, kritik terhadap kebijakan bersifat genosida yang diterapkan Partai Komunis Tiongkok terus meningkat, seiring dengan itu pemerintah Tiongkok juga semakin mengkritik demokrasi Barat. Namun Hu Ping percaya bahwa mengeksploitasi kampanye propaganda dengan memanfaatkan para dosen dan mahasiswa etnis Uighur di Universitas Xinjiang akan menjadi kontraproduktif.

“Mengingat perkembangan terakhir di Xinjiang telah dipahami dengan baik oleh dunia luar, tidak mungkin bagi para sarjana dan tokoh budaya untuk memainkan peran sebagaimana yang diharapkan oleh pemerintah komunis Tiongkok,” katanya.                             

Rushan Abbas, direktur eksekutif Gerakan Uighur, sebuah kelompok advokasi yang berbasis di AS, menunjukkan bahwa pemerintah Tiongkok sekarang meningkatkan serangan propagandanya terhadap warga Uighur, karena negara-negara demokrasi Barat, termasuk Amerika Serikat dan Inggris telah mengambil tindakan nyata dalam melawan penindasan pemerintah Tiongkok terhadap warga etnis Uighur.

Pengadilan Uighur independen yang berada di London pada bulan Desember tahun lalu memutuskan bahwa pemerintah Tiongkok telah melakukan genosida terhadap Uighur dan etnis minoritas lainnya di wilayah Xinjiang, untuk itu Xi Jinping bertanggung jawab atas kekejaman tersebut.

Pengadilan rakyat yang tidak didukung negara mendasarkan temuannya pada kesaksian puluhan orang saksi, termasuk warga Uighur yang telah dipenjara, pakar hukum dan akademik tentang operasi Tiongkok di Xinjiang telah menghasilkan sebuah resolusi, yang membuat Beijing marah dan mengutuk panel dan resolusi ini.

Abbas mengatakan bahwa pemerintah Tiongkok sangat terganggu oleh pengesahan Undang-Undang Pencegahan Kerja Paksa Uighur yang baru-baru ini disahkan Amerika Serikat dengan dukungan luas dari anggota parlemen. Untuk tujuan ini, pihak berwenang Tiongkok telah lebih mengintensifkan propaganda mereka untuk melawan Amerika Serikat, menggunakan universitas-universitas di Xinjiang sebagai garis depan perang propaganda. 

“Dengan menargetkan propaganda kepada para intelektual daerah dan mahasiswanya, dan mencuci otak mereka. Melalui pemaksaan agar mereka angkat bicara, pemerintah Tiongkok berusaha menutupi apa yang sebenarnya terjadi di wilayah Uighur, yaitu kejahatannya, seperti genosida dan pembunuhan massal, etnis Uighur adalah budak,” tambah Abbas.

“Dengan memaksa para elit, intelektual, dan mahasiswa Uighur untuk angkat bicara, otoritas Beijing bekerja untuk meningkatkan persuasif dari kebohongan dan disinformasinya sendiri,” katanya.

Rushan Abbas juga mengatakan bahwa tindakan genosida dan kejahatan komunis Tiongkok terhadap kemanusiaan yang sedang berlangsung di Xinjiang telah menjadi bukti yang benar-benar tak terbantahkan. (sin)