PBB Dituduh Berkolusi dengan Tiongkok untuk Menolak Publikasi Laporan HAM Xinjiang Sebelum Usainya Olimpiade Musim Dingin Beijing

oleh Gao Shan

Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Partai Komunis Tiongkok telah dituduh terlibat untuk menciptakan situasi kebuntuan yang saling menguntungkan atas penyelidikan terhadap dugaan pelanggaran HAM di Xinjiang. Sebelumnya, badan hak asasi manusia tertinggi PBB menegaskan bahwa mereka tidak akan mengeluarkan laporan tentang dugaan pelanggaran hak asasi manusia oleh Partai Komunis Tiongkok di wilayah Xinjiang sampai selesainya Olimpiade Musim Dingin Beijing.

Menurut ‘South China Morning Post’, Kantor Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia PBB (OHCHR) mengatakan bahwa belum ada jadwal pasti kapan laporan pertama tentang hak asasi manusia di Xinjiang akan dirilis.

PBB telah bernegosiasi selama bertahun-tahun dengan otoritas Beijing, terkait kunjungan Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia Michelle Bachelet ke Xinjiang. Sedangkan laporan tersebut sudah dalam pengaturan sebelumnya selama 3 tahun.

Tetapi, dokumen yang diperoleh ‘South China Morning Post’ menunjukkan bahwa sikap negosiasi Tiongkok tidak berubah sejak 2019. Hal ini telah menimbulkan pertanyaan tentang sifat dan efektivitas dari negosiasi itu.

Juru bicara OHCHR Liz Throssell mengatakan : “Saya khawatir bahwa kita belum dapat merilis jadwal terbaru untuk laporan itu. Namun, sejauh yang saya tahu, sebelum pembukaan Olimpiade Musim Dingin pada Jumat, laporan tidak akan dipublikasikan”.

Sebelumnya beredar berita bahwa pemerintah Tiongkok telah meminta PBB untuk menunda publikasi laporan tersebut hingga berakhirnya Olimpiade Musim Dingin Beijing, yaitu setelah 20 Februari.

Amerika Serikat telah menekan PBB untuk merilis laporan itu sebelum upacara pembukaan Olimpiade Musim Dingin, di mana Sekretaris Jenderal PBB António Guterres juga akan hadir.

Liz Throssell mengkonfirmasi bahwa pembicaraan mengenai kunjungan Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia Michelle Bachelet ke Xinjiang sedang berlangsung. Dan, itu mungkin akan teralisasi pada paro pertama tahun 2022.

Michelle Bachelet telah merundingkan kunjungan ke Xinjiang dengan Beijing sejak September 2018. Ada laporan bahwa sekitar 1 juta warga etnis Uighur di Xinjiang yang ditahan di kamp-kamp interniran berukuran besar.

Michelle Bachelet mengatakan : “Terutama tidak kalah pentingnya adalah bahwa agar kunjungan semacam ini bermakna, harus dapat menjangkau setiap lokasi dengan tanpa pengawasan, bebas berkontak langsung dengan para aktivis masyarakat sipil, dan melakukan kontak tingkat tinggi dengan pejabat pemerintah. Seperti yang telah ditunjukkan oleh Komisaris Tinggi, bahwa akses yang berarti serta masuk ke wilayah Xinjing dengan tanpa batasan adalah sangat penting”. Namun, pihak berwenang Tiongkok mengatakan kepada Kantor Hak Asasi Manusia PBB, bahwa kunjungan itu harus bersifat persahabatan dan tidak dibingkai sebagai penyelidikan.

Selain itu, karena pemerintah Tiongkok tidak mengubah sikapnya sejak 2019, dokumen yang diungkapkan telah menimbulkan pertanyaan tentang efektivitas negosiasi.

Dalam sebuah surat tertanggal 31 Mei 2019, Chen Xu, Wakil Tetap Tiongkok untuk Kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa di Jenewa, mengundang Michelle Bachelet untuk mengunjungi Tiongkok, termasuk Beijing dan Daerah Otonomi Uighur Xinjiang, dari 15 hingga 22 Juni, 2019.

Emma Reilly, mantan pejabat hak asasi manusia PBB mengatakan undangan yang dikeluarkan oleh Tiongkok pada tahun 2019 maupun 2022 adalah “perjalanan yang berpemandu”. 

Emma menggambarkan kebuntuan yang tampak antara PBB dengan Tiongkok sebagai kebuntuan yang saling menguntungkan. Dia juga mengatakan bahwa mantan bosnya tidak memiliki keinginan untuk membuat Beijing marah. Emma Reilly dipecat oleh PBB pada November setelah dia mengungkapkan bukti bahwa badan hak asasi manusia PBB berbagi daftar pembangkang Tiongkok dengan pihak berwenang Tiongkok.

Perwakilan Tiongkok untuk Kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa di Jenewa tidak menanggapi permintaan komentar.

Menurut dokumen kontemporer yang diperoleh ‘Washington Post’, tahun 2005 adalah terakhir kalinya Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia mengunjungi Xinjiang. Ketika itu, Beijing dan PBB berhasil mencapai nota kesepahaman.

Sebuah tim yang terdiri dari anggota parlemen bipartisan AS pada beberapa waktu lalu menulis surat yang ditujukan kepada Michelle Bachelet untuk mengingatkannya bahwa kantornya sebelumnya telah berkomitmen untuk merilis laporan tersebut pada September 2021.

Dalam surat itu disebutkan : Kami percaya bahwa rilis laporan itu akan mengirimkan pengingat penting, yakni tidak ada negara yang bisa lolos dari pengawasan internasional terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang serius. (sin)