Cuci Otak Rezim Beijing Tidak Berhasil, Tiongkok Masih Dipenuhi oleh ‘Mayoritas yang Diam’

oleh Xu Jian  

Sebuah jajak pendapat pada (18/2),yang dilakukan oleh biro konsultansi pemasaran dan hubungan masyarakat asal Amerika Serikat ‘Edelman International Public Relations’ terhadap 28 negara di seluruh dunia menunjukkan bahwa responden Tiongkok memiliki 91% kepercayaan terhadap pemerintah Tiongkok, meningkat 9 poin persentase dari survei tahun lalu.  Sementara kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah di negara demokrasi selain tidak naik melainkan turun. Dengan penurunan terbesar dialami oleh Jerman, diikuti oleh Australia, Belanda dan Amerika Serikat.

Totalitarianisme pemerintah komunis Tiongkok yang meningkat telah membuat Barat percaya, bahwa tidak ada orang lain selain satu orang di Tiongkok yang dianggap paling penting, yakni Xi Jinping. 

Tetapi, dalam laporan yang dibuat bersama oleh Jennifer Pan, seorang profesor komunikasi di Stanford, dan Xu Yiqing, seorang asisten profesor ilmu politik ditemukan pendapat mereka, bahwa kesimpulan itu hanyalah pemahaman yang sederhana, karena tidak semua warga sipil Tiongkok mendukung kebijakan pemerintah, dan terlepas dari risikonya, beberapa warga sipil tetap bersedia untuk berbagi pendapatnya yang berbeda.

Laporan tersebut selain menantang beberapa penelitian akademis arus utama tentang masalah ini, juga menawarkan pandangan baru di kalangan penduduk Tiongkok. Hal ini membuktikan bahwa cuci otak PKT terhadap rakyat Tiongkok selain tidak seefektif yang diyakini orang luar, juga mengisyaratkan bahwa kebijakan AS terhadap komunis Tiongkok berjalan cukup efektif, yang lebih jauh perlu untuk menyatukan pikiran liberal para ‘mayoritas yang diam’ di Tiongkok.

Warga sipil yang kaya dan berpendidikan lebih mendukung demokrasi dan kebebasan

Data survei yang dikumpulkan selama bertahun-tahun oleh Jennifer Pan dan Xu Yiqing melalui berbagai saluran dan metode menunjukkan bahwa, rata-rata warga sipil Tionghoa yang lebih kaya dan berpendidikan cenderung mendukung sistem politik liberal dan demokrasi, ekonomi pasar, dan pandangan non-nasionalisme ketimbang warga sipil yang rendah pendidikan dan pendapatan.

Meskipun ini tidak berarti bahwa Tiongkok sedang bergerak menuju demokratisasi, data menunjukkan bahwa rezim PKT sedang menghadapi ‘protes tanpa suara’ dari warga yang bersaing dengan pandangan ideologis yang didorong oleh rezim komunis.

Penemuan yang mengejutkan : Kebebasan berbicara lebih penting daripada stabilitas

Dalam satu percobaan, peneliti meminta responden untuk memilih kebijakan yang mereka sukai, dan survei menemukan bahwa sebagian besar responden lebih suka pemerintah mengizinkan kebebasan berbicara, sekalipun hal itu berisiko ketidakstabilan sosial.

Ini adalah temuan mengejutkan yang dengan jelas menunjukkan bahwa mayoritas responden lebih menghargai kebebasan berbicara daripada stabilitas sosial, atau paling tidak responden tidak percaya bahwa kebebasan berbicara pasti menimbulkan ketidakstabilan sosial.

Pandangan tradisional Barat yakin bahwa baik pejabat maupun rakyat di daratan Tiongkok sangat muak dengan konflik apa pun yang dapat menyebabkan “ketidakstabilan”. Jika kebanyakan orang lebih menghargai kebebasan pribadi lebih dari apa yang disebut stabilitas, itu akan membuat dunia luar mempertanyakan, apakah kebijakan represif rezim komunis Tiongkok saat ini diterima oleh kebanyakan warga sipil.

Kebanyakan warga mendukung ekonomi pasar, seakan menampar muka ‘Kemakmuran Bersama’

Di bidang ekonomi, pemerintah Tiongkok telah meningkatkan kontrol otoriter, melakukan intervensi yang lebih besar dalam perekonomian yang berbentuk “kapitalisme negara”, dan menekan sektor swasta. 

Sampai saat ini, hanya sedikit analisis tentang sikap masyarakat Tiongkok dalam masalah ini. Hasil penelitian Jennifer Pan dan Xu Yiqing menemukan bahwa mayoritas responden mendukung ekonomi sektor swasta.

Dalam layanan kesehatan misalnya, mayoritas responden mendukung layanan kesehatan swasta, artinya mereka yang bersedia membayar lebih besar akan mendapatkan perawatan yang lebih baik.

Di sisi lain, masyarakat juga menyadari dan bersedia menerima ‘ketidaksetaraan’ sampai batas-batas tertentu. Ini pernyataan yang luar biasa karena fenomena ketidaksetaraan semakin dipolitisasi oleh rezim penguasa di Tiongkok, dan menggunakannya untuk merampas kekayaan perusahaan swasta dengan kedok Kemakmuran Bersama.

Selain itu, responden menginginkan dukungan yang lebih sedikit untuk perusahaan milik negara dan mengenakan pajak yang lebih rendah untuk perusahaan swasta. Hal ini menunjukkan bahwa warga sipil Tiongkok menginginkan lingkungan persaingan yang setara dan membiarkan pasar yang menentukan prospek perusahaan, bukan keputusan sepihak dari pemerintah.

Apakah patriotisme meningkat ? Warga sipil Tiongkok tidak mendukung perang yang sebenarnya

Jajak pendapat menunjukkan bahwa meskipun sikap patriotis secara umum ada di antara orang-orang Tiongkok, tetapi itu tidak mendukung perang yang sebenarnya. 

Sebagian besar responden lebih memilih untuk memelihara kedaulatan nasional dan integritas teritorial dengan menempuh jalur diplomatik dan ekonomi untuk sedapat mungkin menghindari konflik militer.

Dalam jajak pendapat itu, mayoritas responden mendukung mempertahankan atau meningkatkan kehadiran militer di Laut Tiongkok Selatan, namun, dukungan publik untuk ekspansi militer turun secara signifikan ketika ekspansi ditujukan untuk berperang.

Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Tiongkok tidak memandang perang sebagai alat yang ideal untuk melindungi kedaulatan nasional dan menentang kebijakan provokasi perang secara terbuka. Temuan ini mengejutkan banyak pihak, terutama karena pada saat orang luar percaya bahwa para petinggi Partai Komunis Tiongkok akan melancarkan serangan militer ke Taiwan.

Rezim Beijing menghadapi tantangan politik dari rakyat

Hasil jajak pendapat tersebut menunjukkan bahwa totalitarianisme politik, kapitalisme negara, dan ultra-nasionalisme tidak didukung oleh para elit Tiongkok yang berpendidikan dan kaya. Padahal penelitian terdahulu menyimpulkan bahwa, para elit cenderung lebih mendukung kebijakan PKT daripada kelompok lainnya karena ada kaitan kepentingan.

Penelitian juga menunjukkan bahwa mahasiswa Tiongkok yang belajar di universitas AS cenderung lebih liberal secara politik, lebih pro-pasar dan kurang nasionalis jika dibandingkan dengan mahasiswa yang belajar di universitas top dalam negeri Tiongkok.

Mayoritas responden juga percaya bahwa pemerintah tidak seharusnya mencampuri urusan seperti apakah memiliki anak atau berapa banyak anak yang dimiliki oleh keluarga. Hal ini secara tidak langsung menunjukkan penolakan masyarakat Tiongkok terhadap kebijakan satu anak yang telah berlangsung selama beberapa dekade.

Secara keseluruhan, Xi Jinping sedang menghadapi tantangan politik sipil di dalam negeri. Sesungguhnya ada kekuatan yang disebut ‘mayoritas liberal yang diam’ yang berada dalam masyarakat Tiongkok. Tulis Jennifer Pan dan Xu Yiqing dalam laporan penelitian mereka. Kedua cendekiawan ini juga percaya bahwa temuan baru ini memiliki nilai referensi penting bagi pemerintah AS dalam menentukan kebijakan Tiongkok.

Ada cendekiawan yang percaya bahwa, kompleksitas masyarakat Tiongkok dan perbedaan antara perkotaan dengan pedesaan yang cukup lebar, ditambah lagi dengan kontrol pemerintah yang ketat terhadap media dan kebebasan berpicara, membuat survei opini publik menghadapi tantangan yang tidak kecil. Bisa saja para responden cenderung takut untuk mengungkapkan pandangan mereka dengan jujur. Hal mana juga akan mempengaruhi keakuratan dari survei. (sin)

(laporan dapat diikuti di https://www.csis.org/features/public-opinion-china-liberal-silent-majority)