Penjodohan Bagi 30 Juta Lajang di Tiongkok, Haruskah Kekuasaan Publik Mengintervensi?

He Qinglian

Setelah kasus penjualan manusia yang terungkap oleh “ibu 8 anak  Xuzhou”, kali ini timbul lagi satu masalah baru: Sebanyak 30 juta lajang sulit mendapatkan jodoh, dan termasuk kategori “masuk akal sebagian” bagi penjualan manusia (Jia Pingwa*¹ yang pertama kali mengemukakannya, dan ditanggapi oleh sejumlah orang), sehingga muncullah dua pilihan yakni “terus membiarkan desa lajang membeli wanita” atau “membiarkan desa lajang musnah”.

Lalu ada yang merasa khawatir apabila kaum lajang tidak menikah akan menimbulkan masalah di usia lanjut mereka, serta pemerintahan Partai Komunis Tiongkok yang menyebabkan pembunuhan bayi perempuan.

Munculnya masalah ini, adalah dikarenakan tidak sedikit warga Tiongkok yang tidak mengerti. Masyarakat manusia sekarang ini, di bawah premis tidak melanggar hukum, maka kehidupan seksual, pernikahan, kelahiran, serta pendidikan anak telah menjadi hak asasi pribadi, selamanya juga bukan soal intervensi kekuasaan pemerintah, hanya negara berpaham sosialis seperti Uni Soviet, RRT, dan sebagainya lah yang tertarik dengan hal semacam ini.

Intervensi Pemerintah Terhadap Pernikahan dan Seksualitas adalah Penyakit Janin Komunisme (Sosialisme)

Ciri khas terbesar teori komunisme adalah tidak mengakui keberadaan zona pribadi manusia, segala harta benda milik pribadi harus dihapuskan, sistem keluarga dan satu suami satu istri akan dihapuskan. Buku karya Engels berjudul The Origin of the Family, Private Property, and the State adalah penjelasan terhadap legalitas kondisi masyarakat di masa mendatang. Oleh karena itu pula, intervensi terhadap kehidupan seksual, pernikahan, dan kelahiran telah menjadi penyakit bawaan janin komunisme (serta seluruh paham sayap kiri) yang tidak bisa dihapuskan secara tuntas.

Menurut data sejarah Revolusi Oktober Rusia*², pada masa itu perempuan berusia antara 16-25 tahun wajib menerima “komunalisasi seksual”, para revolusioner bisa menggunakan hak itu, yakni mengajukan izin kepada instansi revolusi terkait, dan tanda pengenal Bolshevik bisa “mempublikkan” 10 orang gadis.

PKT tentu saja meniru sang guru, dalam slogan revolusi pada periode Wilayah Soviet (di Tiongkok) terdapat seruan “serbu masuk Kota Yulin, satu orang akan memperoleh satu pelajar perempuan”. Dalam pelaksanaannya, karena jumlah pelajar perempuan sangat terbatas, tidak cukup untuk dibagikan, dengan sendirinya berubah menjadi dibagi menurut pangkat yang memiliki hak istimewa dalam angkatan revolusi. Pada periode Yan’an (1936-1949), jika seorang pemimpin revolusi menyukai wanita muda yang membelot ke revolusi, maka organisasi akan tampil untuk membujuknya (sebenarnya memerintahnya). 

Di awal pendirian pemerintahan Mao (1949), terjadi puncak bagi- bagi sumber daya seksual oleh para revolusioner,  terutama  adalah  para  kader  revolusi yang walaupun  sudah  memiliki  huángliǎnpó   (istri tua nan buruk) di desa, tapi masih menyukai wanita muda cantik yang berkulit putih dan berpendidikan dari kalangan keluarga kelas eksploitasi, hukum tidak mampu mengekang mereka, bahkan Mao Zedong pun tidak berdaya memaksa  para  revolusioner  itu  untuk  menjaga  pernikahan mereka  dengan “huángliǎnpó” mereka.  

Para  aktivis  dalam  gerakan Reformasi

Lahan (1950-1958) tentu saja juga ikut-ikutan berbagi “hasil rampasan kemenangan” mereka, dengan menjadikan istri muda dan anak perempuan para tuan tanah menjadi milik mereka sendiri.

Wartawan surat kabar Shanxi Daily, Lu Sunmin dalam artikel berjudul  “Heiyukou di Bawah Badai Condong ‘Kiri’” telah mencatat fakta sejarah ini: “Tidak hanya wanita- wanita milik para tuan tanah dan sasaran pengganyangan telah dialokasikan, bahkan para petani yang kaya pun tidak luput men- jadi sasaran. Petani kaya bernama Feng Wanli memiliki anak perempuan yang dialokasikan bagi buruh tani yang miskin.”

Setelah PKT merebut kekuasaan (1949), untuk menenangkan hati prajurit yang sudah tidak berperang lagi, Korps Konstruksi Xinjiang yang dipimpin oleh Wang Zhen membujuk “8.000 orang gadis Hunan turun ke Tianshan”, dan mengawinkan mereka secara paksa dengan para veteran itu. 

Setelah itu, perkawinan anggota revolusioner pada rezim Mao itu terus berlangsung hingga Revolusi Keterbukaan, sehingga ditetapkan aturan dengan dalih menjaga kemurnian barisan revolusioner: Bagi anggota yang mengabdi di kemiliteran, pemerintahan, atau jabatan di pabrik militer yang bersifat rahasia, dilarang meminang wanita yang berlatar belakang buruk seperti tuan tanah, kapitalis, dan sejenisnya. Para wanita tetangga penulis (yang kala itu masih tinggal di Tiongkok) tidak sedikit yang menjadi sasaran pemisahan suami-istri yang sah. Hingga pasca Reformasi Keterbukaan setelah PKT meninggalkan jalur pertarungan antar kelas, aksi partai intervensi dalam pernikahan barulah benar-benar berhenti.

Satu-satunya yang masih dipertahankan adalah program pembatasan kelahiran. Tidak sedikit negara Asia telah memberlakukan kebijakan pengendalian populasi penduduk, tapi perbedaannya dengan PKT terutama adalah dengan kecondongan kebijakan mempengaruhi keputusan kelahiran dalam keluarga, dan bukan ditetapkan secara mutlak seperti halnya di Tiongkok. Oleh sebab itu pula, skala populasi di Hong Kong, Taiwan, Indonesia (yang dikenal dengan Keluarga Berencana), dan lain-lain ditentukan oleh keputusan kelahiran keluarga, dan bukan dipaksakan oleh pemerintah. Singapura dulu juga pernah memberlakukan kebijakan yang mendorong penduduk yang berkualitas unggul untuk banyak melahirkan, serta membatasi keluarga miskin yang tingkat pendidikannya rendah untuk memiliki anak, namun telah mendapat kecaman keras, akhirnya hanya sempat diterapkan satu tahap.

Negara secara paksa mengambil alih keputusan kelahiran keluarga, ini berarti PKT telah campur tangan di zona pribadi rakyat,  dan telah menjadi penyakit bawaan lahir yang tidak bisa dihapuskan. 

Sedangkan mayoritas orang yang dibesarkan di Tiongkok, sama seperti PKT, tidak bisa membedakan antara zona pribadi dengan zona publik, hal ini terpapar  secara jelas dalam pembahasan kasus “ibu 8 anak Xuzhou” yang kemudian memicu topik baru penjodohan bagi kaum lajang yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah, terutama telah mewujudkan hal ini.

Bedakan Zona Pribadi & Publik, Bermakna Bagi Perkembangan Sosial Tiongkok

Kekeliruan pertama: bagaimana nasib 30 Juta lajang? Pemerintah harus mengurus mereka, atau memobilisasi perempuan yang tersisa di kota-kota untuk menikahi lajang di desa. Ini adalah kesimpulan yang saya rangkum dari cuitan di akun Twitter saya. Tapi mereka tidak pernah berpikir, pernikahan adalah zona pribadi, kekuatan publik pemerintah tidak seharusnya turut campur tangan dalam hal ini. Hal tersisa yang bisa dilakukan oleh pemerintah adalah sebagai berikut: 

Jika pemerintah daerah tertentu bersedia membayar atau mendorong perusahaan agar mengadakan acara temu jodoh, mensponsori para lajang di desa untuk menghadirinya, lalu memobilisasi “wanita tersisa (di sini penulis hanya menggunakan istilah yang biasa digunakan di Tiongkok, tanpa ada sedikit pun maksud mendiskriminasi) yang berusia mapan” untuk juga menghadirinya, menyediakan tempat bagi mereka untuk bertatap muka, ini adalah kebijakan beretika dari pemerintah. Tapi jika selangkah lebih maju, melobi para wanita usia mapan untuk harus menerima para pria lajang tersebut, maka itu adalah penyalahgunaan kekuasaan oleh pemerintah.

Tokoh pemimpin dari Chicago School of Economics, yakni Gary S. Becker, selain memiliki prestasi gemilang di bidang kriminalitas ekonomi, juga menulis buku perintis yang berjudul A Treatise on the Family yang menganalisa pernikahan, keluarga, dan kelahiran umat manusia dari sudut pandang analisa ekonomi, dalam buku tersebut, Profesor Becker memberikan penjelasan standar terhadap keputusan pernikahan,  perceraian, kelahiran, dan pendidikan anak, karena interpretasinya itu telah menarik perhatian para ekonom, sosiolog, ahli demografi, dan ahli biologi serta psikolog, sehingga diterjemah- kan ke dalam banyak bahasa.  

Pada 1992, Becker meraih  hadiah  Nobel bidang ekonomi karena  “meluaskan analisa bidang mikro ekonomi hingga mencakup perilaku non-pasar manusia dan bidang luas lainnya yang saling berinteraksi satu sama lain”.

20 tahun silam, penulis pernah menulis sebuah resensi terhadap buku ini yang diberi judul, “Ilmu Ekonomi dalam Pernikahan”, secara singkat dan esensial menjelaskan konten utama dalam buku ini: Pada pasaran pernikahan, sumber daya yang dimiliki pria adalah kekayaan dan status, sumber daya ini terus meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Sedangkan sumber daya yang dimiliki wanita adalah usia muda dan paras yang cantik, sumber daya ini akan terus merosot seiring dengan bertambahnya usia.

 Oleh sebab itu pula, status pria dan wanita di pasaran pernikahan tidak setara, sehingga membentuk semacam hukum pernikahan: Pria dapat mencari pasangan dengan status yang sama atau mencari wanita kelas bawah, dan wanita hanya bisa mencari pasangan dengan status yang sama atau pria kelas atas. Terlalu banyaknya pria kelas bawah adalah kondisi lumrah di tengah masyarakat manusia zaman sekarang.

Seiring dengan makin bertambahnya sumber daya yang dimiliki pria, dalam kehidupannya dapat memiliki banyak pasangan (atau secara bertahap mengganti pasangan), merupakan pencari yang efektif dalam pasar pernikahan. Wanita yang telah berusia paruh baya, akan menjadi pencari yang tidak efektif dalam pasar pernikahan. Oleh karena itu pula, ada “pencari yang tidak efektif” di pasar pernikahan di setiap masyarakat.

Baker tidak mengusulkan bagaimana memecahkan masalah bujangan, karena  ia bukan seorang sosialis, sehingga dia tidak memiliki “arogansi rasional” dari kaum  kiri, yang berpikir mampu menyelesaikan semua masalah sosial. Kaum kiri Amerika sekarang sangat  menyukai topik gender, termasuk praktik yang salah dalam mendorong anak di bawah umur untuk menjadi transgender, tetapi itu juga tidak mencampuri perihal pernikahan orang Amerika, itu sebabnya, ada banyak “lajang” pria dan wanita di Amerika Serikat.

Analisis data sensus yang dirilis oleh Pew Research Center pada Oktober 2021 menunjukkan bahwa persentase orang dewasa AS yang tidak menikah atau hidup dengan pasangan naik menjadi 38 persen pada 2019, dan kelompok itu “termasuk beberapa orang dewasa yang sebelumnya menikah (berpisah, bercerai, atau pasangannya meninggal), semua pertumbuhan penduduk yang belum menikah sejak 1990 berasal dari peningkatan jumlah orang yang belum pernah menikah”.

Terhadap orang yang mengemuka- kan harus membuat para “wanita tersisa” yang memiliki tiga kelebihan (pendidikan tinggi, pendapatan tinggi, status sosial tinggi) untuk dijodohkan dengan lajang desa yang memiliki “tiga kekurangan”, benar- benar sudah mendesak untuk dijodohkan, sehingga berkehendak mengatasnamakan “kelompok minoritas”, membuat pemerintah merencanakan kehidupan “wanita tersisa”, orang seperti ini sama sekali tidak memahami garis batas yang jelas antara zona publik dengan zona pribadi dalam kehidupan masyarakat modern dewasa ini.

Kekeliruan kedua:   lajang   tidak menikah, tidak ada keturunan, siapa yang merawatnya di usia tua? Ini juga merupakan semacam konsep tukar guling, dan berniat mengacaukan topik antara zona publik dan zona pribadi. Masalah jaminan hari tua di negara modern adalah tanggung jawab pemerintah pada zona publik, sedangkan lajang atau menikah adalah masalah perorangan pada zona pribadi.

Di pedesaan Tiongkok yang rata-rata  kurang  akan jaminan hari tuanya, apakah dengan adanya putra putri maka pasti akan menjamin masa tua orang tuanya? Ini adalah semacam kesimpulan yang telah disangkal oleh realita di Tiongkok saat ini. Ambil contoh dari artikel berjudul “Bunuh Diri Manula Tiongkok Posisi Ketiga Dunia, Fenomena Aneh Manula Desa Bunuh Diri, Memilukan Hati Setelah Membacanya” (Agustus 2020), kasus bunuh diri di dalam artikel tersebut hampir seluruhnya adalah keluarga yang memiliki putra dan putri. Ada manula yang sakit-sakitan, anak- anaknya merasa sangat terbebani, manula pun bunuh diri untuk meringankan beban anak-anaknya. Ada keluarga yang putra putrinya saling menolak tidak ingin merawat orang tuanya. Ada pula lantaran persengketaan keluarga, sehingga memaksa para manula di desa “bunuh diri”.

Pernyataan keliru dari melihat pepohonan tetapi hutannya tidak terlihat: Penenggelaman dan pembunuhan bayi perempuan sebagai akibat dari keluarga berencana PKT

Pernyataan ini mewakili “kebenaran politik (political correctness)” dari penentang politik RRT, tetapi itu bukan fakta, ia hanya bisa menjelaskan ada sejumlah orang yang asal berbicara. Budaya tradisional Tiongkok lebih mengutamakan anak laki-laki daripada anak perempuan, dan sudah ada tradisi menenggelamkan dan membunuh bayi perempuan sejak zaman dahulu, di bawah ini adalah beberapa artikel yang penulis temu- kan di internet, secara kronologisnya sebagai berikut:

“Kebiasaan Menenggelamkan Wanita di Tiongkok Utara Modern” (Penulis: Yang Jianli, Institut Sejarah Qing, 2007)

“Penenggelaman/pembunuhan bayi perempuan di Dataran Tengah kuno sangat serius sehingga dilarang keras di Dinasti Qing” (Jaringan Budaya Manchu, 2019), penulisnya adalah seorang etnis Manchu, dan ia menekankan kebijakan etika legislatif pemerintah Manchu, dan kurangnya implementasi yang efektif  bukanlah fokus artikel.

Penulis merangkum kesimpulan yang dituturkan di atas, agar pem- baca dapat secara lebih jelas memahami sudut pandang dari artikel ini:

Isu perkawinan dan kelahiran anak adalah bahwa ranah hak privat warga negara tidak termasuk ranah hak publik. Oleh karena itu, ruang lingkup kekuasaan publik pemerintah harus dibatasi, seperti:

Kekuasaan publik seharusnya melarang pernikahan paksa untuk penjualan dan pembelian perempuan, tetapi tidak seharusnya menjodohkan paksa bagi warga negara mereka sendiri;

Kekuasaan publik seharusnya melarang pembunuhan bayi, tetapi seharusnya mengembalikan pengambilan keputusan reproduktif kepada keluarga.

Masalah jaminan di hari tua termasuk dalam sistem kesejahteraan sosial dan tidak boleh dikaitkan dengan apakah ada anak atau tidak.

Jika Tiongkok masih mempertahankan keadaan batas-batas yang tidak jelas antara sektor publik dan swasta semacam ini, maka di masa depan Tiongkok akan  menyeret ekor panjang dari periode pra-modernisasi, bahkan jika telah berhasil mewujudkan demokrasi formal, ia juga tidak akan menjadi negara demokrasi yang substantif. (sud)

Keterangan:

*¹ Jia Ping’wa: Seorang penulis kontemporer di daratan Tiongkok, direktur Asosiasi Penulis RRT, ketua Asosiasi Penulis Provinsi Shaanxi. Saat ini ia adalah Dekan School of Humanities di Universitas Arsitektur dan Teknologi kota Xi’an.

*² Revolusi Oktober adalah revolusi yang dilakukan oleh pihak komunis Partai Bolshevik di  Rusia di bawah pimpinan Vladimir Lenin. Ini adalah revolusi perubahan pemerintahan kedua di Rusia pada 1917.