Biden yang Mempercayai Tiongkok dengan Membeberkan Laporan Intelijen AS Mengenai Rusia

Anders Corr

Ketika Presiden Joe Biden datang ke Xi Jinping dengan intelijen Amerika Serikat mengenai invasi Rusia yang akan terjadi ke Ukraina, memohon Xi Jinping untuk melakukan sesuatu mengenai hal itu, Xi Jinping pasti menganggap Joe Biden cukup naif.

Pertama, Xi Jinping hampir pasti mengetahui dan menyetujui rencana Vladimir Putin yang mengerikan di masa depan. Vladimir Putin membutuhkan seorang pembeli pilihan terakhir untuk sanksii yang ia tahu akan  terjadi, jadi ia harus mendapatkan jaminan dari Xi Jinping terlebih dahulu.

Kedua, bahkan jika Xi Jinping tidak mengetahui rencana Vladimir Putin, maka Xi Jinping akan menyetujuinya. Invasi Rusia, termasuk kejahatan perang seperti serangan-serangan terhadap apartemen-apartemen sipil dan pembangkit-pembangkit listrik di Kyiv, menyoroti dari pelanggaran hak asasi manusia dan agresi teritorial yang dilakukan oleh Beijing sendiri.

Ketiga, invasi Rusia mengubah Rusia menjadi negara paria. Sanksi yang dihasilkan memaksa Rusia jatuh ke dalam pelukan Tiongkok, seperti halnya kudeta di Myanmar pada tahun 2021 dan kudeta di Thailand pada tahun 2014. Tiongkok memainkan demokrasi, dan sanksi-sanksi yang diterapkannya dengan lihai.

Xi Jinping pasti tertawa terbahak-bahak, ketika ia mengakhiri panggilan video Joe Biden. (Apakah Xi Jinping benar-benarnya tertawa terbahak-bahak, juga tidak jelas. Mungkin ia hanya tersenyum.)

Hal itu akan terjadi tepat sebelum Xi Jinping menelepon teman baiknya Vladimir Putin dan memberitahu Vladimir Putin mengenai semua intelijen Amerika Serikat yang dibagikan Joe Biden. Silang-ganda semacam itu membangun kepercayaan di antara para pencuri, tetapi bertahan selama diperlukan untuk salah satu dari mereka untuk mendapatkan jarahan.

The New York Times pertama kali melaporkan pemerintahan Joe Biden yang baik hati tetapi meraba-raba bagian-bagian intelijen, pada 25 Februari. Bagian-bagian intelijen itu terjadi selama tiga bulan dan enam pertemuan dengan Duta Besar Tiongkok, Menteri Luar Negeri, dan akhirnya Xi Jinping sendiri.

Gagasan untuk berbagi intelijen pasti datang ketika semakin banyak orang-orang yang baik hati di pemerintahan itu berpikir, “Aha! Ini benar-benar akan menjadi masalah yang akhirnya kita dapat bekerja sama dengan Partai Komunis Tiongkok! Partai Komunis Tiongkok tidak bekerja sama di bidang iklim, perdagangan, hak asasi manusia, demokrasi, kesehatan, non-proliferasi, atau terorisme. Tetapi, hei, mungkin invasi Rusia adalah kesempatan yang sangat berharga!” 

Sebaliknya, pemerintahan Joe Biden baru saja ditikam dari belakang.

Pejabat-pejabat Tiongkok yang berbicara dengan pejabat-pejabat Joe Biden awalnya mengklaim bahwa mereka tidak berpikir suatu invasi benar-benar akan terjadi.

Ternyata hal itu adalah suatu kebohongan ketika pemerintah Joe Biden mendapat intelijen bahwa pejabat-pejabat Tiongkok tidak hanya tahu mengenai rencana-rencana itu, tetapi pejabat-pejabat Tiongkok memberitahukan pejabat-pejabat Rusia bahwa pejabat-pejabat Tiongkok tidak akan menentang para pejabat Rusia.

Menurut Edward Wong di Times, “Setelah satu pertukaran diplomatik di bulan Desember, para pejabat Amerika Serikat mendapat informasi intelijen yang menunjukkan Beijing telah membagikan informasi tersebut dengan Moskow, memberitahukan Rusia bahwa Amerika Serikat sedang  berupaya menabur perselisihan–—dan bahwa Tiongkok tidak akan berupaya menghalangi rencana dan tindakan Rusia, kata para pejabat.”

Hal itu pasti sangat menyakitkan. Joe Biden memercayai Xi Jinping untuk melakukan hal yang benar dan Xi Jinping melakukan sebaliknya. Pemerintah Joe Biden pasti merasa seperti orang-orang bodoh.

Mereka sebenarnya orang-orang bodoh, karena Xi Jinping dan Vladimir Putin jelas-jelas berada di pihak yang sama untuk masalah Ukraina. Pada 4 Februari, Xi Jinping dan Vladimir Putin menandatangani sebuah pernyataan strategis yang mengacu pada sebuah kemitraan antara negara-negara yang “tanpa batas” dan tidak “terlarang” di bidang-bidang kerjasama. Dalam dokumen tersebut, Xi Jinping dan Vladimir Putin mengambil sikap menentang ekspansi NATO, dan untuk “kepentingan-kepentingan inti mereka berdua, kedaulatan  dan integritas teritorial kedua negara.” Ini adalah sebuah penegasan, tanpa mengatakannya secara eksplisit, atas klaim Rusia terhadap Ukraina.

Pada gilirannya, pihak Rusia secara eksplisit mendukung prinsip “satu Tiongkok”, dan “bahwa Taiwan adalah bagian tidak terpisahkan dari Tiongkok, dan menentang segala bentuk kemerdekaan Taiwan.”

Pengakuan timbal-balik oleh kedua diktator tersebut atas klaim-klaim teritorial mereka atas “wilayah-wilayah umum mereka yang berdekatan” mengatur Vladimir Putin dalam sebuah aliansi de facto untuk mendukung invasi Vladimir Putin ke Ukraina.

Xi Jinping dan Vladimir Putin percaya Ukraina pernah menjadi milik Rusia dan Taiwan pernah menjadi milik Tiongkok. Ukraina dan Taiwan ingin bergabung dengan sistem-sistem aliansi Barat. Ukraina dan Taiwan dapat memiliki senjata nuklir untuk membela diri.

Sementara Xi Jinping telah berbicara banyak mengenai menginvasi Taiwan, Vladimir Putin berupaya  mempertahankan unsur kejutan. Hal ini berhasil untuk Vladimir Putin dalam invasi Krimea dan Donbass pada tahun 2014. Hal tersebut tidak bekerja dengan baik baru-baru ini.

Namun, Xi Jinping memperkuat komitmen untuk Rusia. Setelah invasi tersebut, Beijing secara eksplisit mendukung “keprihatinan keamanan yang sah” bagi Rusia serta “kedaulatan dan integritas teritorial” semua negara.

Dalam konteks invasi Ukraina, sebagian besar orang Barat mungkin membaca poin yang terakhir sebagai hal untuk mendukung Ukraina. Tetapi Vladimir Putin mengklaim Ukraina sebagai bagian dari Rusia. Jadi Vladimir Putin dapat membaca poin kata-kata licik Xi Jinping yang sepenuhnya mendukung integritas teritorial Rusia sendiri, yang mencakup seluruh “Ukraina.”

Xi Jinping mengetahui hal ini, dan untuk menggarisbawahi dukungannya terhadap perang Rusia, Kementerian Luar Negeri Tiongkok secara teratur menyalahkan Amerika Serikat, bantuan pertahanan ke Ukraina, “meningkatkan kemungkinan perang,” dan ekspansi NATO. Vladimir Putin terbebas dari masalah, menurut Partai Komunis Tiongkok.

Xi Jinping membuat Vladimir Putin percaya, terisolasi seperti Vladimir Putin oleh orang-orang penurut di kelompok-berpikir Kremlin, bahwa ia akan menang tidak hanya di Ukraina, tetapi dalam membuat negara-negara seperti Swedia dan Finlandia keluar dari NATO. Memang, juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia mengancam Swedia dan Finlandia pada 25 Februari untuk tidak ikut campur.

Vladimir Putin jelas-jelas menggigit lebih banyak Eropa daripada yang dapat dikunyahnya. Rusia tidak lagi Uni Soviet yang kuat secara ekonomi. Saat ini ekonomi Rusia adalah sekitar sepersepuluh ukuran Tiongkok atau Eropa. Tidak ada yang menghormati Pantai Gading dengan senjata-senjata nuklir, yang sekarang digambarkan Rusia.

Kepicikan ideologis serupa menimpa Xi Jinping, yang percaya bahwa bentuk pemerintahan otoriternya adalah lebih unggul daripada demokrasi yang kacau balau. Xi Jinping menggunakan strategi COVID-nya sebagai sebuah contoh, menerapkan karantina di seluruh negaranya yang berpenduduk 1,4 miliar orang untuk mencapai angka kematian yang rendah. Tetapi ekonomi Xi Jinping dengan perintah yang sok juga tertahan inovasi, sehingga vaksin-vaksin Tiongkok tidak bekerja dengan baik. Karantina masih diterapkan di Tiongkok, sementara Barat akhirnya muncul kembali ke kebebasan manusia normal.

Vladimir Putin dan Xi Jinping memberitahu satu sama lain bahwa kediktatoran adalah lebih efisien, dan begitu mereka dapat dengan mudah mengambil wilayah-wilayah dari negara-negara demokrasi yang tidak bersekutu seperti Ukraina atau Taiwan. Ukraina mudah-mudahan dalam proses melucuti ilusi otoriter Vladimir Putin dan Xi Jinping. Waktu akan membuktikan.

Namun, apa yang seharusnya sudah sangat jelas, bahwa negara-negara demokrasi tidak dapat mempercayai Rusia dan Tiongkok, yang menganggap dirinya lebih unggul.

Tetapi ada satu harapan. Vladimir Putin atau pun Xi Jinping juga tidak dapat saling percaya. Di awal, Tiongkok akan merebut kedaulatan Rusia sendiri jika diberi kesempatan. Dan sebaliknya. Hal tersebut membuat Rusia dan Tiongkok menjadi sekutu-sekutu yang lemah. Memang, mereka bahkan belum mampu mengucapkan kata tersebut. (Vv)