‘Time to Wake Up’: Semakin Meningkat Seruan Komunitas Medis untuk Membongkar Panen Organ Secara Paksa oleh Tiongkok

Eva Fu

Orang-orang yang mengangkat organ-organ dari orang-orang tidak berdosa yang masih hidup dengan pisau bedah mereka bukanlah satu-satunya yang terlibat dalam kejahatan panen organ secara paksa. Ketika Bungkam juga menambah keterlibatan.

Itu adalah salah satu argumen yang diangkat pada meja perundingan virtual pada Rabu (23/3/2022) yang diadakan  di sela-sela sebuah pertemuan Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), di mana sebuah panel yang terdiri dari seorang anggota parlemen Inggris, para dokter, para pengacara, dan para aktivis membahas kurangnya tindakan selama satu dekade terhadap sanksi untuk penjarahan organ oleh negara komunis Tiongkok yang  mengakibatkan kematian sejumlah besar umat beriman.

Bukti panen organ secara paksa di bawah pengawasan rezim Tiongkok terlebih dahulu muncul pada 2006. Di tahun itu, banyak saksi mendekati The Epoch Times untuk  membuktikan adanya praktik mengerikan itu yang pada dasarnya mengubah kumpulan besar tahanan hati nurani Tiongkok, banyak di antaranya adalah praktisi Falun Gong  dianiaya, menjadi sebuah bank organ hidup.

Falun Gong adalah sebuah latihan spiritual yang terdiri dari latihan meditasi dan ajaran-ajaran moral berdasarkan prinsip Sejati, Baik, dan Sabar. Rezim komunis meluncurkan kampanye penganiayaan secara besar-besaran terhadap praktisi Falun Gong pada 1999, dan sejak saat itu rezim komunis telah menahan jutaan praktisi Falun Gong di penjara, kamp kerja paksa, ​​dan fasilitas lainnya.

‘Ditipu’

Sejak laporan pertama mengenai panen organ, 16 tahun  berlalu, dan kemajuannya lamban untuk menghentikan perbuatan haram tersebut, sedangkan kesadaran masih terbatas. Ada resolusi dari Kongres Amerika Serikat dan parlemen Uni Eropa yang mengutuk masalah ini, dan beberapa negara telah melarang pariwisata organ. Tetapi saat ini tidak ada hukum  yang diterapkan untuk meminta pertanggungjawaban para pelaku, demikian para peserta panel mencatat.

Bagian kelambanan ini adalah karena kurangnya pemahaman  besarnya masalah tersebut, termasuk di antara mereka yang berada di komunitas transplantasi. Dr. Weldon

Gilcrease, seorang spesialis kanker saluran cerna di Universitas Utah, memperkirakan bahwa hanya sekitar 5 persen hingga 10 persen di komunitas medis yang telah mendengar mengenai panen organ secara paksa. Bahkan di antara mereka yang sadar, banyak yang tampak pasif mengenai masalah ini, berharap masalah tersebut akan hilang dengan sendirinya, demikian Dr. Weldon Gilcrease memberitahukan kepada panel itu.

Ketika rezim Tiongkok mengatakan pihaknya akan berhenti menggunakan organ dari narapidana yang dijatuhi hukuman mati dan mendirikan sebuah sistem donasi organ sukarela pada 2015, “harapannya adalah bahwa kami dapat mempercayai rezim Tiongkok dan semacam berkolaborasi dan bekerja sama dengan rezim Tiongkok,” kata Dr. Weldon Gilcrease, mengacu pada pemikiran luas dalam komunitas medis.

Itu adalah sikap  sama yang diambil dunia ketika Tiongkok bergabung dengan Organisasi Kesehatan Dunia, kata Dr. Weldon Gilcrease.

“Harapan kami adalah untuk meyakinkan atau mempengaruhi Partai Komunis Tiongkok dan Tiongkok dengan moral-moral dan nilai-nilai kita serta etika medis kita. Tetapi sebaliknya yang terjadi,” kata Dr. Weldon Gilcrease, mencatat bahwa sembilan ilmuwan medis top di Amerika Serikat telah meninggalkan lembaganya masing-masing karena hubungan yang tidak diungkapkan dengan Partai Komunis Tiongkok, menurut hitungan Dr. Weldon Gilcrease.

Pada tahun 2020, sebuah pengadilan rakyat independen tidak menemukan bukti bahwa pembunuhan oleh rezim Tiongkok untuk mendapatkan organ-organ telah berhenti.

Kegagalan pemerintah untuk menyelidiki, kata pengadilan rakyat independen tersebut, “telah memungkinkan banyak orang untuk mati secara mengerikan dan tidak perlu.”

Partai Komunis Tiongkok telah “mempermainkan orang-orang ini, dengan mengatakan, ‘Kami akan membuat perubahan yang anda inginkan, kami telah membuat perubahan yang anda inginkan, kami akan mengubah undang-undang, kami telah mengubah undang-undang,’ dan seterusnya,” kata David Matas,  seorang pengacara investigasi Kanada yang telah mengikuti masalah ini sejak tahun 2006, yang mengacu pada komunitas kesehatan internasional.

“Tetapi tidak ada penyidikan, Tidak ada transparansi, tidak ada penelitian, hal itu hanyalah semacam penipuan, dan tentu saja orang-orang ini tidak ingin mengakui bahwa mereka telah ditipu,” kata David Matas. 

Dr. Weldon Gilcrease dan yang lainnya di panel itu mengamati bahwa profesi medis Barat hampir tidak melakukan pekerjaan taat hukum itu sendiri dengan baik. Mereka merujuk ke sebuah laporan bahwa antara tahun 2000 hingga 2017, lebih dari 99 persen dari 445 makalah penelitian yang diterbitkan dalam jurnal-jurnal medis Inggris terkemuka yang menggunakan data transplantasi organ Tiongkok telah gagal menunjukkan persetujuan donor. Hal ini mencakup 85.000 transplantasi.

Opsi Bersama Partai Komunis Tiongkok

Rezim Tiongkok, kata para panelis, juga telah menggunakan pengaruh politik dan ekonomi yang dimilikinya untuk memaksa banyak negara untuk tetap bungkam mengenai masalah ini.

Pada salah satu acara Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa satu dekade lalu, pengacara hak asasi manusia Spanyol bernama Carlos Iglesias diatur untuk membuat sebuah pidato berdurasi tiga menit yang mengutuk mantan pemimpin Tiongkok Jiang Zemin karena memerintahkan penganiayaan terhadap Falun Gong pada 1999.

“Sebelum agenda tersebut dibahas, perwakilan dari Partai Komunis Tiongkok dari perundingan ke perundingan berbicara dengan masing-masing negara bahwa mereka akan mengatakan ‘tidak ada tindakan’ saat itu juga,” kata Carlos Iglesias, mengacu pada upaya Beijing untuk menutup pengawasan oleh Dewan Hak Asasi Manusia PBB atas pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan Beijing.

Pada 2007, setahun setelah tuduhan panen organ secara paksa pertama kali muncul, selusin ahli bedah Prancis yang bersangkutan menandatangani sebuah petisi yang mereka rencanakan untuk diserahkan kepada para petinggi Prancis. Hal tersebut terjadi satu tahun sebelum Beijing menjadi tuan rumah Olimpiade Musim Panas.

Tetapi, salah seorang dokter yang terlibat, Francis Navarro, seorang ahli bedah dan profesor di Center Hospitalier Universitaire de Montpellier, malah disuruh “tenang dulu” dan akhirnya menjadi sebijaksana mungkin,” kata Francis Navarro pada sebuah konferensi pada 2013 yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran mengenai masalah ini. 

“Karena dengan Tiongkok, ini bukan saatnya untuk meletakkan masalah ini di atas meja perundingan,” kata permintaan dari pemerintah Prancis, menurut dr. Francis Navarro.

Di Prancis, kelompok-kelompok etika medis termasuk Doctors Against Forced Organ Harvesting (DAFOH) atau Dokter-Dokter yang Menentang Panen Organ Secara Paksa (DAFOH) telah berupaya setidaknya tiga kali untuk meloloskan langkah legislatif untuk memerangi pariwisata transplantasi organ. Tetapi setiap kali, pemerintah menolaknya, dengan alasan bahwa tidak cukup banyak orang Prancis yang pergi ke luar negeri untuk transplantasi organ, Dr. Harold King, Direktur DAFOH cabang Prancis, mengatakan kepada The Epoch Times.

Terlepas dari penemuan Doctors Against Forced Organ Harvesting (DAFOH) pada 2014 dari 300 orang Prancis menghilang dari daftar-daftar tunggu transplantasi organ Prancis setiap tahun tanpa penjelasan, kata Dr. Harold King, mencatat itu adalah indikator bahwa orang-orang itu  mungkin telah pergi ke Tiongkok untuk menerima organ-organ ini.

Lebih dari dua dekade telah berlalu sejak rezim Tiongkok memulai kampanye pemberantasan yang menargetkan Falun Gong, intensitas itu yang, kata para peneliti, telah berkembang seiring dengan industri transplantasi organ Tiongkok.

Pengacara yang berbasis di Spanyol, Carlos Iglesias, mengingat bagaimana, antara 2014 hingga 2017, Universitas Barcelona memberikan pelatihan kepada dokter-dokter medis Tiongkok mengenai transplantasi organ meskipun telah diperingatkan mengenai masalah pencurian organ.

“Ini adalah sebuah perjanjian komersial yang dibayar secara logis dan mungkin dengan uang Partai Komunis Tiongkok,” kata Carlos Iglesias, yang juga merupakan European director of the Human Rights Law Foundation, kepada The Epoch Times.

“Ada tautan-tautan ini, penghubung-penghubung antara pejabat-pejabat  medis tingkat tinggi dengan Partai Komunis China,” kata Carlos Iglesias sebelumnya menghadiri meja perundingan itu.

“Mereka harus menjauhi kejahatan ini,” tambah Carlos Iglesias. 

“Bahkan jika mereka tidak tahu, kenyataannya, itulah yang terjadi–—keterlibatan ini. Jadi sudah waktunya untuk sadar.” (Vv)