Menelisik Akar Fenomena Gandrungi Rusia

ISWAHYUDI

Uraa! Itu satu kata yang diucapkan Vladimir Putin di depan militernya. Dan kata Uraa juga mewarnai jagad dunia maya Indonesia baik untuk konten yang serius maupun parodi. Dan lebih mengejutkan berdasarkan sebuah artikel di thediplomat.com (9/3) berjudul “Why are Indonesian Netizen expressing Support for Russian Invasion of Ukraine1?” mengatakan bahwa mayoritas warganet Indonesia termasuk beberapa komentator juga menunjukkan fakta mengejutkan bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia (atau setidaknya mereka yang aktif daring), terus bersimpati dengan Rusia atau mengekspresikan dukungan atas invasi Rusia ke Ukraina.

Di media sosial tanah air, semisal Twitter, ciutan pro-Rusia dibagikan secara luas di antara orang Indonesia dan menunjuk ke beberapa akademisi Indonesia yang secara terbuka mendukung posisi Rusia, atau sikap pemerintah Indonesia yang relatif hati-hati, bahkan banyak kanal Youtube membuat narasi pro Rusia dengan berbagai angle untuk meyakinkan bahwa invasi Rusia yang melanggar kedaulatan negara lain sebagai hal yang dibenarkan secara moral atau sudah dinubuatkan.

Dalam sebuah diskusi daring2 yang yang diselenggarakan oleh Universitas Nasional (UNAS) pada 24 Februari 2022. Dalam acara tersebut, presentasi dari Dr. Ahmad Fahrurrodji, seorang pengamat Rusia yang berbasis di UNAS, dilaporkan sangat bias sehingga mendo- rong Vasyl Hamianin, duta besar Ukraina untuk Indonesia, yang juga mengambil bagian dalam diskusi, menggambarkannya sebagai “propaganda komunis Soviet”.

Sebuah Artikel di South Morning Post3 melaporkan beberapa faktor yang menyebabkan kecenderungan warganet Indonesia yang condong kepada Putin.

Pertama, warganet Indonesia banyak terpengaruh  propaganda/narasi  yang   berasal dari pasukan lima sen Tiongkok. Dalam pesan-pesan yang beredar di group WA etnis Tionghoa di Indonesia banyak beredar narasi analogi menjelaskan mengapa Rusia menginvasi Ukraina, menyamakan Moskow seperti seorang suami yang telah lama menderita, dan membiarkan istrinya yang tidak tahu berterima kasih untuk menjaga anak-anak mereka setelah meminta cerai. Dia bahkan melunasi hutangnya. Tapi mantan istri itu kemudian terlibat dengan pengganggu desa – Amerika Serikat dalam analogi ini – dan berteman dengan sekelompok pelacur (sekutu AS) dan menodai nama mantan suaminya. Pria itu kehilangan kesabaran dan menuntut kembalinya satu anak (Rusia mencaplok Krimea dari Ukraina pada 2014), tetapi sang istri juga mulai memperlakukan anak- anak lain dengan buruk, memaksa pria itu untuk menghadapinya.

Selain itu banyak narasi yang menyamakan invasi Rusia ke Ukraina seperti AS menyerang Irak pada 2003 untuk menghancurkan senjata pemusnah massal dan menggulingkan diktator Saddam Hussein. Kezia Dewi, seorang mahasiswa doktoral Indonesia di universitas Belgia KU Leuven, mengatakan dia telah melihat banjir pesan pro-Putin yang dibagikan di grup media sosial yang digunakan oleh orang Tionghoa Indonesia.

Kedua, sentimen umat muslim yang anti AS dan barat berkontribusi pada sikap mayoritas warganet Indonesia pro Putin. Radityo Dharmaputra, peneliti Studi Rusia dan Eropa Timur, Hubungan Internasional Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, mengatakan Rusia telah berusaha untuk meningkatkan citranya dalam hubungannya dengan dunia muslim setelah berakhirnya Perang Chechnya II pada 2000. Radityo mengatakan Presiden Chechnya Ramzan Kadyrov, seorang loyalis Kremlin, memiliki daya tarik yang besar di kalangan Muslim Indonesia. Komentar Kadyrov diliput di media berbahasa Indonesia dan dia dipandang sebagai ikon Muslim.

“Ada persepsi bahwa Putin lebih pro -Islam daripada AS, meski nodanya masih tertinggal diingat oleh generasi tua ketika Rusia menyerbu Chechnya dan ketika Uni Soviet melakukan hal yang sama ke Afghanistan,” katanya merujuk pada intervensi Uni Soviet di Afghanistan pada 1979. Salah satu faktor yang memotivasi Moskow untuk melakukannya adalah ketakutan bahwa Afghanistan mungkin beralih loyalitas ke Barat.

Ketiga, banyak sarjana dan pakar di Indonesia yang pro-Putin. Salah satunya adalah Dina Yulianti Sulaeman, yang mengajar di Universitas Padjajaran di kota Bandung Jawa Barat dan direktur Pusat Studi Timur Tengah Indonesia. Di akun medsosnya ia menyebut Ukraina sebagai “Suriah Lain”, menuduh bahwa kekacauan sebelum Revolusi Martabat 2014 di Ukraina telah direkayasa oleh Barat untuk menciptakan “Suriah lain” dengan mengadu kelompok yang berbeda. Dia telah mengulangi klaim Putin, menegaskan bahwa neo-Nazi dan kelompok supremasi kulit putih berusaha menaklukkan Ukraina yang berbahasa Rusia di Donetsk dan Luhansk. Dina mengatakan kepada This Week In Asia bahwa Putin mendapat kekaguman masyarakat Indonesia karena berani menantang hegemoni AS. “Ketika semua pemimpin dunia lainnya tetap diam tentang intervensi Amerika di seluruh dunia, Putin berdiri sendiri dalam oposisi yang kuat. Banyak dari kita bersyukur bahwa seseorang seperti dia ada. Banyak yang percaya pada Hadits Nabi bahwa menjelang akhir zaman, sebuah negara yang dikenal sebagai Rum, yang biasanya diartikan sebagai Rusia, akan bergabung dengan umat Islam untuk melawan musuh besar,” katanya.

Keempat, narasi yang menyamakan sosok Putin bak Soekarno yang anti Barat banyak beredar di media sosial tanah air. Putin juga membangkitkan ingatan bangsa Indonesia tentang Sukarno yang punya jargon, “Go to Hell with Your Aid” terhadap AS dan Barat. Seorang blogger asal Yogyakarta Rahino Sudjojono mengatakan sejarah Indonesia sendiri telah memberinya perspektif tentang Perang Ukraina. “Saya bisa mengerti mengapa Putin memutuskan untuk menyerang. Inilah sebabnya mengapa Bung Karno kita (Sukarno) menentang pembentukan negara boneka Barat (negara) yaitu Malaysia. Jadi Putin pasti berpikir dengan cara yang sama seperti yang dilakukan Sukarno.”

Kelima, berdasarkan sebuah artikel yang terbit di kompas.com (14/03) tentang kenapa warganet Indonesia cenderung pro-Rusia, menurut platform pemantauan dan analisis digital Evello. Sikap itu terbentuk karena didasari oleh ketidaksukaan sebagian besar masyarakat Indonesia pada Amerika Serikat dan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Akan tetapi, Radityo Dharmaputra yang juga kandidat doktor dalam ilmu politik di Institut Studi Politik Johan Skytte, Universitas Tartu, Estonia menilai sikap publik yang condong pro-Rusia ketimbang Ukraina ini sesungguhnya dikarenakan pemahaman masyarakat yang minim tentang Ukraina. Kondisi ini menyebabkan publik mudah termakan narasi dominan dari kalangan elite dan akademisi yang menganggap persoalan ini merupakan konflik geopolitik antara Rusia dan Amerika Serikat.

Data yang diperoleh Evello menunjukkan informasi tentang serangan militer Rusia ke Ukraina yang tayang di YouTube Indonesia telah ditonton sebanyak 554 juta kali dengan jumlah percakapan mencapai 2,3 juta komentar. Sementara itu, video Instagram perang Rusia-Ukraina telah dilihat 72 juta kali dengan komentar sebanyak 727.000.  Kemudian di video TikTok, invasi Rusia ke Ukraina juga sudah ditonton 526 juta kali. Adapun di Twitter, terdapat 22.000 akun yang membicarakan perang ini. Juru bicara Evello, Dudy Rusdianto mengatakan, setidaknya ada tiga sikap yang ditunjukkan warganet terhadap serangan militer Rusia ke Ukraina. 

“Pertama, ketidaksukaan terhadap Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) dan Amerika Serikat. Kedua, kekaguman pada sosok Presiden Vladimir Putin, dan Ketiga, ada- nya simpati kepada rakyat Ukraina dan Presiden Volodymyr Zelensy,” papar Dudy. Namun demikian, dari empat platform media sosial yang diteliti mulai dari Twitter, YouTube, Instagram, dan TikTok, mayoritas warganet cenderung berpihak pada Rusia. Dudy mencontohkan Twitter, jumlah akun yang membicarakan Presiden Putin 71 persen lebih besar dibandingkan Zelensky. Percakapan yang menge- muka di Twitter didasari oleh ketidaksukaan kepada NATO dan Barat.

Makna di Balik Fenomena Gandrungi Rusia

Fenomena kecendurungan warganet Indonesia yang pro Rusia ini bisa menyiratkan banyak hal:

Pertama, perang propaganda Rusia Berhasil menguasai atmosphir pemikiran rakyat Indonesia. Aknolt Kristian Pakpahan, dosen Ilmu Hubungan Internasional (HI), Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Universitas Katolik Parahyangan di Bandung menjelaskan mengenai kelihaian Rusia dalam menjalankan strategi yang dikenal dengan nama DIME (Diplomacy, Information, Military, and Economy) yaitu strategi untuk menghindari kegiatan yang kontraproduktif dan bertentangan selama operasi taktis dengan mempertimbangkan faktor- faktor ini secara terkoordinasi selama perencanaan dan pelaksanaan misi. Menurutnya DIME dimainkan untuk mempengaruhi persepsi orang. Hal inilah yang tidak dimainkan oleh Ukraina maupun orang yang pro-Ukraina. Rusia menampilkan citra negara yang berusaha mengatasi permasalahan hak asasi manusia (HAM) yang terjadi di tiga wilayah Ukraina, yaitu Crimea, Donetsk, dan Luhansk. Rusia ini sanggup mengolah arus informasi sehingga bisa mendapatkan dukungan publik di Indonesia yang dijumpai di berbagai platform media sosial. Selain itu, Rusia memberi persepsi sebagai negara yang erat dengan unsur Islam, dengan banyaknya masjid di Rusia, “Duta merek” Rusia yang merupakan juara Ultimate Fighting Championship (UFC) Khabib Nurmagomedov adalah seorang muslim.

Kedua, matinya nalar dan nurani. Adil itu dimulai dari pikiran. Bahkan di kitab suci disebutkan bahwa janganlah karena kebencian membuat seseorang berlaku tidak adil. Mata dunia sudah melihat dengan gamblang Rusia yang memulai invasi tersebut dan jelas- jelas Ukraina adalah negara yang berdaulat. Indonesia pernah berada di posisi sama dengan Ukraina seperti pada agresi militer Belanda saat Indonesia memproklamirkan sebagai negara yang berdaulat. Sangat besar  kemungkinan jika Rusia berhasil menginvasi Ukraina ini akan menjadi semacam inspirasi bagi RRT untuk menginvasi Taiwan. Dalam perjanjian tanpa batas Rusia-RRT baru-baru ini Rusia sepakat dengan kebijakan One China Policy. Ketidak- adilan pada suatu tempat adalah ancaman bagi keadilan di semua tempat.

Ketiga, adanya arus mendambakan bangkitnya otoritarianisme. Kepemimpin sipil selama hampir satu dekade yang diharapkan bisa membawa perubahan dan lompatan kemajuan ternyata pupus. Segudang masalah tidak bisa dipecahkan, malah komoditi minyak goreng harganya kian tak terkendali padahal Indonesia adalah gudangnya kelapa sawit. Ini bisa membangkitnya sosok pemimpin yang semodel dengan Putin yang otoriter dan penuh ilusi. Pemimpin yang jago bela diri, berotot, tegas mirip Putin bisa jadi mendapat pasar di pemilu berikutnya.

Keempat, Indonesia negara yang mudah dibelah dengan isu dari luar sehingga agenda dan masalah mendasar yang dihadapi bangsa sendiri terlupakan. Posisi Indonesia yang berada sangat strategis di jalur perdagangan dunia membuat Indonesia tak selesai dengan dirinya sendiri. Pembelahan masyarakat terus terjadi bahkan hanya karena isu remeh temeh. Modal sosial toleransi yang merupakan lem perekat atas kebhinekaan suku, ras, agama, golongon kian hari kian habis. Jangan karena begitu gegap gempita kata Uraa-nya putin yang membangkitkan nafsu tribalisme menjadikan kita ora iso opo-opo (tidak bisa apa-apa) dan tidak ke mana-mana. Menjadi bangsa yang selalu tanggung dan medioker.

Catatan:

1.https://thediplomat.com/2022/03/why- are-indonesian-netizens-expressing-support- for-russias-invasion-of-ukraine/

2 . h t t p s : / / w w w. y o u t u b e . c o m / watch?v=0tTfdIsQEX0&t=1924s

3.https://www.scmp.com/week-asia/politics/article/3169708/chinese-internet-or-us- foreign-policy-why-some-indonesians