Video Menunjukkan Para Petani Tiongkok Diperintahkan Mengubah Hutan Menjadi Ladang Biji-bijian Di Tengah Ketakutan Akan Kekurangan Pangan

Ellen Wan

Sebuah video yang beredar di media sosial Tiongkok menunjukkan bahwa pihak berwenang setempat di Weifang, Provinsi Shandong, memerintahkan para petani untuk “menebang pohon-pohon” untuk membuat lahan yang tersedia untuk produksi biji-bijian. Hal ini muncul karena banyak orang di Tiongkok takut akan kekurangan makanan yang akan segera menjadi sebuah masalah serius.

Dalam video tersebut, seorang petani, yang merekam secara sebagai selfie, berkata, “Kami baru saja menerima sebuah pengumuman bahwa kami diharuskan menebang pohon-pohon ini dan menanam biji-bijian sebagai gantinya, bahkan jika secara keuangan hal ini berakhir dengan kerugian. Harga-harga komoditas adalah sangat tinggi saat ini—–pupuk, pestisida, dan harga-harga sangat tinggi.”

Di latar belakang, banyak pohon telah ditebang, beberapa pohon dengan akar-akar yang terpapar. Petani-petani lain telah menebang sebagian besar pohon yang sudah tumbuh besar.

Pada saat yang sama, seorang pembicara di desa itu mengumumkan bahwa pohon-pohon tidak boleh ditanam di lahan pertanian, dan tanah tidak boleh digunakan untuk kolam-kolam ikan atau pohon buah-buahan. Pohon-pohon harus ditebang dalam jangka waktu yang terbatas, jika tidak, pohon-pohon itu akan “dibunuh” secara paksa oleh pihak-pihak berwenang.

Kemudian, pria lain yang mengidentifikasi dirinya sebagai seorang pria di Jining, Provinsi Shandong, mengatakan bahwa pihak-pihak berwenang setempat memaksa mereka untuk menebang pohon untuk bercocok tanam karena Tiongkok mengalami krisis kekurangan pangan.

“Gergaji-gergaji untuk menebang pohon sekarang kehabisan stok di toko-toko setempat. Di masa lalu, kami diberitahu, ‘jika anda ingin kaya, pertama-tama, tanamlah beberapa pohon,’ sekarang mereka memberitahu kami bahwa kami dilarang menanam pohon-pohon,” kata pria itu.

Seorang pejabat pemerintah daerah Provinsi Shandong mengatakan kepada Epoch Times berbahasa Mandarin: “Bahkan kolam-kolam ikan harus digunakan untuk bercocok tanam. Anda harus melakukan apa yang Partai Komunis Tiongkok minta anda lakukan.”

Komentator urusan terkini yang berbasis di Jepang bernama Yang Si, menunjukkan bahwa sebagian besar tanah di Provinsi Shandong adalah tanah kuning dan daerah tersebut rawan kekeringan. Peniadaan pohon-pohon dapat dengan mudah menyebabkan erosi tanah.

Selain itu, tanah tempat pohon-pohon itu ditanam harus mendapatkan lebih dari jumlah rata-rata pupuk dan pestisida untuk dapat menghasilkan produk panen yang baik, kata Yang Si.

“Para petani akan kesulitan mendapatkan keuntungan, karena biaya pupuk dan pestisida yang meningkat,” jelas Yang Si.

Dampak Perang

Perang Rusia-Ukraina juga berdampak pada impor-impor pangan Tiongkok.

Dalam artikel 17 Maret, Jaringan Informasi Industri Pakan Tiongkok melaporkan bahwa karena perang Rusia-Ukraina, Rusia telah menangguhkan ekspor biji-bijian seperti gandum dan agung; sementara Ukraina telah melarang ekspor gandum dan komoditas dalam jumlah besar. Artikel itu juga mengakui bahwa tingkat swasembada Tiongkok untuk biji-bijian, jagung, dan kedelai adalah relatif rendah.

Per 2021, Ukraina menggantikan Amerika Serikat menjadi pemasok jagung yang terbesar di Tiongkok, sebagian dikarenakan perang dagang Amerika Serikat-Tiongkok. Berdasarkan data bea cukai Tiongkok, 70 persen impor jagung Tiongkok berasal dari Ukraina pada 2021.

Ukraina juga merupakan pemasok utama jelai Tiongkok. Sekitar 54 persen dari ekspor jelai Ukraina dijual ke Tiongkok dari 2020 hingga 2021, terhitung 28 persen dari total impor jelai Tiongkok.

Menurut data dari Administrasi Umum Kepabeanan Tiongkok, Tiongkok mengimpor total 164,539 juta ton biji-bijian pada 2021, tahun-ke-tahun meningkat sebesar 18,1 persen. Impor-impor tersebut menyumbang 24,1 persen dari total produksi biji-bijian sebesar 682,85 juta ton. Ini berarti ketergantungan Tiongkok terhadap impor hasil panen luar negeri sebesar 19,4 persen.

Xue Chi, seorang cendekiawan mengenai masalah Tiongkok, mengatakan kepada The Epoch Times bahwa krisis makanan Tiongkok sangat berakar pada ketidakmampuan pemerintahan Partai Komunis Tiongkok. 

“Partai Komunis Tiongkok tidak pernah berhasil membangun sebuah sistem produksi pertanian modern. Pembangunan pertanian oleh Partai Komunis Tiongkok jauh tertinggal di belakang pembangunan industrinya,” kata Xue Chi.

“Industri pertanian Partai Komunis Tiongkok bukan saja tidak mampu bersaing dengan negara-negara maju, bahkan tidak dapat memenuhi permintaan di dalam negeri. Hal ini disebabkan oleh sistem Partai Komunis Tiongkok,” ujar Xue Chi.

Zhang Sutian, seorang komentator independen yang berbasis di Amerika Serikat dengan 20 tahun pengalaman di industri makanan, mengatakan kepada The Epoch Times bahwa penipuan dan korupsi yang dilakukan oleh Partai Komunis Tiongkok adalah pendorong utama krisis pangan di Tiongkok.

Banyak depot biji-bijian yang sebenarnya kosong karena korupsi, kata Zhang Sutian, namun situasi tersebut ditutup-tutupi, sebuah masalah yang semakin serius dari tahun ke tahun.

Zhang Sutian menunjuk sebuah peristiwa sebelumnya ketika Komisi Pusat untuk Inspeksi Disiplin mengirim sebuah tim untuk memeriksa Cadangan Biji-bijian Tiongkok untuk pertama kalinya pada Mei 2013. Segera setelah itu, 78 depot biji-bijian langsung berada di bawah Cadangan Biji-bijian Tiongkok di Provinsi Heilongjiang “terbakar.”

Cadangan biji-bijian Tiongkok adalah setara dengan sebuah utang macet yang sangat besar, di mana terlalu banyak kelompok kepentingan yang terlibat, kata Zhang Sutian.

Xue Chi percaya bahwa secara historis, bencana alam, pandemi, dan kelaparan telah sering terjalin, dan kali ini tidak terkecuali.

“Selain itu, karena kecurangan, penipuan, dan segala macam kekacauan yang dilakukan oleh Partai Komunis Tiongkok, krisis pangan di Tiongkok saat ini adalah salah satu yang terburuk dalam sejarah kontemporer Tiongkok. Begitu tirai gelap dirobek dan kebenaran terungkap, bencana akan di luar kendali,” kata Xue Chi. (Vv)