Apa yang Dibutuhkan Dunia Sekarang: Berkah, Harmoni, dan Raphael

Lorraine Ferrier

Ketika   kegelapan    tampaknya menyelimuti dunia, seni tradisional dapat membantu. Peran utama seni adalah untuk mengangkat jiwa kita dengan mengingatkan kita tentang bagaimana menjadi baik, benar, dan yang terbaik yang kita bisa. Ketika seniman tradisional menciptakan seni abadi seperti itu, itu dapat membangkitkan kebaikan bawaan kita.

Karya-karya master Renaisans Italia, Raffaello Sanzio (lebih dikenal sebagai Raphael), mencapai lambang seni semacam itu. Dan lebih dari lima abad setelah kematiannya, seni Raphael sekarang lebih relevan dari sebelumnya.

Sebuah pameran ambisius baru-baru ini di The National Gallery, London, menyoroti karya Raphael dan menunjukkan bagaimana kepekaan dan kecemerlangan artistiknya dalam berbagai media melampaui waktu.

Pameran itu dibuka pada 9 April lalu bertemakan “Pameran Credit Suisse (nama bank di Swiss): Raphael” adalah salah satu pameran pertama yang berkonsentrasi pada seluruh karir Raphael. Raphael dikenal oleh banyak orang sebagai pelukis, juru gambar, dan arsitek, tetapi sebagian orang mungkin terkejut mengetahui bahwa ia juga seorang penyair, arkeolog dan penyuka barang antik, dan perancang cetakan, patung, permadani, dan seni terapan.

Sembilan puluh karya seni akan dipamerkan, kebanyakan karya Raphael,  dan beberapa karya yang dibuat dari desainnya di media yang tidak ia praktikkan, seperti perunggu. Gambar dan objek yang menceritakan kisah kehidupan Raphael, seni dan desainnya, serta perkembangannya sebagai seorang seniman, juga dipamerkan.

Leonardo, Michelangelo, dan Raphael

Raphael, Michelangelo, dan Leonardo da Vinci telah lama dipandang sebagai seniman terbesar dari Renaissans Tinggi. “Apa yang dilakukan Raphael, lebih dari yang lain, adalah bekerja dengan idealisme,” kata salah satu kurator pameran, Matthias Wivel, dalam sebuah wawancara telepon. Idealisme Raphael tidak hanya dalam arti religius; dia mengajak kita untuk menjadi baik, secara individu dan bersama-sama. Matthias menjelaskan bahwa itulah mengapa Raphael telah dianggap sebagai pusat seni visual Barat lebih dari Michelangelo dan Leonardo—suatu prestasi yang luar biasa mengingat Raphael meninggal di usia muda, 37 tahun, dan karirnya hanya bertahan dua dekade, sedangkan Michelangelo bekerja sampai kematiannya pada usia 88 tahun.

Raphael pertama kali mempelajari seni Leonardo dan Michelangelo di Florence, dan dia bekerja keras untuk menyempurnakan teknik mereka. Raphael mungkin terlihat dalam bayang-bayang rekan-rekannya yang lebih tua dan mapan; Leonardo berusia 31 tahun lebih tua dari Raphael, dan Michelangelo 8 tahun lebih tua dari Raphael.

Rekan-rekan Raphael berbeda dalam gaya mereka. Secara umum, Leonardo mendekati seninya sebagai ilmuwan; dia mengamati alam dan berusaha menekan subjektivitas ketika dia bekerja. Padahal, Matthias menjelaskan, seni Michelangelo justru sebaliknya. Ini sangat terlibat secara emosional dan tentang pengalamannya diwujudkan di dunia dan masalah yang menyertainya.

Selain mengamati gaya dan teknik artistik rekan-rekannya yang lebih tua, ia belajar dari minat Leonardo pada psikologi manusia dan dari kemampuan Michelangelo untuk mengartikulasikan secara emosional melalui karya seninya.

Raphael mengintegrasikan ide- ide seniman  lain  ke  dalam karyanya dengan sangat baik sehingga dia menjadikannya   miliknya   sendiri. Bakat itu membuatnya menjadi saingan,  terutama Michelangelo. Misalnya, sebelum Michelangelo sempat melukis komposisinya “Penciptaan Adam”  di Kapel Sistina, Raphael mengadaptasi gambar persiapan Michelangelo dan memasukkannya ke dalam lukisan dindingnya “The Parnassus” di Vatikan. Michelangelo pasti merasa marah.

Matthias percaya bahwa Leonardo memiliki pengaruh paling besar pada Raphael. Pengunjung pameran dapat melihat sketsa Raphael tentang “Leda and the Swan,” satu-satunya salinan langsung yang  masih  ada  (kecuali untuk bentuk sketsa yang  lebih samar pada selembar kertas dengan studi lain) yang dia buat dari karya Leonardo. Pose contrapposto Leda, di mana berat badan terkonsentrasi pada satu kaki, berasal dari seni klasik. Raphael mereferensikan seni kuno dan Leda dari Leonardo dalam bukunya “Saint Catherine of Alexandria”, yang juga ada dalam pameran ini.

Ah! Rahasia Madonna Raphael yang Manis

Raphael dikenal sebagai pelukis Madonna yang manis dan untuk lukisannya “The School of Athens” di Vatikan. Lukisan Madonna dari Raphael mungkin memegang kunci mengapa karyanya memengaruhi secara universal.

Dalam lukisannya “The Garvagh Madonna”, Raphael menampilkan seorang bayi Jesus yang percaya diri. Ibu anak itu, Bunda Maria, baru saja melepaskannya dari pelukannya sehingga dia bisa memberikan anyelir kepada balita lain yang nantinya akan menjadi St. John Sang Pembaptis. Bunda Maria menarik John mendekatinya, mendorongnya untuk mengambil bunga itu. Tanpa menggunakan kostum Romawi klasik, yang umum digunakan pada masa itu, kita bisa melihat potret keluarga yang penuh kasih dari seorang ibu dan anak asuhnya.

Raphael membuat adegan itu  menghubungkan kita semua dengan emosionalitasnya, akan tetapi tampilan gambarnya lebih berarti. Bagaikan melintasi batas antara langit dan bumi. Ada saat- saat lembut antara ibu dan anak yang, pada saat yang sama, memperkuat pesan Kristen.

“Ini adalah cara mengkomunikasikan pesan Kristen melalui pengalaman kuasi-universal, yang diakui semua orang dan yang melibatkan orang secara emosional lebih dari apa pun,” papar Matthias.

Bayi Jesus tampak bijaksana melebihi usianya. Dia tahu bahwa dia ada di bumi untuk sesuatu yang lebih besar. Dia duduk di pangkuan ibunya, tetapi Sang Bunda tidak mendukungnya. Sementara John memakai jubah bulu untuk kehangatan, sedangkan bayi Jesus bertelanjang; dia tidak menginginkan apa pun dari dunia ini, kecuali mengajar orang lain untuk mengikuti Tuhan.

Jelas, lukisan “The Garvagh Madonna” karya Raphael adalah adegan religius, tetapi apa yang tampaknya muncul, seperti dalam banyak lukisannya, adalah rahmat dan juga ketegangan yang harmonis antara spiritual dan duniawi—alam Ilahi dan manusia. (iwy)