Pakar Mengungkapkan 3 Tujuan dari Pabean Tiongkok yang Sengaja Memotong Paspor dan Green Card Warga

oleh Li Yun

Pemerintah Tiongkok semakin memperkuat langkah kontrol di bidang keimigrasian termasuk pembaruan paspor dengan alasan yang mengkambing-hitamkan epidemi. Pada saat yang sama, belakangan ini semakin sering terungkap adanya petugas bea cukai / pabean Tiongkok yang memotong paspor dan green card (kartu hijau) warga. Dalam hal ini, para ahli mengungkapkan bahwa langkah pemerintah Tiongkok ini memiliki 3 tujuan

Pada 12 Mei, Kantor Administrasi Imigrasi Tiongkok melalui akun WeChat-nya, menyebutkan bahwa hasil pertemuan yang dilakukan oleh komite partai dari Kantor Administrasi Imigrasi Tiongkok pada 10 Mei, memutuskan untuk menerapkan pencegahan dan pengendalian epidemi secara 3 T, yakni tegas, tepat dan teliti. 

Untuk itu, petugas pabean perlu menerapkan kontrol kebijakan masuk dan keluar pabean yang ketat, juga membatasi persetujuan dan penerbitan dokumen masuk dan keluar bagi warga negara Tiongkok.

Lai Jianping, master hukum internasional dari China University of Political Science and Law kepada media ‘Epoch Times’ menjelaskan bahwa “Pemerintah Tiongkok yang melarang warganya pergi ke luar negeri itu sama sekali tidak memiliki dasar hukum. Jika itu dibutuhkan demi pengendalian epidemi, mereka boleh meminta warganya yang berada di luar negeri untuk sementara tidak kembali ke Tiongkok, atau menolak orang asing masuk daratan Tiongkok. Tetapi, yang diterapkan otoritas adalah warga negara Tiongkok yang dipersulit untuk dapat keluar negeri, apa hubungannya dengan pengendalian epidemi ?”

“Logikanya, justru lebih menguntungkan dalam pelaksanaan pengendalian epidemi jika semakin banyak warga yang keluar negeri. Dan itu dapat mengurangi beban melakukan tes asam nukleat dan berbagai inspeksi yang dilakukan setiap harinya. Jadi saya rasa upaya mempersulit warga keluar negeri tidak ada hubungannya dengan pengendalian epidemi. Justru latar belakangnya yang saya perkirakan adalah bahwa pemerintah komunis Tiongkok ingin mempercepat decoupling (pemisahan diri) dari Barat, dari dunia, dan dari tren dunia dalam segala aspeknya”, kata Lai Jianping.

Pada 10 Mei, akun Weibo milik kelompok kelima patroli Pudong, Shanghai mengeluarkan pesan yang isinya mengharuskan semua petugas pabean di terminal satu (T1) untuk memperkuat inspeksi keamanan rute internasional, dan langsung mencegah keberangkatan bagi warga yang cenderung memiliki “kebencian terhadap partai dan negara”, dan “pergi ke luar negeri dengan tujuan yang membahayakan partai dan negara”. Selain itu, jika petugas pabean dalam penggeledahan kopor warga menemukan green card (kartu hijau) atau izin tinggal parmenen keluaran negara asing, mata uang asing dalam jumlah besar, buku tabungan di bank asing, harus langsung dimusnahkan.

Ada netizen yang mengabarkan bahwa seluruh penumpang maskapai China Southern Airlines, dengan nomor penerbangan CZ3082 yang mendarat di Bandara Guangzhou pada 8 Mei pukul 9 pagi menghadapi interogasi dari inspektur perbatasan yang antara lain menanyakan secara detail soal alasan mereka pergi ke luar negeri, apa saja yang dilakukan di luar negeri, mengapa kembali lagi ke Tiongkok, dan lain-lain. Beberapa orang bahkan menemui buku paspornya digunting, alias tidak lagi memiliki paspor untuk bepergian ke luar negeri.

Seorang warga Kota Dalian yang pernah pergi ke Jepang menceritakan kesaksiannya, bahwa di sebuah pelabuhan di Dalian, dia melihat petugas perbatasan menggunting lebih dari 20 paspor warga yang hendak berangkat ke luar negeri. Saksi mata tersebut mengatakan bahwa dalam sekelompok orang yang terdiri dari 300-an itu paling-paling cuma 3 orang warga yang bisa lolos berangkat ke luar negeri sejak 25 Maret hingga saat ini.

Pada 12 Mei, Dong Guangping, seorang mantan pejabat keamanan publik, juga seorang elit pendukung demokrasi di daratan Tiongkok mengatakan kepada reporter ‘Epoch Times’ bahwa isu mempersulit warga sipil keluar negeri sudah pernah terjadi pada masa lalu, hanya saja sekarang hal ini semakin gencar dilakukan.

“Banyak tempat telah beredar pemberitahuan dari otoritas yang secara ketat akan mengontrol warga sipil yang hendak pergi ke luar negeri. Bahkan ada himbauan bersifat nasional yang menghendaki warga sipil untuk menyerahkan kembali paspornya kepada pihak berwenang. Sementara itu, pengurusan paspor warga siswa/i sudah ditutup. Alasan yang dipublikasikan otoritas adalah demi mensukseskan pencegahan dan pengendalian epidemi”, kata Dong Guangping.

“Latar belakang dari situasi ini menurut saya sangat berkaitan dengan lingkungan hidup masyarakat daratan Tiongkok saat ini. Baik itu secara politik atau ekonomi, lingkungan hidup sudah berubah semakin buruk, sehingga lebih banyak warga sipil ingin berimigrasi. Setelah orang-orang ini berhasil pergi ke luar negeri, mereka tentu saja membawa serta dana dan harta benda mereka. Sedangkan pemerintah Tiongkok saat ini sedang krisis Cadangan devisa, dan pertumbuhan ekonomi pun mengalami hambatan yang sangat besar, sehingga dipandang perlu untuk mengendalikan warga sipilnya berangkat ke luar negeri”, demikian Dong Guangping menjelaskan.

“Satu hal lagi, yakni sebagian besar warga yang pergi ke luar negeri sekarang adalah para elit sosial dan warga yang berbakat. Ini merupakan suatu pemborosan bakat. Selain itu, banyak warga sipil Tiongkok yang tidak puas dengan pemerintah komunis Tiongkok atau pernah mengalami penganiayaan brutal. Maka setelah mereka ini berada di luar negeri,  mereka berani berbicara dengan lantang. Tentu saja pemerintah komunis Tiongkok takut kejahatannya diekspos oleh mereka, jadi secara ketat mengontrol warga sipilnya berangkat ke luar negeri”, tambahnya.

Pada awal 2016, Wang Zhiwen, salah seorang mantan koordinator Asosiasi Penelitian Falun Dafa yang menderita kerusakan fisik dan psikologis yang serius, akibat dipenjarakan secara ilegal oleh pemerintah komunis Tiongkok dan dianiaya selama 15 tahun, saat hendak berangkat melalui Bandara Guangzhou untuk menemui putrinya Wang Xiaodan di AS menghadapi paspornya digunting oleh petugas pabean.

Pada Oktober 2017, Zeng Zheng, seorang reporter dan penulis berbahasa Inggris untuk media ‘Epoch Times’ yang berbasis di Washington, saat ibunya yang berusia 76 tahun hendak berangkat ke AS untuk menjenguk putrinya yang telah berpisah selama lebih 10 tahun, sangat tertekan ketika mengetahui paspornya digunting oleh petugas Bandara Internasional Pudong Shanghai.

Saat mencari pengguntingan paspor di pencarian Google, yang muncul adalah keluhan sejumlah besar warga sipil daratan Tiongkok yang paspornya digunting petugas pabean ketika berada di bandara waktu hendak berangkat.

Keterangan Foto : Bandara Pudong Shanghai. (Greg Baker/AFP/Getty Images)

Mengenai peningkatan upaya petugas pabean Tiongkok untuk menggunting paspor warga, Lai Jianping mengutarakan 3 tujuan utama pemerintah Tiongkok :

Satu, adalah untuk memperbesar kontrol individu terhadap warga sipil di daratan Tiongkok, untuk mengikat seluruh rakyatnya di atas kereta perangnya, mencegah rakyat melarikan diri dari daratan Tiongkok. Bahkan tidak memberi kesempatan warga negaranya untuk jalan-jalan atau melihat-lihat situasi negara asing.

Kedua, pemerintah komunis Tiongkok ingin mengurangi kontak warga sipilnya dengan dunia luar dan Barat. Karena warga sipil Tiongkok yang pergi ke luar negeri, mereka akan membandingkan apa saja perbedaan antara Tiongkok dengan negara-negara Barat. Takut mereka menerima hal-hal dan sudut pandang baru dari Barat. Jadi agar lebih efektif dalam mengontrol pikiran warga sipil Tiongkok, lebih mudah dalam melakukan propaganda dan indoktrinasi. Pemerintah Tiongkok memilih untuk tidak membiarkan warga sipilnya pergi ke luar negeri.

Ketiga, dengan situasi ekonominya yang sangat tertekan bahkan semakin parah sekarang. pemerintah Tiongkok ingin memperkuat kontrol terhadap arus keluar valuta asingnya. Jika warga sipil Tiongkok berbondong-bondong berangkat ke luar negeri entah untuk tujuan tamasya, mengunjungi kerabat, atau mengikuti studi di luar negeri, mereka akan menghabiskan banyak devisa. Sehingga pemerintah melarang warganya ke luar negri tak lain juga bertujuan untuk menyelamatkan cadangan devisanya yang sudah sangat terbatas.

Lai Jianping mengatakan bahwa pemerintah Tiongkok tanpa merasa malu langsung merusak paspor warga sipil Tiongkok, kartu hijau AS, atau kartu Daun Maple Kanada, ini juga merupakan tindakan yang melanggar konstitusi Partai Komunis Tiongkok.

Dia menunjukkan : “Warga negara memiliki kebebasan pribadi, kebebasan bergerak, berpindah, kebebasan untuk masuk atau keluar negeri. Hal ini secara jelas telah diatur dalam konstitusi dan undang-undang PKT. Tapi dengan menggunting paspor warga negara dan tidak memberikan alasan pelanggaran undang-undang, tanpa bukti tertulis apa pun yang diberikan kepada yang bersangkutan, jelas bertujuan agar yang bersangkutan tidak dapat melakukan penuntutan secara hukum. Ini adalah perilaku yang sangat serius, termasuk biadab”.

Selain itu, sejak penutupan Kota Shanghai untuk mensukseskan pencegahan epidemi, bencana sekunder sering menyebar, dan keluhan masyarakat juga semakin memuncak. Baru-baru ini, jumlah pencarian online untuk imigrasi luar negeri telah meningkat puluhan kali lipat. 

Lai Jianping mengatakan bahwa hal tersebut secara tidak langsung juga menunjukkan bahwa banyak warga sipil di daratan Tiongkok sudah putus asa terhadap rezim pemerintah ini. Mereka cenderung memberikan suaranya dengan menggunakan kaki. Bagi yang memiliki kemampuan finansial mereka ingin secepatnya meninggalkan daratan Tiongkok. 

Namun, bagi mereka yang benar-benar tidak bisa ke luar negeri, terpaksa bersikap patuh dan bertahan dengan kondisi yang keras atau perlakuan kasar, alias hanya bisa pasrah !! (sin)