Kasus Roe v Wade Batal, Peradilan Amerika Serikat Kembali ke Tradisi

Song Tang

Pada 24 Juni lalu, Mahkamah Agung Amerika Serikat membuat keputusan, membatalkan “kasus Roe versus Wade” (disingkat Roe v Wade) yang telah berdurasi setengah abad lamanya, tak lagi mengakui hak aborsi sebagai semacam hak yang dilindungi konstitusi AS, dan masalah aborsi diserahkan kembali penanganannya pada masing-masing negara bagian.

Surat opini dari Mahkamah Agung menilai, “hak aborsi” tidak memiliki dasar tekstual pada konstitusi, minim akan dukungan sejarah maupun tradisi, keputusan Mahkamah Agung terhadap “kasus  Roe  v Wade” dan “kasus Caseys”, telah merampas hak yang secara jelas diberikan oleh konstitusi kepada lembaga legislatif negara bagian, memaksakan “teori kehidupan” kehamilan tiga fase yang tidak terbukti pada seluruh negara.

Keputusan kasus Roe bukan hanya tidak menyelesaikan masalah aborsi di seantero  negeri,  bahkan  telah menimbulkan dampak merusak yang sangat serius, telah merampas prosedur demokrasi pada masalah aborsi, sehingga orang-orang yang peduli pada nyawa janin di semua negara bagian, tidak dapat mencari jalur bantuan hukum maupun  politik,  hal ini telah memperparah pertentangan dan ketidaksepakatan antara masyarakat dengan politik.

Surat  opini  itu   menilai, keputusan “kasus Roe v. Wade”, sejak awal adalah suatu kesalahan yang memalukan, penalarannya sangat rapuh, sekaranglah  waktunya  untuk kembali mengedepankan konstitusi, dan sudah waktunya menyerahkan masalah hak aborsi ini kepada para wakil rakyat yang telah dipilih.

Semacam Hak yang Diciptakan dari Sesuatu Yang Nihil: “Hak Aborsi”

Seorang wanita yang berprofesi sebagai pelayan yang bernama Norma McCorvey berusia 21 tahun pada 1969, di Negara Bagian Texas mengalami kehamilan ketiga, dia bermaksud menggugurkan kandungannya namun UU Texas kala itu hanya mengizinkan aborsi untuk kehamilan akibat tindak kriminal seksual, atau kondisi janin yang membahayakan nyawa sang ibu, maka dia pun berbohong mengatakan dirinya telah diperkosa dan berniat melakukan aborsi ilegal, kemudian organisasi feminis dan pengacara membantunya membuatkan nama alias yakni Jane Roe, lalu pada 1970 menggugat UU anti aborsi Texas telah melanggar konstitusi. 

Pengadilan Federal Texas Utara memutuskan dia menang gugatan, dan pemerintah Texas pun naik banding hingga ke Mahkamah Agung Amerika Serikat.

Pada 1973 Mahkamah Agung AS dengan suara mayoritas 7:2 mendukung hak aborsi Roe, memvonis wanita hamil pada tiga bulan pertama sebagai “hak privasi” yang tidak bisa diganggu gugat oleh UU Negara Bagian. Keputusan ini telah memberikan semacam hak konstitusi untuk melakukan aborsi. 

Dalam surat opini 1973, Mahkamah Agung menetapkan kehamilan menjadi tiga fase (trimester), pada fase kehamilan pertama (minggu ke-1 hingga ke-12), janin tidak memiliki “kemampuan bertahan hidup” di luar tubuh sang ibu, wanita hamil memiliki hak untuk memutuskan aborsi, hal itu dikategorikan sebagai “hak privasi” warga negara, yang dilindungi dalam amandemen ke-14 konstitusi, tidak diperlukan persetujuan dari pemerintah negara bagian atau orang lain.

Pada fase kedua kehamilan (minggu ke-12 hingga ke-24) dan fase ketiga kehamilan (biasanya setelah  minggu ke-24), janin telah memiliki “kemampuan bertahan hidup”, pemerintah negara bagian baru dapat melakukan intervensi dan lebih banyak pembatasan lebih lanjut yang dianggap perlu.

Keputusan kasus Roe sejak awal dipandang sebagai keputusan yang kacau, bahkan para pengacara dan akademisi yang mendukung legalitas aborsi pun berpandangan demikian. 

Laurence Tribe dalam Harvard Law Review menjelaskan, “Salah satu hal yang paling aneh dari Roe adalah, di balik bom asap pernyataannya, dasar substansial untuk penghakiman yang konkrit tidak bisa ditemukan.”

Bahkan mantan Hakim Agung AS yang telah tiada, Ruth Bader Ginsburg juga menyebutkan bahwa kasus Roe adalah “campur tangan yudisial yang serius”, sementara dosen ilmu hukum yang merupakan pejabat pemerintahan Obama, Cass Sunstein berpendapat, cara penanggulangan dalam kasus Roe “terlalu memalukan”. 

Selain itu telah menggunakan “standar ganda”. Hakim Amul Thapar dari US Court of Appeals for Sixth Circuit mengatakan, “Mayoritas kasus adalah (semacam) peraturan, kemudian kasus aborsi adalah (semacam) peraturan (lainnya).” 

Oleh sebab itu selama beberapa dasawarsa ini, para pengacara yang cerdik di saat membela kasus Roe, selalu menghindari penjelasan yang berasal dari konstitusi, dan hanya dijadikan sebagai preseden saat melakukan pembelaan.

Dua penulis buku “Merobek Kami: Bagaimana Aborsi Membahayakan Segalanya dan Tidak Memecahkan Masalah Apapun (Tearing Us Apart: How Abortion Harms Everything and Solves Nothing)” yakni Ryan T. Anderson dan Alexandra DeSanctis berpendapat, keputusan kasus Roe dan keputusan pasca kasus yang mendukungnya, adalah contoh buku teks pelajaran bagi “aktivisme yudisial” (judicial activism), kesalahan yang mencengangkan, kasus Roe dan Casey dengan dasar nihil telah menciptakan semacam “hak konstitusi” untuk aborsi, faktanya tidak ditemukan bukti teks, sejarah, atau tradisi atas hak semacam ini.

Menurut surat opini mayoritas yang ditulis oleh Hakim Agung Samuel Alito, alasan dibatalkannya kasus Roe, dapat disimpulkan dalam beberapa poin berikut:

Pertama, pemikiran dalam kasus Roe sangat rapuh, telah mencuri dan menukarkan konsepsi, dengan menggantikan “hak privasi” yang digunakan untuk melindungi nama baik individu, dan anti-pencemaran nama baik itu berubah menjadi “hak aborsi”, mencampuradukkan antara hak perlindungan informasi untuk tidak diungkap, dan tidak terjadi campur tangan pemerintah dengan hak orang pribadi membuat keputusan.

Kedua, kasus Roe minim akan dasar sejarah dan tradisi. Sebelum kasus Roe, selamanya tidak pernah ada “hak aborsi”, sebaliknya, aborsi adalah semacam kejahatan.

Dalam surat opini itu tertulis: Hingga pertengahan abad ke-20, UU Amerika Serikat tidak mendukung hak aborsi sebagai hak konstitusi, hingga beberapa tahun sebelum kasus Roe, tidak ada pengadilan federal ataupun negara bagian mengakui hak semacam ini. 

Faktanya, selama kurun waktu panjang aborsi merupakan suatu kejahatan di banyak negara bagian. Ketika amandemen ke-14 konstitusi diloloskan, ¾ negara bagian telah menetapkan aborsi pada fase apa pun sebagai kejahatan, pemahaman ini terus bertahan hingga hari di mana diputuskan kasus Roe.

Ketiga, teori tiga fase kehamilan yang diciptakan sendiri oleh Mahkamah Agung. Hakim yang bukan dipilih oleh warga telah memainkan peran sebagai lembaga legislatif, pernyataan yang menyebutkan bahwa fase pertama kehamilan (minggu ke-1 hingga ke-12) janin tidak memiliki “kemampuan bertahan hidup” sehingga boleh dilakukan aborsi, tidak bisa dibuktikan.

Keempat, “hak aborsi” menjadi semacam hak konstitusi, menyebabkan kasus Roe disalahgunakan tanpa batas secara yudisial, yang telah memutus jalur menggugat untuk melindungi janin, yang semakin memperparah perpecahan sosial dan politik.

Planned Parenthood v. Caseys 1992 semakin memperkuat “kasus Roe v. Wade”. Akan tetapi, tidak lagi menggunakan “hak privasi” dalam kasus Roe yang penuh dengan celah kebocoran, melainkan mengalihkan “hak aborsi” menjadi sebagian dari “hak kebebasan” yang dilindungi dalam prinsip “prosedur legal” pada amandemen ke-14 konstitusi, serta mengemukakan konsepsi “beban yang tidak semestinya” (undue burden).

Terhadap “kebebasan” dalam “kasus Caseys”, dalam surat opini mayoritas kali ini menyanggah: Dalam menjelaskan makna “kebebasan” pada amandemen ke-14 konstitusi, kita harus mencegah kecenderungan alami manusia, yakni mengacaukan antara konten yang dilindungi dalam amandemen, dengan pandangan antusias kita terhadap kebebasan yang dinikmati oleh warga AS. 

Inilah sebabnya mengapa sejak kurun waktu yang sangat lama pengadilan “tidak bersedia” mengakui hak yang tidak disebut dalam konstitusi.

Berdasarkan surat opini mayoritas, para hakim agung berpendapat,  apakah pertimbangan merupakan semacam hak, kuncinya terletak pada apakah tertanam dalam-dalam pada sejarah dan tradisi. Hak aborsi tidak bisa dibuktikan sebagai semacam hak  mendasar, menggunakan   “hak otonomi” (adalah “martabat pribadi”) untuk membela aborsi, adalah terlalu  memalukan. 

Jika mengikuti kriteria ini, maka penyalahgunaan obat, prostitusi, dan lain-lain juga dapat dijadikan sebagai hak dasar.  

Surat opini mayoritas juga menyebutkan, aborsi telah mengemukakan sebuah masalah moral yang sangat mendalam, konstitusi tidak melarang warga setiap negara bagian untuk menangani atau melarang aborsi, keputusan bagi kasus Roe dan kasus Caseys telah melampaui hak ini, dan mengakibatkan banyak distorsi pada teori hukum yang penting namun tidak saling terkait.

Dampak dari “Kasus Roe v. Wade” dan “Kasus Caseys”

Menurut data dari Guttmacher Institute, sejak 1973, diperkirakan sebanyak 60 juta janin yang belum dilahir- kan telah digugurkan, angka itu setara dengan jumlah penduduk di New York dan California. Dalam tingkatan yang sangat besar, semua ini adalah akibat kasus Roe.

Dampak serius lainnya dari kasus Roe ini adalah, semua masalah terkait kebijakan aborsi, dirampas dari tangan warga AS, dan diserahkan pada hakim yang bukan dipilih oleh rakyat. Kasus Roe menjadi ajimat bagi “preseden” aborsi kaum sayap kiri, dan menciptakan suatu zona ranjau dalam hukum. Dalam 50 tahun terakhir hak aborsi dipandang sebagai hak yang tidak dapat diganggu gugat, dan setiap kali selalu mendapat- kan perlindungan bagi keputusan tersebut.

Setelah kasus Roe, peradilan di AS terjerumus ke dalam situasi berat sebelah, pro-aborsi diperbolehkan ditulis dalam undang-undang, sebaliknya undang-undang anti-aborsi justru dihalangi di mana-mana.

Seperti Heartbeat Bill yang merupakan semacam undang-undang negara bagian konservatif AS untuk membatasi aborsi, selama janin atau embrio yang terdeteksi denyut jantungnya, maka aborsi dikategorikan sebagai ilegal. Dalam kondisi normal, sejak  kehamilan minggu ke-6 hingga ke-7, maka sudah dapat terdeteksi detak jantung janin.

Negara bagian North Dakota pada 2013 meloloskan Heartbeat Bill yang pertama, karena putusan “kasus Roe” 1973, dipandang telah melanggar konstitusi. Kemudian pada 2018 dan 2019, banyak negara bagian mengajukan Heartbeat Bill, tapi langsung digugat oleh para pendukung aborsi, akhirnya tanpa kecuali, kasus Heartbeat Bill tersebut satu-persatu dibatalkan oleh pengadilan dengan putusan kasus Roe.

Di saat bersamaan dibatalkannya undang-undang anti-aborsi, legislatif beberapa negara bagian biru yang dikuasai Partai Demokrat, justru bisa menetapkan undang-undang, memperluas kesempatan melakukan aborsi pada keseluruhan 9 bulan masa kehamilan.

Kasus Roe sama sekali tidak menyelesaikan perdebatan aborsi, justru semakin merunyamkan masalah. Mengakibatkan hampir lima dekade setelahnya, masalah aborsi menjadi semakin terpolarisasi, dan ini telah membuktikan betapa rapuhnya putusan hukum atas kasus Roe, dan juga memengaruhi berbagai aspek dalam sistem hukum di Amerika, menyebabkan lembaga yudisial terjebak dalam konflik berkepanjangan.

Kasus Roe tidak hanya telah menggerogoti hukum, juga telah merusak tatanan politik AS. Akibatnya telah menyebabkan kedua belah pihak yang pro dan kontra, mengerahkan seluruh energi politiknya ke dalam pertarungan memperebutkan hak kendali atas pengadilan tertinggi itu, masalah aborsi yang dipartainisasi menjadi semakin mencolok dalam proses pencalonan dan pengangkatan hakim agung, dan tidak ada lagi kompromi. Kedua belah pihak juga mengerahkan seluruh kekuatan dalam perebutan jabatan presiden dan juga anggota senat, menjadi ajang pembantaian sengit yang tidak berbatas, hakim agung dan keluarganya pun mengalami teror dan ancaman dengan kekerasan, bahkan juga pembunuhan. (sin)