Kerajinan Seni Halus Tiongkok dari Bulu Burung Cekakak

Lorraine Ferrier

Bagi pasangan pengantin baru di Tiongkok pada abad ke-19, saat mereka melangkah ke kamar pelaminannya, adalah momen akhir dari rangkaian upacara pernikahan dan menjadi awal dari kehidupan mereka bersama. 

Sang mempelai wanita mengenakan mahkota pengantin emas dan berwarna pirus mencolok yang dihiasi dengan permata semi mulia dan cadar mutiara. Sesuai tradisi Tiongkok, sang suami akan membuka cadar istrinya  hanya  setelah perayaan pernikahan selesai, dan pasangan yang baru menikah berada  sendirian di kamar tidur mereka.

Tiara, abad ke-19, Dinasti Qing (1644–1912), Tiongkok. Hadiah yang dijanjikan dari Barbara dan David Kipper. Institut Seni Chicago. (Institut Seni Chicago)

Tradisi kuno dan simbol keberuntungan menandai acara tersebut. Misalnya, mahkota pengantin wanita mungkin berhiaskan sepasang naga yang mengejar mutiara yang menyala, hal ini melambangkan pernikahan yang bahagia. Dan sang suami akan mengaitkan hiasan rambut istrinya pada ruang yang ditentukan di tengah kisi-kisi di belakang ranjang pernikahan untuk melambangkan pernikahan yang subur.

Dari jauh, tiara mempelai wanita yang semarak tampak terbuat dari batu pirus, atau enamel. Tapi batu pirus tidak berwarna-warni seperti warna biru di mahkotanya. Jika diamati lebih dekat pada hiasan pirus misterius ini, seakan melihat kilau halus bulu burung kingfisher atau cekakak.

Berharganya Bulu Burung Cekakak

Menariknya, bulu burung cekakak tidak berwarna biru solid; namun transparan. Burung itu mendapatkan rona pirus yang cerah karena bulunya membiaskan cahaya.

Sejak Dinasti Han (206 SM–220 M), pengrajin Tiongkok telah menggunakan daya tarik bulu cekakak sebagai hiasan. Orang Tiongkok menyukai burung cekakak dari Vietnam dan Kamboja.

Hiasan kepala, abad ke-19, Dinasti Qing (1644–1912), Tiongkok. Hadiah yang dijanjikan dari Barbara dan David Kipper, Institut Seni Chicago. (Institut Seni Chicago)

Permaisuri dan para selir lah yang pertama kali mengenakan hiasan kepala bermotifkan burung cekakak. Kemudian sejak abad ke-19, para wanita bangsawan dan kaya mulai memakainya pada acara-acara khusus seperti pernikahan dan ulang tahun.

Selain sebagai hiasan kepala, kilauan warna bulu burung cekakak yang semarak ditampilkan pada kipas, perhiasan, jepit rambut, ikat pinggang, rok, selimut, layar lipat, dan bahkan kereta.

‘Menghiasi dengan Burung Cekakak’

Salah   satu   teknik menakjubkan yang digunakan pengrajin   Tiongkok,   disebut   tian-ts’ui  (secara  harfiah  berarti “menghiasi    dengan burung cekakak”), melibatkan penggunaan  filamen  bulu  burung cekakak sebagai tatahan dekoratif yang ketika selesai hampir terlihat seperti enamel.

Menurut Museum Pitt Rivers,   untuk   membuat objek   tian-ts’ui,   seorang pengrajin    pertama-tama akan    menyolder    kawat galeri  ke  kerangka  logam untuk  membuat  motif   yang   berbeda,   seperti   bunga,   naga,   burung phoenix, atau kupu-kupu. Dia  akan  membagi  setiap motif   menjadi   beberapa bagian untuk di hias. Dia kemudian memotong filamen bulu burung sesuai ukuran dan mencelupkannya masing-masing ke dalam lem tipis yang terbuat dari kulit hewan atau isinglass (terbuat dari kantung insang ikan) dan ekstrak rumput laut, sebelum menempelkan potongan filamen tersebut ke kerangka logam dengan ketelatenan tinggi.

Pada tahun 1908, penulis Mary Parker Dunning  menyaksikan  seorang  pengrajin membuat  pin  tian-ts’ui.  “Pengrajin  ajaib, seorang   Tiongkok   yang   sabar,   berkacamata,  mengambil  sehelai  bulu  dari  sayap burung, membubuhkannya sedikit lem dan meletakkannya di atas alas perak, kemudian sehelai rambut lagi, yang ia letakkan di samping yang pertama. Kemudian lagi dan lagi dan lagi, tanpa henti, sungguh menyakitkan kepala dan melelahkan mata, sampai dia meletakkan filamen dari bulu- bulu sayap burung begitu erat sehingga terlihat seperti sepotong enamel,”tulisnya dalam bukunya tahun 1968 berjudul “Mrs.Marco Polo Remembers” (seperti dikutip dalam sebuah artikel di situs web Pitt Rivers Museum.)

Topi, abad ke-18–19, Dinasti Qing (1644–1912), Tiongkok. Hadiah yang dijanjikan dari Barbara dan David Kipper. Institut Seni Chicago. (Institut Seni Chicago)

Si pengrajin kemudian akan menambahkan bahan-bahan berharga ke dalam karya tersebut, seperti rubi, batu akik, batu giok, koral, amber, dan mutiara.

Karena sifatnya yang halus, objek bulu burung cekakak jarang dapat bertahan. Namun pengunjung Institut Seni Chicago dapat melihat lebih dari 20 objek yang menampilkan kerajinan bulu-bulu—mulai dari jepit rambut, perhiasan hingga hiasan kepala—dalam pamerannya yang bertajukkan “Kingfisher Headdresses From China.” (jen)

Pameran  Institut  Seni  Chicago  “Kingfisher Headdresses From China” berlangsung hingga 21 Mei 2023. Untuk mengetahui lebih lanjut, kunjungi ArtIC.edu