Antrean Panjang Warga Hong Kong Yang Berkabung Bagi Sang Ratu

Qianyuan – hk.epochtimes.com

Baru-baru ini (per 15/09), banyak media massa memberitakan kondisi berkabung di depan gedung Konsulat Jenderal Inggris di Hong Kong, di bawah suhu tinggi yang mencapai 34oC itu barisan antrian warga Hong Kong yang datang untuk berkabung bagi Ratu Inggris mencapai tiga jam panjangnya.

Terhadap topik ini, media massa dalam dan luar negeri memberitakannya secara sangat berbeda, seperti di BBC yang berjudul: “Pernyataan Sikap Politik Alternatif di Bawah UU Keamanan Nasional dan Kerinduan Kolonial”; sedangkan di RFI (Prancis) judulnya adalah: “Warga Hong Kong Berduka Bagi Ratu Inggris, Dibandingkan Dengan Xi Jinping”.

Sementara judul berita pada situs pers RRT (Republik Rakyat Tiongkok) justru terkesan agak iri, seperti judul pada NetEase Inc. yang berbunyi: “Ratu Inggris Telah Mangkat Empat Hari, Belasungkawa di Hong Kong Semakin Menjadi-Jadi: Barisan Belasungkawa Antri 3 Jam Menyebut Diri Sebagai Rakyatnya”, artikel itu bahkan mengandung makna mengutuk pernyataan sikap warga Hong Kong yang mengenang pemerintahan Inggris itu, berdasarkan pola pikir penulis setelah terus menelusuri di internet, sangat besar kemungkinan para warga yang berkabung akan dicap telah melanggar “UU Keamanan Nasional Hong Kong”, dan akan ditangkap untuk dikurung beberapa hari di dalam sel gelap.

Daripada mengatakan warga Hong Kong berkabung bagi Ratu Inggris, lebih tepat dikatakan warga Hong Kong berkabung atas hilangnya kebebasan bagi warga Hong Kong, jika dibandingkan dengan toleransi, kebebasan dan keterbukaan di bawah pemerintahan Britania Hong Kong (Hong Kong di bawah kekuasan Britania, red.), Hong Kong yang sekarang sedang berpacu di tengah jalan yang penuh ketakutan, tertutup, dan juga kediktatoran.

Di bawah perbandingan yang begitu menakutkan ini, bagaimana mungkin musim panas yang menyengat dan antri 3 jam dapat menyurutkan tekad warga untuk melakukan “pernyataan sikap politik”, seharusnya setiap warga Hong Kong yang memiliki hati nurani memang patut turun ke jalan, menggunakan cara masing-masing yang unik untuk menyampaikan kesedihannya, tidak hanya kesedihan terhadap Ratu Inggris, terlebih lagi karena kerinduan pada kebebasan yang telah terkikis.

Mungkin banyak orang tidak memperhatikan, tanggal 8 September adalah hari berkabung Ratu Elizabeth II, sedangkan 9 September adalah hari meninggalnya Mao Zedong (dibaca: mau ce tung). Banyak orang menyampaikan perasaan mereka di Twitter: “Hari ini, orang yang paling jahat di dunia telah mati, di bawah kepemimpinannya, delapan puluh juta warga Tiongkok mati mengenaskan.” Selain orang Tiongkok yang telah didoktrin secara ekstrem dan sampai hari ini masih mengenang Mao Zedong, di dunia ini dimana masih ada orang yang akan memberikan bunga baginya? Ratu vs Mao Zedong, reputasi siapa yang lebih baik, tidak perlu dijelaskan lagi.

Kekuasaan raja Inggris selama ratusan tahun, telah mengalami kematian namun terlahir kembali secara terus menerus melalui proses peletakan kekuasaannya, “the empire on which the sun never sets” di masa lalu, kekuasaan hegemoni itu sudah tiada, tapi orang Inggris telah menciptakan berbagai sistem termasuk Monarki Konstitusional, pemisahan kekuasaan, pemilu demokrasi dan lain sebagainya justru telah sukses diaplikasikan di berbagai penjuru dunia, bahkan belasan pertandingan olahraga yang diciptakan oleh orang Inggris juga masih terus bertahan.

Tanpa perlu menggunakan kekuatan militer, tidak perlu ekspansi ke luar negeri, Inggris yang berpijak pada moralitas dan posisi dominan dalam hal budaya, tetap makmur ekonomi negaranya dan dihormati oleh negara lainnya.

Meninggalkan pemerintahan kolonial, meninggalkan perang dengan kekuatan militer, justru membuat Inggris memperoleh masa pemerintahan yang panjang dan damai, hal ini seperti yang dikatakan filsuf Tiongkok bernama Laozi (juga disebut Lao Tzu atau Lao-Tze, red.) “tanpa perlu berbuat namun segalanya diperbuat”, juga seperti yang dikatakan Konfusius “memerintah dengan moral, ibaratnya Polaris (bintang utara, red.), diam di posisinya dan selalu dikelilingi semua bintang lainnya”.

Monarki Inggris dengan segala yang dilakukannya, sejalan dengan pemikiran Konfusius dan Buddha pada zaman Tiongkok kuno, bukankah itu yang disebut sebagai “moralitas raja”? Inilah penyebab ketika sang ratu mangkat, begitu banyak orang di seluruh dunia menyampaikan belasungkawa, banyak warga Hong Kong menghabiskan waktu seharian hanya untuk mempersembahkan seikat bunga, karena inilah kemenangan “moralitas raja”, yang tidak bisa dibayangkan oleh pejabat PKT yang suka menindas rakyat.

Masih segar dalam ingatan, hasil perbandingan begitu jelas, sepertinya hati kaca PKT yang rapuh itu akan hancur lagi. Warga Hong Kong juga memberikan suaranya dengan cara angkat kaki, meninggalkan kampung halaman, dan bermigrasi ke berbagai negara asing.

Menurut statistik, dari 2021 sampai 2022, sebanyak 113.000 warga telah meninggalkan Hong Kong dan bermigrasi ke negara lain, jumlah warga yang bermigrasi tidak hanya mencapai yang tertinggi sejak 1997, faktanya mencapai beberapa kali lipat dibandingkan tahun-tahun normal (tanpa gejolak) sebelumnya.

Di antara warga yang bermigrasi, pada dasarnya adalah para kawula muda dengan keahlian profesional, bisa dikatakan kebijakan RRT yakni: “mempertahankan Hong Kong tapi tidak mempertahankan warganya” telah mulai terlihat dampaknya, Hong Kong di masa mendatang, pasti akan mengalami penuaan usia warga (ageing population, red.) yang semakin parah, perekonomian pun akan terus merosot, secara perlahan PKT sedang membunuh Hong Kong, surga Asia dengan kemakmuran ekonomi, kemajuan budaya, serta kebebasan berpolitik itu telah lenyap dan tidak akan kembali lagi! (SUD)