Senat AS : Status Tiongkok Sebagai Negara Berkembang Terancam Dicabut

 oleh Jin Shi

Senat AS pada Rabu (21/9) mengesahkan RUU mengenai iklim dengan klausula tambahan yang mengusulkan pengakhiran status negara berkembang bagi Republik Rakyat Tiongkok.

“Dalam pemungutan suara tersebut, 69 suara mendukung dan 27 suara menentang,” kata Senator AS John Wright Hickenlooper Jr.

Pada Rabu, dengan mayoritas suara lebih dari dua per tiga mendukung Senat menyetujui sebuah amandemen perjanjian iklim – Amandemen Kigali (Kigali Amendment) untuk Protokol Montreal 2019.

Amandemen tersebut, yang ditandatangani oleh 124 negara, mendesak negara-negara untuk mengurangi hingga 85% pada tahun 2036 penggunaan refrigeran hidrofluorokarbon (HFC) yang banyak digunakan di lemari pendingin dan AC. HFC ini merupakan polutan yang sangat merusak lapisan ozon di atmosfer.

Anggota parlemen AS menunjukkan bahwa RUU itu juga akan menguntungkan perusahaan AS yang mengembangkan dan memproduksi bahan alternatif untuk HFC.

Senator AS Robert (Bob) Menendez mengatakan : “Bergabung dengan Amandemen Kigali akan menjauhkan dunia dari Tiongkok dan perusahaannya, dan beralih menuju keunggulan kompetitif yang kami miliki. Ini baik untuk Amerika dan bisnis kami tetapi tidak menguntungkan Tiongkok”.

Pada hari yang sama, dua senator dari Partai Republik, Dan Sullivan dan Mike Lee, juga mengajukan klausula tambahan yang menghendaki Kementerian Luar Negeri AS mengusulkan kepada PBB untuk mengakhiri status negara berkembang bagi Republik Rakyat Tiongkok. Senat meloloskan permintaan tersebut dengan suara 96 banding nol.

Senator Republik Mike Lee mengatakan : “Ini bakal sebagai awal dari pengakhiran Tiongkok  yang menerima perlakuan khusus dengan biaya yang ditanggung oleh rakyat Amerika Serikat. Sebagai penghasil emisi gas rumah kaca terbesar di dunia, Tiongkok telah lama tidak mematuhi dan mengabaikan standar lingkungan dan terus meningkatkan emisinya”.

Jika PBB dan WTO tidak lagi mengakui Tiongkok sebagai negara berkembang, berarti beberapa perlakuan khusus yang dinikmati Tiongkok akan dicabut, seperti pinjaman berbunga rendah dari Bank Dunia, tarif perdagangan yang tidak setara, dan lain sebagainya.

Frank Tian Xie, ​​​​seorang profesor di Aiken School of Business dari University of South Carolina, mengatakan : “Saya berikan sebuah contoh yang tidak terlalu tepat, yaitu seperti beberapa imigran dari daratan Tiongkok yang baru tiba di Amerika Serikat, mereka berpura-pura miskin dan mengajukan subsidi dari pemerintah AS, tetapi sebenarnya mereka itu orang-orang sangat kaya. Sering kali memamerkan mobil dan rumah mewahnya. Sekarang pemerintah AS menemukan bahwa orang-orang ini sebenarnya memiliki aset, lalu memutuskan untuk mencabut subsidi. Bagaimana perasaannya ? Saya pikir itulah kira-kira yang dirasakan oleh pemerintah Tiongkok sekarang”. (sin)