Pakar AS : 4 Pertanda yang Mencerminkan Partai Komunis Tiongkok Mulai Runtuh

 oleh Zhang Ting

Sebastian Mallaby, rekan senior ekonomi internasional di Dewan Hubungan Luar Negeri Amerika Serikat menulis artikel berjudul “Beberapa Petanda yang Mencerminkan PKT Mulai Runtuh” yang diterbitkan oleh Washington Post pada 24 September. Beberapa pertanda itu dijabarkan dari aspek-aspek : epidemi, real estate, penindasan terhadap perusahaan raksasa teknologi, dan masalah demografi Tiongkok.

Sebastian Mallaby memulai penjelasannya dengan bertanya, apakah Tiongkok adalah raksasa ekonomi dan dalam waktu tak lama lagi akan melampaui Amerika Serikat dalam hal teknologi ? Atau raksasa yang sedang sakit, terganggu oleh demografi, krisis perumahan, dan mandat pemerintah yang kontraproduktif ?

Sebastian Mallaby dengan terampil menjawab bahwa tampaknya kedua unsur itu ada. Namun dia langsung menekankan bahwa kelemahan yang dimiliki Tiongkok semakin kuat mendominasi.

Perkembangan terbaru Tiongkok dalam drone, pembayaran seluler dan peralatan jaringan 5G, serta kecerdasan buatan, cukup menggambarkan mengapa beberapa orang khawatir bahwa suatu hari nanti Tiongkok akan menyusul Amerika Serikat. Tetapi sejauh menyangkut para pemimpin Tiongkok, mereka menghadapi tantangan yang lebih dalam, kata Malaby.

Tahun ini, pertumbuhan ekonomi Tiongkok diperkirakan hanya tumbuh sedikit di atas 3%, katanya. Itu jauh di bawah target resmi 5,5%, Bahkan cukup memalukan jika dibandingkan dengan kinerja ekonomi Tiongkok satu dekade lalu, ketika pertumbuhan tahunan mencapai sekitar 8%. PKT akan mengaitkan perlambatan ekonomi tersebut dengan hambatan-hambatan istimewa lainnya. Namun hambatan itu semua secara kolektif menunjuk pada gambaran yang lebih besar, yakni “sistem otoriter telah mencapai puncaknya”.

Mallaby mengatakan bahwa rintangan pertama yang dialami Tiongkok adalah COVID-19. Segera setelah ada tanda-tanda wabah muncul di suatu tempat di Tiongkok, PKT langsung memberlakukan tindakan penguncian yang ekstrem. Kota-Kota seperti Shanghai, Shenzhen dan lusinan kota lainnya telah mengalami jam malam yang menghancurkan secara ekonomi, mengganggu rantai pasokan global dan menyebabkan kekurangan pangan dan kesulitan lainnya bagi jutaan orang. Di Kota Ruili yang berbatasan dengan Myanmar, penduduk dilarang meninggalkan rumah mereka selama total 119 hari antara bulan Maret 2021 hingga April 2022, Demikian Bloomberg Businessweek baru-baru ini melaporkan.

Pada saat sebagian besar negara di dunia secara bertahap memulai lagi kegiatan ekonomi mereka dan menerapkan kebijakan hidup berdampingan dengan virus, kebijakan nol kasus PKT yang ekstrem telah menyebabkan semakin banyak warga Tiongkok merasa tidak puas terhadap pemerintah. Pada 18 September pagi hari sebuah bus yang mengangkut 45 orang warga Guizhou yang dicurigai sebagai suspek COVID-19 akan dibawa paksa ke tempat isolasi terpusat, bus yang terguling dan jatuh ke jurang yang dalamnya belasan meter menyebabkan 27 orang penumpangnya tewas dan belasan lainnya terluka. Meski pejabat setempat sudah meminta maaf, tetapi sulit meredam kemarahan warga.

Netizen yang menggunakan nama “Nobita Nobi” menyebutkan : “Meminta maaf tidak dapat menghidupkan kembali korban tewas, dan pengkhianatan kepercayaan pasti mengerikan. Kecelakaan ini telah menghabiskan kepercayaan yang diberikan seluruh masyarakat kepada pemerintah. Kepercayaan yang rusak tidak dapat diperbaiki dengan permintaan maaf yang tulus. Terlebih lagi , ketulusan tidak dapat ditunjukkan dengan kalimat, naskah, keirei atau membungkuk penuh hormat. Sedangkan kegiatan membawa paksa warga yang diduga berkontak dekat dengan COVID-19 ke tempat-tempat isolasi terpusat masih terus berlangsung sampai sekarang”.

Rintangan kedua yang dihadapi PKT menurut Sebastian Mallaby, adalah masalah real estate. Sekali lagi, pemerintahan partai komunis Tiongkok telah membuat keputusan politik yang mencegah konsumsi swasta. Akibatnya, kebijakan distorsi negara telah mendorong pertumbuhan yang tidak sehat di pasar real estat.

Pada tahun 2000-an, Tiongkok memanipulasi nilai mata uangnya guna mendorong ekspor tetapi juga menyebabkan surplus perdagangan yang tidak berkelanjutan, katanya. Langkah pemerintah Tiongkok selanjutnya adalah memerintahkan bank dan pemerintah daerah untuk mempromosikan kebangkitan industri konstruksi. Meskipun sekali lagi mampu mendongkrak kenaikan pertumbuhan, tetapi itu menggantikan pembelian obligasi luar negeri yang tidak berkelanjutan dengan utang dalam negeri yang tidak berkelanjutan. Akibatnya, para pengembang real estat terbesar Tiongkok gagal membayar utangnya. Pembeli apartemen yang proyeknya mangkrak sangat marah, lalu mereka menghentikan pembayaran angsuran KPR yang jumlahnya terus menyebar ke lebih dari seratus kota. Harga rumah jatuh selama 12 bulan berturut-turut. Akibat industri real estat berhasil mendongkrak lebih dari seperempat porsi pertumbuhan ekonomi, jadi keruntuhannya pasti mengancam resesi yang lebih luas dalam ekonomi Tiongkok.

Mallabi mengatakan bahwa rintangan ketiga telah membayangi kekuatan Tiongkok di bidang teknologi. Untuk alasan politik, PKT tidak dapat mentolerir raksasa teknologi yang bercita-cita menjadi influencer gaya Elon Musk. Orang-orang ini mendaftarkan perusahaan di bursa saham asing dan memulai perusahaan untuk membantu mahasiswa Tiongkok mendaftar ke universitas asing. Tetapi pemerintah Tiongkok telah menindak perusahaan raksasa teknologi ini. Tindakan PKT ini tidak akan mendorong generasi teknologi berikutnya untuk memulai perusahaannya di daratan Tiongkok.

Rintangan keempat menurut Sebastian Mallaby adalah isu demografi Tiongkok : Pada tahun 1979, para pemimpin PKT menerapkan kebijakan satu anak yang keras yang menyebabkan aborsi selektif menurut jenis kelamin, ketidakseimbangan gender, tingkat kelahiran yang menurun dengan cepat. Pemerintah akhirnya beralih ke kebijakan dua anak pada tahun 2016 ketika menyadari hal ini dapat memicu krisis populasi. Tahun lalu, dalam kepanikan, pemerintah mengumumkan kebijakan tiga anak, serta rencana untuk mendorong kelahiran, tetapi sudah terlambat, dan tingkat kesuburan tidak menunjukkan tanda-tanda meningkat.

Semua hambatan ini bukan kabar baik, katanya. Dia menyimpulkan artikel yang diterbitkan pada “Washington Post” melalui akun Twitter-nya pada hari Minggu : “Model ekonomi terpusat PKT akan segera berakhir”. (sin)