Filosofi di Balik Udeng dan Blangkon

Iswahyudi

“Orang yang tidak mengetahui sejarah,  asal usul, dan budaya masa lalunya seperti pohon tanpa akar,” kata Marcus Garvey, aktivis politik, jurnalis, dan seorang nasionalis kulit hitam Pan-Afrika. Pesan itu menandai betapa pentingnya memahami dan melestarikan budaya suatu bangsa. Pesan itu senada dengan peribahasa Jawa “kacang ojo lali marang kulite (kacang jangan melupakan kulitnya)” atau “ojo lali marang sangkan paraning dumadi” (jangan lupa asal- usul dan tujuan kehidupan).

Sering kali generasi muda lebih menggandrungi budaya lain dari pada budaya sendiri. Semisal ketika demam Korean Pop (K-Pop) melanda Indonesia, banyak anak muda di Indonesia menggandrunginya. Seperti kita lihat boyband dan girlband semisal BTS dan Black Pink memiliki banyak penggemar fanatik di Indonesia, sehingga pernak-pernik idola mereka dijual dengan harga yang tidak masuk akal. Tidak menyadari bahwa ini adalah bentuk penjajahan budaya yang dampaknya adalah lepasnya suatu generasi dari akar budayanya sendiri.

Mengapa K-Pop bisa menjadi  candu  baru  bagi anak muda di dunia? Sebuah artikel di kompas.com (27/06/2021) berjudul “Kenapa K-Pop Mendunia?” ada 4 faktor yaitu (1) visual dan fashion, (2) kepribadian, bakat dan bahasa, (3) melodi yang candu, (4) koreografi. Tapi pertanyaan selanjutnya apakah K-Pop mempunyai kedalaman makna dan filosofi di baliknya?  Jelas tidak, ini hanyalah budaya dangkal dan bagian dari budaya populer. Trevor Dunn, seorang komposer Amerika, gitaris bass, dan pemilik band Mr. Bungle, mengatakan: “Budaya pop bukan tentang kedalaman. Ini tentang pemasaran, penawaran dan permintaan, serta konsumerisme.”

Indonesia kaya dengan warisan budaya mulai bahasa, adat istiadat, pakaian adat dan pernik-perniknya, kepercayaan, sistem sosial, arsitektur, serat-serat kuno, dan lain sebagainya. Bangsa Barat semenjak dulu begitu getol meneliti budaya Nusantara dan banyak peninggalan nenek moyang masih tersimpan rapi di Perpustakaan Leiden Belanda, sementara bangsa sendiri malah menelantarkannya. Banyak sarjana Barat mengakui kedalaman dan adhiluhung-nya filosofi dari produk-produk budaya kita.

Sebut saja produk budaya penutup kepala seperti udeng dan blankon yang digunakan pada momen-momen tertentu ternyata di baliknya ada sejarah, filosofi, dan makna yang mendalam, bukan hanya sekadar melindungi kepala dari hujan-panas, ataupun sekadar tuntutan fashion atau melambangkan status sosial.

Generasi sekarang ketika ditanya apa persepsinya tentang seorang yang memakai udeng dan blankon? Banyak yang menjawab, ini bagian dari outfit seorang dukun atau paranormal. Ditambah lagi setelah viral-  nya perseteruan Pesulap Merah versus Gus Samsuddin, persepsi bahwa pemakai udeng dan blangkon sebagai dukun makin kuat. Meneliti lebih dalam tentang udeng dan blankon yang ada di negeri ini, ternyata memiliki sejarah panjang dan makna yang mendalam. Bahkan setiap daerah punya ciri khas udeng atau blankon sendiri.

Sejarah udeng dikaitkan dengan Prabu Aji Saka ketika melawan raksasa Dewata Cengkar yang kecanduan daging manusia yang menguasai Pulau Jawa. Udeng Prabu Aji Saka ternyata sangat panjang sampai bisa menutupi Pulau Jawa sehingga bisa melemparkan Dewata Cengkar terusir dari tanah  Jawa dan tercebur ke Segara Kidul. Dari legenda ini udeng bisa dimaknai sebagai akal budi yang panjang bisa mengalahkan atau meleburkan hawa nafsu angkara murka yang dilam- bangkan oleh Dewata Cengkar. Udeng melambangkan kesadaran dan akal budi yang mengekang hawa nafsu.

Keberagaman bentuk, corak,  ikatan, serta motif udeng dan blangkon bervariasi di setiap daerah, sehingga bisa menggambarkan pola pikir, pandangan dunia, atau karakter orang-orang di daerah tersebut. Semisal udeng dari Bali yang terdapat ikatan bunga di depan diartikan sebagai ngiket manah atau pemusatan pikiran. Dan mempunyai bentuk yang tidak simetris dengan bagian kanan ditinggikan yang merupakan harapan agar si pemakai selalu berusaha melakukan kebaikan. Udeng atau blangkon Jogja dan Solo memiliki makna yang lain. 

Meneliti maknanya akan sangat menarik. Di Jawa Timur semisal, udeng Sidoarjo punya filosofi yang unik dengan udeng Pacul Gowangnya yang bermakna kewibawaan, berilmu tinggi, rendah diri, dan senantiasa bertakwa. Ini dituangkan dalam bagian kepala yang tertutup sebagian yang melambangkan ke- seimbangan antara terbukanya pikiran lelaki Sidoarjo dan upaya merahasiakan ataupun menutup keburukan dirinya demi kewibawaannya. Buncen runcing menyerupai gunung melambangkan jiwa teguh dan kokoh, selain itu seorang lelaki Sidoarjo harus pandai, cerdas, dan berilmu tinggi. Buncen tumpul melambangkan sifat lelaki sidoarjo harus rendah diri dan andhap ashor (rendah hati) untuk menyatu dengan masyarakat. Tertutupnya tengkuk melambangkan seorang lelaki harus melihat kesalahan diri sendiri dahulu sebelum menya- lahkan orang lain.

Sejarah serta Filosofi Udeng dan Blankon

Budaya penutup kepala di setiap bangsa selalu ada. Motivasi awalnya bisa jadi untuk beradaptasi dengan kondisi lingkungan, misalnya pelindung kepala dari panas, dingin, gangguan serangga, dan benda tajam. Selain itu juga punya fungsi estetik, identitas, lambang kedudukan seseorang. Di Jawa dikenal ada udeng dan blangkon. Udeng ada lebih dahulu dari pada blangkon. 

Seni udeng membutuhkan ketelitian dan keterampilan tertentu yang biasanya diwariskan turun-temurun. Blangkon muncul belakangan dan bentuknya instan dan hasil pengrajin sehingga pemakai tidak repot belajar teknik mengikat. Blangkon muncul dari budaya keraton sebagai simbol, ciri khas, dan pembeda antara kaum ningrat keraton dengan masyarakat jelata yang hanya memakai iket sebagai penutup kepala.

Seorang ahli kebudayaan bernama Becker pernah mengatakan tentang blangkon sebagai suatu benda berguna, dibutuhkan keterampilan khusus untuk membuatnya, tak ada yang mengatakan tidak indah, berasal dari tradisi asli yang dijiwai selera akan kein- dahan dan standar estetik tertentu. Pada zaman dahulu, blangkon memang hanya dibuat oleh para seniman yang ahli dengan pakem (aturan) tentang iket. Semakin memenuhi pakem yang ditetapkan, maka blangkon tersebut akan semakin tinggi nilainya. Nilai dari sebuah blangkon meliputi keindahan, ketekunan, ketelitian, dan kesabaran.

Dari sebuah blangkon bisa ditelusuri pemikiran orang Jawa, seiring interaksi dengan budaya lain seperti budaya Hindu dan Islam. Diduga para pedagang dari Gujarat yang keturunan Arab selalu mengenakan sorban juga memengaruhi evolusi blangkon atau iket (udeng). Tapi di balik itu semua, sebuah blangkon atau udeng mempunyai nilai filosofis. Orang Jawa memandang kepala, rambut, dan wajah adalah mahkota, bagian yang terpenting dan terhormat dari tubuh manusia. 

Dahulu kebanyakan orang Jawa memanjangkan rambutnya namun tidak membiarkannya tergerai acak acakan begitu saja. Rambut biasanya digelung atau diikat dengan ikatan kain, yang saat ujung ikatan kain tersebut diikat di belakang kepala bermakna filosofis berupa peringatan untuk mampu mengendalikan diri. Pria Jawa zaman dahulu hanya membiarkan rambutnya tergerai hanya saat berada di rumah atau dalam sebuah konflik, misal perang atau berkelahi. Membuka ujung ikatan kain di belakang kepala (atau membuka tutup kepala) akibatnya rambut tergerai, adalah bentuk terakhir luapan emosi yang tak tertahan. Jadi iket atau blangkon adalah perwujudan pengendalian diri.

Ketika Islam masuk ke tanah Jawa, blangkon dikaitkan dengan nilai transedental. Di bagian belakang blangkon pasti ada 2 ujung kain yang terikat, yang satu ujung kain merupakan simbol dari syahadat Tauhid dan satu ujung lain adalah syahadat Rasul dan terikat menjadi satu bermakna menjadi syahadatain. Setelah terikat, kemudian dipakai di kepala, di bagian  yang bagi orang Jawa adalah bagian terhormat, artinya syahadat harus ditempatkan paling atas. Pemikiran apa pun yang keluar dari kepala harus dilingkupi oleh sendi-sendi agama.

Secara umum, terdapat 2 jenis blangkon: (1)ber- mondolan yang berarti tonjolan, dan (2) trepes yang berarti rata. Pada awal iket dipergunakan sebagai tu- tup kepala, banyak pria Jawa yang berambut panjang sehingga harus digelung terlebih dahulu sebelum ditutup dengan iket. Gelung rambut inilah yang kemudian mondol, menonjol, dan disembunyikan di bawah iket.

Rambut dalam nilai filosofi orang Jawa melambangkan perasaan. Rambut di bawah iket adalah perasaan yang disembunyikan, yang harus dijaga rapat-rapat, menjaga perasaan sendiri demi menjaga perasaan orang lain. Setelah pecahnya Kerajaan Mataram pasca Perjanjian Gianti (1755), Kesultanan Mataram terbagi menjadi dua yaitu Yogyakarta dan Surakarta.

Blangkon juga mengalami evolusi di mana pria Jogja masih berambut panjang dan menggelung rambutnya, sementara pria Surakarta karena lebih dekat dengan orang-orang Belanda terlebih dahulu mengenal cara bercukur. Ini berpengaruh pada mondolan pada blangkon ala Yogyakarta. Sementara blankon Surakarta trepes tanpa mondolan. Bukan hanya di dua keraton saja blangkon berevolusi di berbagai daerah. Ditemukan ada beberapa versi blangkon seperti

(1) Kejawen (meliputi daerah Banyumas, Bagelen, Yogyakarta, Surakarta, Madiun, Kediri, Malang), 

(2) Pasundan,

(3) Pesisiran, 

(4) Layaran (Jawa  Timur, dari Bangkalan),

(5) Tengkulak (Banten, Cirebon, Demak) dipakai oleh santri, dan lain-lain. Jadi blangkon adalah sebuah representasi diri melalui tampilan depan yang rapi, sopan, dan berseni (ditandai dengan wiru halus) dari sebuah pengendalian diri yang kuat (ikatan dua ujung kain di bagian belakang), pengendalian diri yang juga berbasis atas hubungan manusia dengan Sang Pencipta karena pada zaman dulu, orang-orang Jawa banyak yang memakai blangkon karena kesadaran mereka sebagai hamba Tuhan dan khalifah di Bumi.

Yang jelas, intinya blangkon dan udeng bukan hanya sekadar penutup kepala atau outfit para dukun mau-  pun paranormal. Udeng mengajarkan kita agar mudeng (mengerti) dengan jati diri kita sendiri. “Sak bejo-bejone wong kang lali isih luwih bejo wong kang iling lan waspodo”. Memakai udeng lebih sulit dari memakai blang- kon, tapi tak sesulit melupakan Reyhan*) .

*) Lagu “Begitu Syulit Melupakan Reyhan” yang begitu viral di medsos