Apakah Kunjungan Tingkat Tinggi AS ke Indonesia dan Filipina Berkaitan dengan Persiapan AS Menghadapi Situasi Genting di Selat Taiwan ?

oleh Zhang Ting

Meskipun Presiden Biden menyatakan bahwa dirinya tidak percaya bahwa militer Tiongkok akan menyerang Taiwan dalam waktu dekat, tetapi pemerintahnya tampaknya terus melakukan persiapan menghadapi perang di Selat Taiwan. Hari Senin 21 November, Wakil Presiden AS Kamala Harris dan Menteri Pertahanan Lloyd Austin masing-masing mengunjungi Filipina dan Indonesia, kedua negara tersebut yang dinilai memiliki arti strategis bagi  AS untuk menghadapi krisis di Selat Taiwan.

Pada 14 November, Presiden AS Joe Biden dan pemimpin Partai Komunis Tiongkok Xi Jinping bertemu di Bali. Keduanya tidak menyelesaikan perbedaan terhadap isu Taiwan yang terjadi antar kedua negara itu. Setelah pertemuan tersebut, Biden mengatakan bahwa menurut dirinya militer Tiongkok tidak akan menyerang Taiwan dalam waktu dekat, tetapi ini tidak berarti bahwa Amerika Serikat dapat mengendurkan kewaspadaannya terhadap perang di Selat Taiwan.

Mengapa AS tidak dapat menganggap enteng terhadap ancaman serangan itu

Katsuji Nakazawa, mantan kepala biro Nikkei Asia untuk Tiongkok menulis sebuah artikel pada 17 November yang menyebutkan, bahwa hanya satu orang yang tahu apakah militer Tiongkok akan menyerang Taiwan atau tidak, ia adalah Xi Jinping sendiri. Katsuji Nakazawa berpendapat bahwa setidaknya dalam 5 tahun ke depan, masyarakat internasional harus bersiap menghadapi kemungkinan krisis di Selat Taiwan.

Dia menjelaskan bahwa meskipun Xi Jinping telah terpilih kembali untuk ketiga kalinya, ancaman perang masih tetap ada. Ini karena dia gagal mencapai tujuan akhirnya menjadi pemimpin seumur hidup di Kongres ke-20, yang menciptakan ketidakseimbangan dalam politik domestik dan mengubahnya menjadi isu yang mengancam keamanan internasional. Akankah Xi menggunakan militer untuk mewujudkan reunifikasi Taiwan sebagai opsi untuk mencapai tujuan itu ? Ini adalah sesuatu yang harus dikhawatirkan oleh perusahaan asing saat ini.

Katsuji Nakazawa mengatakan bahwa keberhasilan mewujudkan reunifikasi Taiwan, tidak diragukan lagi akan memungkinkan Xi Jinping menyamai prestasi yang dicapai oleh Mao Zedong dan memungkinkannya untuk memenangkan masa jabatan keempat di Kongres Nasional ke-21 yang akan diselenggarakan pada tahun 2027. Komunitas internasional tidak punya pilihan lain kecuali bersiap-siap menghadapi apa yang seolah-olah merupakan krisis berkepanjangan atas Taiwan, paling tidak untuk 5 tahun ke depan.

Nikkei Asia melaporkan bahwa Richard McGregor, seorang peneliti senior untuk Asia Timur dari Lowy Institute mengatakan, bahwa meskipun selama KTT G20 di Bali, Xi Jinping sepertinya mengubah gaya diplomasinya sehingga terlihat lebih moderat daripada para pejabat Tiongkok lainnya yang berdiplomasi ala “serigala”, tetapi tujuan atau ambisi dasar PKT tidak berubah. “Pendapat bahwa kita sedang memasuki era stabilitas baru itu jelas menyesatkan. Sebaliknya, mereka (PKT) sedang mencoba untuk mencapai semacam keseimbangan diplomatik”, kata Richard McGregor.

Selain itu, melalui pidato Pentagon baru-baru ini dapat juga kita ketahui bahwa Amerika Serikat tidak menurunkan kewaspadaannya terhadap situasi di Selat Taiwan. Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin dalam pertemuan “Forum Keamanan Internasional Halifax” di Kanada yang diadakan pada 19 November mengatakan, bahwa aktivitas militer PKT di Selat Taiwan menjadi semakin provokatif. Pesawat militer Tiongkok terbang di udara dekat Taiwan dalam jumlah yang besar. Jumlah pasukan militer Tiongkok juga meningkat secara dramatis, untuk menghalang-halangi operasi secara legal dari pasukan AS dan sekutu di perairan dan udara internasional di Laut Tiongkok Selatan dan Laut Tiongkok Timur.

Selain secara terbuka menunjukkan ancaman PKT, pemerintah AS juga secara aktif membuat beberapa pengaturan di negara-negara Asia sebagai persiapan untuk menghadapi perang jika terjadi di Selat Taiwan. Filipina dan Indonesia adalah dua negara kunci yang ingin diajak bekerja sama oleh Amerika Serikat dalam upaya ini.

Kamala Harris mengunjungi Filipina yang dianggap penting

Wakil Presiden AS Kamala Harris mengunjungi Filipina pada hari Senin (21 November), ia menjadi pejabat tertinggi dari pemerintahan Biden yang berkunjung ke negara itu. Perjalanannya tak hanya berupaya mempererat hubungan kedua negara, tetapi pada saat yang sama, pihak AS juga berupaya memperkuat kehadiran militernya di Filipina.

Pada 21 November 2022, Wakil Presiden AS Kumala Harris bertemu dengan Presiden Filipina Bongbong Marcos. (Haiyun Jiang/POOL/AFP)

Lokasi geografis Filipina menjadikan negara itu dimasukkan ke dalam rencana AS untuk mencegah dan menanggapi serangan militer Tiongkok ke Taiwan. Duta Besar Filipina untuk Amerika Serikat Jose Manuel Romualdez mengatakan bahwa ketegangan di Selat Taiwan akan menjadi fokus pembicaraan antara Kumala Harris dengan Presiden Filipina Marcos.

Filipina sangat penting karena dari kelima sekutu perjanjian AS di kawasan Indo-Pasifik, yakni Australia, Korea Selatan, Jepang, Filipina, dan Thailand, Filipina adalah negara yang paling dekat dengan Taiwan, dan pulau Luzon yang berada di paling utara Filipina berjarak hanya 200 kilometer dari Taiwan.

Analis militer mengatakan bahwa jika pasukan AS diizinkan masuk ke Filipina, itu akan mempersulit upaya Tiongkok untuk mengambil alih Taiwan secara paksa.

Reuters yang mengutip ungkapan dari para ahli seperti Randall Schriver, seorang pejabat tinggi urusan Asia Timur di Pentagon dalam pemerintahan Trump mengatakan bahwa Pulau Luzon sangat penting bagi Angkatan Darat AS, terutama sebagai situs untuk peluncuran roket, rudal dan sistem artileri yang dapat digunakan untuk melumpuhkan serangan amfibi dari militer Tiongkok ke Taiwan.

Sikap bermusuh dengan AS dan pro-Tiongkok dari mantan Presiden Filipina Duterte pernah membuat hubungan Filipina – AS menjadi tegang. Di bawah pimpinan Presiden Bongbong Marcos, lingkungan politik untuk memperluas akses militer AS tampaknya membaik, kata Randall Schriver.

Sejak Bongbong Marcos menjabat sebagai presiden Filipina, Amerika Serikat secara aktif mempromosikan hubungan diplomatik kedua negara. Biden telah 2 kali bertemu muka dengan Marcos, dan Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken juga telah mengunjungi Filipina pada Agustus tahun ini.

Belum jelas sejauh mana Filipina akan mengizinkan wilayahnya dipakai untuk keperluan mempertahankan Taiwan. Namun, Presiden Marcos mengatakan dalam sebuah wawancara dengan Bloomberg pada bulan September tahun ini bahwa karena Filipina secara geografis dekat dengan Tiongkok dan Taiwan, Filipina tidak akan “terhindar dari bencana” jika terjadi perang di Selat Taiwan. Selain itu, Filipina secara militer tidak mampu berperang sendiri dan harus bergantung pada bantuan dari para sekutu.

Kepada Kamala Harris, Marcos mengatakan pada hari Senin bahwa hubungan yang kuat antara kedua negara menjadi semakin penting mengingat situasi yang “tidak stabil” di kawasan Indo-Pasifik. “Saya tidak melihat masa depan Filipina tanpa Amerika Serikat”, katanya.

Washington dan Manila sedang meningkatkan aliansi kerja sama militer melalui Enhanced Defense Cooperation Agreement (EDCA). Perjanjian tersebut mengizinkan akses militer AS ke pangkalan militer Filipina untuk melakukan pelatihan bersama. Untuk itu perlu terlebih dahulu mengadakan persiapan seperti penempatan peralatan, membangunan fasilitas landasan pacu, depot bahan bakar, perumahan buat militer dan lainnya. Tetapi EDCA tidak mengizinkan kehadiran militer AS secara jangka panjang.

Untuk memperdalam kerja sama antara militer kedua negara, Amerika Serikat telah mengusulkan penambahan lebih banyak dari 5 lokasi EDCA yang telah disetujui saat ini.

Pekan lalu, panglima militer Filipina Bartolome Bacarro mengatakan bahwa Amerika Serikat mengusulkan untuk menggandakan 5 lagi lokasi untuk EDCA, dan salah satunya dibangun di Pulau Palawan yang menghadap ke Laut Tiongkok Selatan.

Letjen. Bartolome Bacarro mengatakan, 2 wilayah baru yang diusulkan oleh AS terletak sebelah utara Provinsi Cagayan yang berhadapan dengan Taiwan di seberang lautan. Lokasi tersebut dapat berfungsi sebagai pos penting jika ketegangan antara komunis Tiongkok dengan Taiwan memburuk.

Lokasi lain yang diusulkan termasuk Provinsi Palawan dan Zambales, katanya. Kebetulan kedua provinsi tersebut menghadap ke Laut Tiongkok Selatan. Pemberian izin kepada militer AS untuk menempatkan pasukannya di dekat perairan yang disengketakan antara Filipina dengan Tiongkok akan dapat dijadikan kekuatan pendukung bagi pasukan maritim Filipina.

Reuters yang mengutip penjelasan dari Gregory Poling, pakar urusan Asia Tenggara dari Pusat Kajian Strategis dan Internasional di Washington, melaporkan bahwa akan sangat sulit bagi Filipina untuk tetap netral dalam menghadapi konflik di Selat Taiwan, mengingat jaraknya yang dekat dan kewajiban perjanjiannya terhadap Amerika Serikat. Filipina selain bisa menjadi tujuan yang paling mungkin bagi para pengungsi Taiwan bila perang meletus, tetapi sekitar 150.000 orang warga negara Filipina yang tinggal di Taiwan juga akan menghadapi risiko dari perang.

“Dalam perjanjian, Filipina memiliki komitmen kepada Amerika Serikat” kata Gregory Poling. “Jadi jika mereka (Filipina) menginginkan dukungan AS di Laut Tiongkok Selatan, AS tentu juga mengharapkan Filipina dapat mendukungnya dalam hal isu Taiwan”.

Pemerintah Tiongkok telah mengklaim memiliki kedaulatan atas perairan di lepas pantai Pulau Palawan. Filipina bahkan terhadap sebagian besar perairan Laut Tiongkok Selatan. Hal yang tentu memicu protes Filipina.

AS membidik negara kunci lainnya — Indonesia

Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin dan Menteri Pertahanan Indonesia Prabowo Subianto bertemu pada hari Senin (21 November) di Jakarta dalam upaya untuk memperkuat hubungan pertahanan di tengah meningkatnya aktivitas angkatan laut Tiongkok di kawasan Indo-Pasifik.

Kedua belah pihak telah membahas cara untuk memperdalam kemitraan antara kedua negara, termasuk dengan memperluas interoperabilitas dan meningkatkan investasi dalam pendidikan pertahanan, kata Austin dalam konferensi pers bersama usai pertemuan tersebut.

Pada 21 November 2022, Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin (kiri) dan Menteri Pertahanan Indonesia Probowo Subianto sedang berjalan keluar usai konferensi pers. (Willy Kurniawan/POOL/AFP)

Austin juga mengatakan bahwa Amerika Serikat bangga bekerja sama dengan Indonesia untuk memajukan visi Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka.

Prabowo memberi tahu Austin bahwa dirinya senang dapat bekerja sama dengan militer AS. Selama beberapa dekade, personel militer Indonesia dan AS telah bekerja sama di berbagai bidang termasuk operasi maritim, pelatihan dan pendidikan, senjata militer, latihan bersama, pertukaran ahli yang intensif dan ekstensif, serta pertemuan tingkat tinggi di antara para pejabat pertahanan Indonesia.

Namun Prabowo juga menyatakan sikap netral Indonesia dengan mengatakan bahwa negara selalu mengambil sikap berusaha untuk menjaga hubungan terbaik dengan semua negara, terutama terhadap semua kekuatan besar.

Sementara Indonesia dan Tiongkok secara umum mempertahankan hubungan yang positif, tetapi Jakarta telah menyatakan keprihatinannya atas perambahan Tiongkok di zona ekonomi eksklusifnya di Laut Tiongkok Selatan, yang hampir semuanya diklaim dimiliki oleh Tiongkok.

Meskipun masalah ini dapat diselesaikan melalui dialog dengan pihak Tiongkok, “Tetapi kami juga menekankan bahwa Indonesia akan mempertahankan kedaulatannya, dan kami juga akan mempertahankan kemerdekaan”, kata Prabowo.

Tiongkok dan empat anggota Perhimpunan Bangsa Bangsa Asia Tenggara memiliki klaim yang tumpang tindih atas wilayah di Laut Tiongkok Selatan.

Prabowo mengatakan bahwa pemerintah Indonesia hampir membuat keputusan untuk membeli jet F-15 dari perusahaan Boeing. Austin mengatakan, pembelian itu akan meningkatkan interoperabilitas kedua negara.

Prabowo juga mengatakan bahwa Indonesia mendukung kelanjutan dari kehadiran AS di kawasan Indo-Pasifik. “Saat kami membutuhkan, Amerika Serikat selalu menjadi teman baik kami”. Austin mengatakan bahwa kedua negara dapat melanjutkan lebih banyak latihan militer.

Ketika krisis Selat Taiwan pecah, peran Indonesia tidak bisa diabaikan oleh Amerika Serikat. Inilah salah satu alasan mengapa Amerika Serikat berusaha untuk memperkuat hubungannya dengan Indonesia.

Presiden AS Joe Biden dan Presiden Joko Widodo bertemu pada 14 November. Gedung Putih kemudian merilis ikhtisar berjudul “Memperkuat Kemitraan Strategis AS-Indonesia” yang isinya menyebutkan bahwa, AS akan membantu Badan Keamanan Maritim Indonesia selain untuk memperoleh drone, juga melatih pilot, meningkatkan keterampilan pemeliharaan yang semua itu bertujuan untuk meningkatkan kemampuan kesadaran domain maritim badan tersebut.

Masafumi Ishii, mantan duta besar Jepang untuk Indonesia, mengatakan ada ini adalah faktor penghambat bagi Tiongkok.  Ia menilai, Jika Selat Malaka diblokir dalam keadaan darurat Selat Taiwan, Maka Indonesia memegang kendali atas choke point alternatif. Dalam hal ini, choke point ini akan menjadi sangat penting.

Masafumi Ishii menegaskan, Meskipun melalui upaya untuk mengelola persaingan antara AS dengan Tiongkok melalui dialog merupakan perkembangan yang disambut baik, tetapi tidak kalah penting juga untuk membuat Tiongkok merasakan risiko kegagalan dengan memperkuat pencegahan. (sin)