Kedutaan Besar AS Mendesak Warga Negaranya Agar Tak Bepergian ke Tiongkok

Tom Ozimek

Kedutaan Besar AS di Beijing mendesak warga Amerika agar menunda perjalanan ke dan di Tiongkok karena negara tersebut terus menegakkan kebijakan ketat “nol-COVID” yang berisiko memblokir akses kepada kebutuhan esensial seperti makanan, air, dan obat-obatan.

Kedutaan mengatakan dalam advisory 30 November bahwa situasi yang berubah dengan cepat dengan COVID-19 di Tiongkok dan Beijing terus menegakkan kebijakan ketat untuk mengekang penyebaran virus dapat menyebabkan gangguan pasokan makanan, air, obat-obatan, dan kebutuhan esensial lainnya. 

Duta Besar AS untuk Tiongkok Nicholas Burns mengatakan dalam sebuah unggahan di Twitter bahwa kedutaan sedang memantau situasi COVID di seluruh Tiongkok dan membantu warga AS “mengalami tantangan karena penguncian dan pembatasan.”

Hal demikian terjadi ketika kasus infeksi di Tiongkok tetap mendekati rekor tertinggi dan karena pihak berwenang terus memberlakukan berbagai tindakan pencegahan dan pengendalian COVID-19, termasuk pengujian massal dan karantina.

Kedutaan AS menyebutkan perjalanan di Tiongkok tetap “sangat sulit” sementara aturan yang berkaitan dengan penahanan COVID-19 sering berubah. Pihak AS memperingatkan bahwa pejabat Tiongkok dapat memaksa orang untuk tinggal di tempat tinggal mereka untuk waktu yang lama tanpa peringatan terlebih dahulu.

“Akses ke perawatan medis mungkin terbatas karena lockdown,” kata kedutaan, sementara kemampuan warga AS untuk meninggalkan Tiongkok “terbatas dan mahal.”

Kedutaan menyarankan Warga Amerika untuk menunda perjalanan ke dan di dalam Tiongkok kecuali perjalanan mereka sangat penting.

“Jika Anda mengkhawatirkan keselamatan Anda saat ini, mohon pertimbangkan untuk kembali ke Amerika Serikat,” tambahnya.

Travel advisory AS  mengikuti rekomendasi dua hari sebelumnya bahwa warga Amerika harus menyimpan persediaan obat-obatan, makanan, dan air kemasan darurat selama dua minggu.

Beberapa Kota di Tiongkok Melonggarkan Pembatasan COVID-19

Beberapa kota di Tiongkok telah mengumumkan bahwa mereka melonggarkan pembatasan COVID-19 menyusul meluasnya aksi protes.

Namun , secara keseluruhan, pejabat Tiongkok mengatakan mereka akan bertahan dalam kebijakan “dinamis nol-COVID” mereka dan belum memberikan indikasi kapan tindakan tegas akan berakhir.

Di Guangzhou, pusat manufaktur yang terletak di dekat Hong Kong, pejabat kesehatan setempat mengumumkan pencabutan lockdown di beberapa bagian kota pada 30 November, tetapi mengatakan area kota yang ditetapkan “berisiko tinggi” akan tetap di-lockdown.

Pejabat Guangzhou juga mengumumkan bahwa mereka akan berhenti memesan pengujian massal COVID-19 di seluruh distrik.

Di tempat lain di Zhengzhou, kota yang menjadi lokasi pabrik perakitan utama produk iPhon, bisnis termasuk supermarket, perpustakaan, pusat kebugaran, dan restoran diizinkan untuk melanjutkan operasi mulai 30 November, setelah pejabat setempat mengatakan tindakan normal untuk memerangi COVID akan diberlakukan di tempat.

Di Shanghai, pejabat kesehatan pada Rabu (30/11) mengumumkan bahwa mereka akan menghapus langkah-langkah pengendalian di 24 area “berisiko tinggi” mulai 1 Desember.

Chongqing, kota besar di barat daya Tiongkok, dan ibu kota Beijing, juga telah melonggarkan pembatasan.

Aksi Protes Pecah

Aksi protes pecah di seluruh Tiongkok selama akhir pekan 26-27 November, sebagian didorong oleh kemarahan atas kebakaran mematikan di wilayah Xinjiang barat jauh Tiongkok yang menewaskan 10 orang yang mana dilaporkan secara resmi.

Klaim yang dibuat oleh pengunjuk rasa dan di forum online, menuduh bahwa pembatasan COVID-19 lokal mencegah penduduk melarikan diri dari kobaran api dan menunda responden pertama untuk mencapai lokasi.

Pejabat lokal membantah bahwa pembatasan virus  berkontribusi pada jumlah kematian, menyalahkan kendaraan yang ditinggalkan di jalan karena memblokir akses ke truk pemadam kebakaran.

Tetapi para kritikus membantah narasi resmi pejabat, dengan alasan di forum online bahwa pembatasan pergerakan terkait COVID-19 menyebabkan mobil ditinggalkan di jalanan, sementara secara umum mengungkapkan rasa frustrasi dengan kebijakan virus kejam negara tersebut.

Para pengunjuk rasa menggunakan aksi unjuk rasa untuk menuntut lebih dari sekadar mengakhiri lockdown — beberapa menuntut reformasi politik, termasuk menyerukan agar pemimpin Tiongkok Xi Jinping dan Partai Komunis Tiongkok (PKT) mundur.

Sejak kebakaran mematikan, telah terjadi 51 aksi protes publik di 24 kota di Tiongkok, menurut penghitungan terbaru oleh Nathan Ruser, seorang peneliti di  the Australian Strategic Policy Institute. (asr)