Navarro, Pejuang Paling Gigih Faksi Elang dalam Kabinet Trump

Tang Qing

Mantan penasihat perdagangan Gedung Putih Peter Navarro telah merilis buku baru selama dua tahun berturut-turut, yang mengungkap apa yang terjadi di dalam Gedung Putih. Navarro adalah faksi elang paling keras dalam melawan PKT (Partai Komunis Tiongkok), juga seorang pejuang tunggal, ia dikucilkan dan dipinggirkan oleh faksi panda dan faksi netral di Gedung Putih. 

Menurut desain aslinya, hantaman terhadap PKT seharusnya sepuluh kali lebih kuat. ZTE, Huawei dan TikTok semestinya bisa bersama-sama divonis “mati” dengan sebuah perintah. Karena ada pengacauan dari pihak faksi merpati Gedung Putih maka tindakan sanksi menjadi lebih besar suara gunturnya daripada hujan gerimis yang menyusul, dan sebaliknya Trump malah dirugikan. 

Navarro tidak menyangka bahwa hambatan terbesar dalam melawan PKT datangnya justru dari dalam Gedung Putih sendiri. Ia yang hatinya gelisah hanya bisa menggunakan metode “merebus perlahan” PKT, dan melawan seorang diri para pejabat Gedung Putih tersebut. Bagaimana ia mempertahankan posisinya sendiri dan bagaimana dia membalikkan situasi pada tahun terakhirnya?

Navarro menerbitkan buku barunya “Merebut Kembali Amerikanya Trump: “Mengapa Kami Kehilangan Gedung Putih dan Bagaimana Kami Akan Menang (Why We Lost the White House and How We’ll Win)” pada 20 September lalu, dan membahas lepas bagaimana ia mengasisteni Trump di Gedung Putih dan bagaimana adu otak serta adu keberanian dengan semua kekuatan tersebut. Pada tahun lalu penulis juga membaca buku Navarro, “In Trump Time: A Journal of America’s Plague Year.”

Navarro Menyebut Trump Sebagai ‘Bos’ 

Pemerintahan Trump memiliki dua strategi dalam menghadapi agresi ekonomi PKT: Pertama, menyerang mendadak dengan mengenakan pajak komprehensif di semua aspek, dan yang lainnya adalah bagai merebus katak secara perlahan yakni secara bertahap mengenakan pajak. Navarro sangat berharap untuk mengadopsi strategi pertama dan menggunakan taktik yang menggelegar dalam melawan PKT. Tetapi Gedung Putih dipenuhi dengan simfoni orkestra antara pebisnis Wall Street dan faksi merpati (lunak/pro) Tiongkok, ia hanyalah “geng satu orang” faksi elang Tiongkok tanpa kekuasaan dan sekutu. Dalam kondisi seperti ini, dalam menghadapi PKT, Navarro hanya dapat menggunakan strategi merebus perlahan katak yang serba pelik nan berbahaya.

Ketika Navarro pertama kali memasuki Gedung Putih, ia diturunkan derajatnya ke pinggiran oleh sekretaris presiden beserta para asistennya, dan tidak dapat bertemu dengan presiden secara langsung, serta tidak memiliki kantor di Sayap Barat Gedung Putih. Dalam sejumlah pertemuan penting, Navarro juga dihadang dan dengan sengaja tidak diikut-sertakan. Akhirnya sang presiden di Gedung Putih berteriak: “Di mana Peterku?!”.

Navarro sangat setia kepada Trump, dalam bukunya ia memanggil Trump dengan sebutan respek yakni: “bos”. Navarro adalah pendorong utama dalam Perang Dagang AS-Tiongkok, adalah satu dari tiga pejabat senior dalam kabinet Trump yang menjabat selama empat tahun penuh dari awal hingga akhir. Ia berpendirian keras, lurus, dan tidak bisa mencari untung dari kedua belah pihak, namun justru menjadi “sosok anti jatuh” dalam kabinet Trump. Mengapa demikian?

Navarro berkata kepada NTDTV: “Sejak pada hari pertama, saya selaras dengan presiden dalam masalah ekonomi dan perdagangan.” Saya tidak pernah mempermainkan (Trump). Saya selalu mengatakan kepadanya apa yang saya pikirkan. Saya selamanya juga tidak mempedulikan jika dipecat keesokan harinya. Untuk memastikan agar tidak kehilangan pekerjaan, saya selamanya juga tidak pernah berusaha menutupi kebenaran. Saya hanya mengatakan fakta kepadanya. Menariknya, fakta telah membuktikan bahwa justru karakter seperti inilah yang membuat saya tetap di posisi saya.”

Mengapa Trump kehilangan Gedung Putih

Adapun mengapa Trump kehilangan Gedung Putih. Dalam buku baru Navarro mengatakan bahwa gagal mencantumkan PKT sebagai topik terpenting pada kampanye pemilihan 2020, gagal menunjukkan keteguhan dalam menghadapi PKT, adalah salah satu alasan terpenting mengapa Trump kehilangan Gedung Putih. Ini bermuara dari penafsiran politik yang amburadul dan terlalu banyak “orang jahat” telah mengacaukan segalanya.

Tak lama setelah terpilih, Trump mulai bergulat dengan “globalis, orang-orang Partai Republik yang anti Trump abadi dan gangster libertarian fanatik” serta “kekuatan Wall Street”, orang-orang tersebut selama periode kepemimpinannya “mengusulkan banyak kebijakan buruk yang membahayakan pemerintah yang ia pimpin”.

Trump berkampanye pada 2016 dengan janji untuk segera mengakhiri agresi ekonomi Tiongkok melalui tarif. Agresi ini dirangkum oleh Navarro sebagai tujuh kejahatan mematikan: 

1) Peretas Tiongkok mencuri rahasia perdagangan AS; 

2) Mencuri kekayaan intelektual AS; 

3) Memaksa perusahaan AS untuk mentransfer teknologi; 

4) Memasarkan barang dengan harga dumping ke pasar AS dan membuat perusahaan AS bangkrut serta pengangguran meningkat; 

5) Subsidi besar-besaran kepada BUMN RRT; 

6) Memanipulasi mata uang; 

7) Menggerojok pil fentanyl yang mematikan ke Amerika.

Demi memenuhi janji kampanyenya dan untuk kesejahteraan pekerja Amerika, Navarro bertekad mengambil kebijakan keras terhadap PKT, tetapi ia harus berjuang melawan rekan-rekannya yang dovish (lunak terhadap RRT) yakni: Ketua Dewan Ekonomi Nasional Gedung Putih Larry Kudlow, penasihat senior Gedung Putih, Kushner sang menantu Trump, kepala staf Gedung Putih Meadows, Menteri Keuangan Steven Mnuchin dan lainnya.

Navarro mengatakan bahwa Mnuchin dan Kushner “menghancurkan sendiri” kebijakan Tiongkok Trump, “mereka melakukan kesepakatan di bawah meja dengan Wall Street dan Partai Komunis Tiongkok.”

Navarro memberikan beberapa contoh bahwa dalam masalah perusahaan ZTE, Huawei dan TikTok serta HAM di Xinjiang, strategi awal yang ia rumuskan adalah sangat keras, cukup untuk mengalahkan musuh dengan satu jurus, tetapi itu semua dikacaukan di tingkat pelaksanaan oleh rekan-rekan faksi merpatinya. Akibatnya, sepanjang paruh pertama 2020, jajak pendapat pemilu menunjukkan bahwa dampak Trump dan Biden dalam menghadapi PKT tidak terlalu berbeda.

Mengapa Sanksi terhadap ZTE – Huawei – TikTok Diawali dengan Ketegasan dan Diakhiri dengan Kelemahan

Penulis menyelidiki alasannya, pertama-tama, karena “persahabatan” yang terkenal antara Trump dan Xi Jinping. Setiap kali ketika presiden menyebut gembong otokratis ini sebagai “sahabat saya”, itu tidak hanya membuat Navarro antipati, tetapi juga mengecewakan para pemilih pengambang (swing voter) di Amerika Serikat, dan bahkan para pendukung Trump sendiri.

Kedua, Trump telah membuat banyak masalah Tiongkok menjadi banyak omong sedikit bertindak. Kelemahan Mnuchin yang mengacungkan bendera putih tentang “kesepakatan perdagangan Tiongkok”, gaya canggung Menteri Perdagangan Ross dalam masalah ZTE, keragu-raguan Mnuchin dan Kudlow dalam masalah 5G dan Huawei, kesepakatan iblis Kushner dalam masalah TikTok serta mengalahnya Meadows dalam masalah hak asasi manusia di Xinjiang, semua ini adalah kesalahan yang tidak dapat dimaafkan.

Pada 16 April 2018, Departemen Perdagangan AS mengumumkan bahwa mereka akan melarang perusahaan AS menjual suku cadang ke ZTE Corporation selama tujuh tahun, yang setara dengan hukuman mati untuk ZTE. Tetapi cukup satu panggilan telefon Xi Jinping, Trump mengizinkan denda $ 1 miliar (15,6 triliun rupiah) membuat urusan terselesaikan, dan bukannya menutup langsung ZTE. Trump beranggapan bahwa denda besar sudah cukup untuk menunjukkan bahwa ia keras terhadap Tiongkok. Namun itu adalah kesalahan perhitungan politik yang besar. Setelah itu Trump menuai kritik dari media dan dua partai kiri dan kanan, mereka menuduhnya melanggar aturan politik dan lemah terhadap Partai Komunis Tiongkok. Navarro toh tidak menyalahkan sang bos, ia menyalahkan Menteri Perdagangan Wilbur Ross dan Menteri Keuangan Steven Mnuchin karena tidak memperingatkan Trump tentang konsekuensi dari apa yang ia lakukan. Lebih disayangkan lagi adalah informasi yang mereka sampaikan ke bos, telah menyebabkan sang bos lengah terhadap ZTE.

Tentang masalah Huawei, menurut strategi Navarro, Trump menandatangani Perintah Eksekutif 13873 pada 15 Mei 2019. Jika perintah eksekutif ini dijalankan dengan benar, sama dengan hukuman mati bagi Huawei: Perusahaan telekomunikasi AS dilarang membeli peralatan apa pun dari Huawei, dan Huawei tidak dapat memasuki pasar untuk chip yang dibutuhkan dalam membuat ponsel. Tetapi Mnuchin, Kudlow dan Ross berpendapat bahwa Huawei seharusnya diberi kekebalan untuk terus membeli chip komoditas kelas bawah dari AS sehingga perusahaan AS juga bisa memperoleh keuntungan. Maka lagi-lagi terjadi celah besar dalam perintah sanksi.

Dalam menanggapi ancaman keamanan yang ditimbulkan oleh perangkat lunak sosial PKT seperti TikTok, Gedung Putih sedang bersiap untuk mengeluarkan perintah eksekutif yang melarang penggunaannya. Berdasarkan perintah Trump, Dewan Keamanan Nasional merancang larangan itu, dengan Departemen Keuangan Mnuchin sebagai kuncinya. Sanksi terhadap perusahaan yang melakukan transaksi keuangan dengan TikTok harus dilakukan oleh Kementerian Keuangan. Ternyata Mnuchin telah merancang sebuah “konspirasi” yakni ia mengajukan permintaan untuk membeli TikTok, bukannya langsung melarangnya. Pada awalnya Microsoft dianggap sebagai pembeli potensial, padahal Microsoft selalu tunduk pada sensor PKT serta bekerja sama dengan polisi dan militer RRT. Lelucon seperti itu sama sekali tidak dapat memecahkan potensi risiko keamanan nasional, juga membuat AS menderita kerugian miliaran dolar, dan Amerika Serikat juga tidak memiliki begitu banyak dana untuk membeli semua perangkat lunak sosial PKT. Mundur dari perintah larangan, tidak hanya menciptakan risiko keamanan nasional dan merusak citra Presiden Trump yang keras terhadap PKT, tetapi juga melemahkan argumentasi hukum Gedung Putih, akibatnya membuat TikTok membawa Gedung Putih ke pengadilan segera setelah pemberlakuan larangan tersebut. TikTok juga mempekerjakan sekutu Trump dan Navarro untuk melobi Gedung Putih.

Sanksi-sanksi tersebut ibaratnya guntur yang menggelegar disusul hujan rintik-rintik, bukan hanya tidak memberikan tambahan poin bagi kebijakan Trump terhadap Tiongkok, sebaliknya malahan membawakan banyak masalah baginya.

Faksi Elang (dalam menghadapi) PKT Berkuasa di Tahun Pandemi

Menurut desain awal Gedung Putih, Trump mengadopsi strategi merebus katak secara bertahap (slow-boiling frog) dengan melawan agresi ekonomi Tiongkok. Maka dari itu baru beberapa bulan menjabat, Trump sudah mengundang Xi Jinping untuk mengunjungi Florida. Selama tiga tahun, pujiannya untuk “sahabatnya” yakni Xi Jinping telah berjalan seiring dengan hantaman tarifnya untuk produk-produk Tiongkok. Ketika Trump hendak menambah tekanan, dia menggunakan Navarro untuk mengirim sinyal keras. Namun untuk menenangkan pasar keuangan, Trump beralih meminta Mnuchin, Cohen dan kemudian Kudlow mengibarkan bendera penenang mereka.

Ini semestinya merupakan strategi jenius untuk secara bertahap meningkatkan tarif dan secara bertahap meningkatkan dukungan orang Amerika terhadap kebijakan Tiongkok dari Gedung Putih.

Waktu berjalan hingga 2020, tahun pemilu. Berbagai kebijakan ekonomi, diplomatik, dan pertahanan Trump telah membuat langkah besar, dan situasi kampanyenya berjalan lancar, tetapi sebuah wabah telah mengacaukan segalanya. Navarro adalah orang pertama yang menyadari tentang bahaya virus PKT, ia dan sekelompok pejabat senior berjuang melawan epidemi dan menemukan “lima kejahatan” PKT yang menutupi dan menyembunyikan epidemi. Trump ingin meminta pertanggungjawaban PKT dan sumber meletusnya wabah, perang tarif pun pecah antara Amerika Serikat dan Tiongkok, disusul anjloknya hubungan antara kedua negara tersebut.

Tahun (2020) tersebut ditakdirkan harus dicatat dalam buku sejarah, satu tahun yang penting bagi Amerika Serikat dan Tiongkok.

Di bawah kepemimpinan Trump, sembilan dari 10 orang Amerika memandang komunisme Tiongkok sebagai semacam ancaman. Dalam jajak pendapat Pew yang dilakukan pada tahun terakhir pemerintahan Obama, 55 persen orang Amerika memiliki pandangan negatif tentang Tiongkok. Tetapi pada akhir pemerintahan Trump, angka itu meningkat menjadi 73 persen.

Navarro mengatakan bahwa ini adalah salah satu pencapaian terbesar Presiden Trump, bukan hanya Presiden Amerika Serikat yang telah berkontribusi pada perubahan besar di AS ini, tetapi masih ada Pejuang Elang (melawan) PKT tanpa rasa takut yakni: Menteri Luar Negeri Pompeo, Penasihat Senior Gedung Putih Steve Bannon, Penasihat Keamanan Nasional Robert O’Brien dan Direktur Intelijen Nasional John Ratcliffe. Tentu saja, juga Navarro sendiri. Mereka telah mengubah sejarah dan mengubah pola dunia.

Seiring dengan ayunan tongkat komando Trump, para pejabat Gedung Putih berangsur telah menjadi faksi elang Tiongkok. Setelah Biden berkuasa, ia juga hanya dapat berlari ke depan mengikuti jalur Trump. Sejak saat itu dunia telah dibagi menjadi dua kubu yang saling berhadapan yakni Amerika Serikat dan Tiongkok.

Navarro, mantan pejuang tunggal, masih terobsesi dengan misinya, ia harus menuntaskan perjuangan yang belum selesai dan melanjutkan mengusut “tujuh kejahatan mematikan” dari agresi ekonomi PKT. Bisakah Trump dan dia kembali ke arena? Bisakah mereka kembali ke Gedung Putih? Sang Waktu yang akan membuktikan segalanya. (Lin/whs)