Di Balik Sebilah Keris?

ISWAHYUDI

Kisah  Mpu  Gandring  yang  ditusuk Ken Arok dengan  keris  buatannya sendiri yang tak kunjung rampung sesuai yang dijanjikan, menjadi sebuah kisah yang menandakan pentingnya sebuah keris dalam sejarah politik di Jawa.

Kisah  Unfinished  Keris  yang  berujung kutukan mengingatkan kita tentang kisah Pedang Damocles di budaya Barat. Pesannya tidak jauh-jauh tentang kekuasaan. Mpu Gandring sebagai seorang arif dan waskita memahami betul tentang sifat-sifat kekuasaan.  Mungkin  bisa saja ia menyelesaikan keris itu dengan segera dan memenuhi permintaan Ken Arok. Mpu Gandring mengerti benar apa maksud Ken Arok memesan keris tersebut yang tidak lain ingin memuluskan jalannya untuk menggapai tahta kerajaan. Ini mungkin sejenis cara Mpu Gandring untuk buying time. Dengan kearifan dan kewaskitaan seorang yang menekuni “laku” (kultivasi/pertapaan), pandangan melihat masa depan pasti sangat gamblang. Ia menyadari bahwa ketika mahakarya keris itu diciptakan ia akan bertanggung jawab atas ciptaannya di hadapan Sang Pencipta.

Ia pasti mengerti dengan jelas bagaimana watak Ken Arok yang pernah menjalani dunia gelap sebagai perampok, walaupun dengan bumbu-bumbu bahwa hasil rampasan itu dibagi-bagikan untuk orang tak mampu, semacam Robinhood ala Jawa.

Mpu Gandring yang seorang ahli keris pasti menghadapi dilema profesi. Menyelesaikannya tepat waktu atau menundanya selama mungkin. Tapi jalan takdir tak bisa terbendung, ia harus menjadi korban dari mahakaryanya sendiri yaitu keris Mpu gandring, melalui tangan Ken Arok, seorang yang mempunyai visi politik yang ambisius untuk meraih takhta. Dan visi  ambisius itu didukung kehadiran Ken Dedes yang merupakan sosok wanita yang memiliki pertanda akan melahirkan banyak raja-raja di tanah Jawa, yang kala itu diperistri oleh Tunggul Ametung. Visi Ken Arok meraih takhta, Ken Dedes wanita bertanda, dan sebuah keris sebagai tosan aji adalah sebuah modal politik saat itu untuk mewujudkan impiannya menjadi raja. Harta, Takhta, dan Wanita, itulah paket komplet yang mungkin ada dalam pikiran Ken Arok.

Tapi seperti yang dikarakterkan dalam kisah Pedang Damocles tentang sifat kekuasaan yang rapuh dan diperebutkan banyak orang, tapi dibalik itu mengandung tanggung jawab besar. Mpu Gandring sadar betul bahwa keris yang ia ciptakan diperuntukkan untuk menjadi piandel guna meraih kekuasaan. Sebagai bentuk tanggung jawabnya maka ia melakukan buying times yang itu akhirnya mengakhiri hidupnya sebagai bentuk pembayaran di muka (penebusan) atas tanggung jawab dari mahakarya yang ia bikin (buah kunci meraih kekuasaan). Bukan hanya itu, untuk memberi pelajaran bagi generasi berikutnya ia melontarkan sumpah kutukan bahwa Unfinished Keris (keris Mpu Gandring) akan sempurna setelah dicuci dengan 7 darah para raja keturunan Ken Arok. Memberi pesan bahwa kekuasaan itu ada tanggung jawab yang dipikul dan ditunaikan, atau kalau itu diingkari maka ia harus membayar dengan darah dan nyawanya sendiri. Dan pesan yang lain lagi bahwa kekuasaan harus diperoleh dengan jalan yang benar.

Untungnya tidak sampai tujuh raja yang menjadi korban Unfinished Keris itu, karena demi menghindari tulah kutukan itu konon keris itu dilarung di Gunung Kelud. Kutukan Mpu Gandring bisa dimak- nai adalah kutukan dari kekuasaan. Jika kekuasaan yang di baliknya mengandung tanggung jawab yang besar tidak ditunaikan, maka kekuasaan akan menghempaskan para penggandrungnya dari takhta atau mencuci dengan darah mereka bahkan keturunannya.

Keris sangat sering berkaitan dengan fragmen peristiwa di masa lampau. Kisah tentang Arya Penangsang misalnya. 

Konon, ketika bertarung melawan Sutawijaya, ususnya terburai akibat tikaman tombak. Bersikeras tak mau kalah, usus yang keluar dia lilitkan pada gagang keris dan terus melawan. Namun sial, berniat menghabisi Sutawijaya, ususnya malah terpotong saat mencabut kerisnya, Brongot Setan Kober. Akibatnya, Arya Penangsang pun tewas. Dan masih banyak lagi.

Menguak Kekayaan Filosofis Sebilah Keris

Bangsa Indonesia patut merasa bangga ketika Keris Indonesia diakui oleh UNESCO sebagai Karya Agung Budaya Dunia pada 25 November 2005, yang kemudian terinskripsi dalam Representative List of Humanity UNESCO pada 2009. Namun sudut pandang orang Indonesia tentang keris belum banyak berubah. Sesuatu yang mistik, berkaitan dengan perdukunan, dan stereotip negatif lainnya. Penampakan bendawi sebuah keris, mungkin anak sekarang memandangnya hanyalah sebuah logam tua yang karatan, tapi di balik itu semua bisa dikuak beberapa hal penting.

Saat pernikahan Gus Dur dan Shinta Nuriyah, Gus Dur tidak bisa menghadiri pernikahannya karena sedang kuliah di Irak. Akhirnya Gus Dur digantikan dengan sebilah keris. Kenapa ini terjadi? Mungkin banyak orang yang heran. Itu tidak lain karena persepsi terhadap keris begitu tinggi bahkan ia bisa menjadi simbol yang menggantikan seseorang. Keris dipandang mempunyai makna tinggi dan mendalam dalam budaya dan falsafah Jawa. Sebagaimana pernikahan itu sakral, keris dianggap juga sebagai sesuatu yang sakral juga. Maka ia layak menjadi representasi dari seseorang di momen sakral dalam kehidupan seperti pernikahan. Bahkan sebuah keris mempunyai sebutan kyai sebagaimana sebutan bagi orang yang dihormati. Dalam budaya Jawa Klasik, kesempurnaan seorang pria ketika ia memiliki 5 hal, yaitu wisma (rumah), curiga atau keris, kukila (burung peliharaan), wanita, dan turangga (kendaraan).

Selain itu sebilah keris lengkap dengan warangka-nya sebenarnya bisa melambangkan filosofi dasar filsafat Jawa yaitu Manunggaling kawula Gusti yang sering diungkapan dengan ungkapan curiga manjing warangka, warangka manjing curlga (keris memasuki warangka, warangka memasuki keris) atau, kodok ngemuli lenge (katak menyelimuti lubangnya) yang merupakan mono dualitas makrokosmos dan mikrokosmos. Bukan hanya itu, bila dimaknai secara sosio-politis, ini melambangkan konsep sinergi antara patron dan klien, raja dan rakyatnya, serta pemimpin dan yang dipimpin. Filosofi ini sebenarnya menggambarkan pandangan manusia Jawa tentang bagaimana manusia Jawa mencapai kesempurnaan hidup baik secara individu dalam hubungannya dengan Tuhan sebagai sumber nilai, maupun secara sosio-politik antara pemimpin dan yang dipimpin. Yang ending-nya bisa memujudkan visi Ketuhanan “memayu haying bawono langgeng”. Dan filosofi ini jika diterjemahkan dalam dimensi sosio-politik menghasilkan konsep “negara integralistik”, yakni antara rakyat (kawula) dan gusti (pemimpin resmi), menyatu secara rukun dan selaras. Sebagai contoh, nama yang dipakai atau dipilih oleh Sultan Yogyakarta yang pertama, mencerminkan kewajiban yang disadari karena kedudukannya yang penting. Sebagai pangeran, dia diberi gelar “Mangkubumi”, yang artinya “memangku dunia ini”. Tetapi sebagai sultan atau raja, dia memakai gelar “Hamengkubuwono”, orang yang melindungi alam semesta. 

Nama ini memberi tanda kewajiban raja yang utama, yaitu menyatukan kerajaannya dengan alam semesta dengan perantaraan dirinya. Dengan tekanan pada kewajiban ini pertimbangan terpenting kenegaraan ada pada tercapainya persatuan antara kawula atau rakyat dan rajanya, atau manunggaling kawula- gusti. Walaupun keris memiliki nilai-nilai ekonomis dan pertahanan diri. Tapi yang utama adalah nilai filosofis di baliknya.

Selain keris merupakan lambang maskulinitas, juga melambangkan kekuasaan. Di dalam sistem budaya keraton Jawa (Surakarta dan Yogyakarta) keris sebagai lambang kekuasaan ditunjukkan oleh adanya keris pusaka yang khusus diberikan kepada raja pengganti dan digunakan dalam penobatannya. Di Bali, kekuatan dan legitimasi ke-“raja”-an dan kerajaan terletak pada kepemilikan keris. Keris tersebut, sebagaimana diuraikan di dalam Babad Buleleng digambarkan sebagai “pasupati astra” yaitu senjata sakti yang diberikan oleh Dewa Siwa kepada Arjuna (Worsley, 1972).

Dalam pandangan orang Jawa, sebuah keris bisa menyimpan sebuah wahyu berdasarkan hirarki sosial yang ada. Yang artinya, di zamannya ada industri perkerisan yang mempunyai pasar dan segmentasi sendiri-sendiri. Para empu pembuat keris melafalkan doa-doa dan mantra-mantra yang sesuai permintaan dan status pemesan. Maka bisa ditemukan keris dengan yoni dan wahyu yang berbeda-beda, misalnya wahyu ratu, wahyu patih, wahyu pendeta, wahyu wiku, wahyu begawan, wahyu prameswari, wahyu senapati, wahyu duta, wahyu empu, wahyu adipati, wahyu dalang, wahyu lurah, wahyu tumenggung, dan masih banyak lagi. Dan intinya, tiap sebuah keris pusaka menjadi wadah sebuah wahyu.

Dengan ditetapkannya keris sebagai warisan budaya UNESCO ada banyak dimensi yang perlu digali dari sebilah keris misalnya aspek arkeologi, arkeo metalurgi, antropologi, sejarah, filsafat, sastra, teknik tempa, seni pamor, simbolisme, sosiologi, dan lain-lain. Dari sebilah keris sejatinya kita bisa meneropong ke masa lalu, pencapaian apa yang sudah diraih oleh para leluhur kita. 

Untuk menjadi bangsa yang besar tidak harus dimulai dari nol atau sekadar mencontek negara lain, tapi bisa beraliansi dengan masa lalu. Ada banyak mutiara peradaban yang layak dipentaskan di panggung kekinian. Leluhur mempunyai jalan utama untuk mencapai kejayaan, kita tak harus membuat jalan baru, tapi hanya tinggal meneruskannya saja. (et)