“Pemimpin Rakyat” yang Dibarter dengan Darah Rakyat

Shi Shan

Sebuah kebakaran di Xinjiang, telah mengobarkan “Revolusi Kertas Putih”, ini adalah masalah yang tidak terduga oleh Partai Komunis Tiongkok (PKT), tapi sekaligus telah diprediksi oleh Beijing. 

Pada laporan politik Kongres Nasional ke-20 PKT, Xi Jinping telah berulang kali menuntut seluruh anggota partai agar bersiap menghadapi “gejolak yang menakutkan”, kemudian juga menekankan “era yang baru” harus diperjuangkan dengan “berkorban nyawa”, apakah hanya sekedar omong kosong belaka?

Pertanyaannya adalah, bagaimana PKT akan menghadapinya? Kemana revolusi ini akan melangkah?

Dengan pemahaman kita terhadap PKT selama ini, mereka pasti tidak akan berkompromi apalagi mengalah, terlebih lagi tidak akan mengakui kesalahan sendiri dan memperbaikinya. Era baru yang penuh gejolak menakutkan itu, boleh dibilang baru saja dimulai saat ini.

Melihat kondisi sekarang, PKT akan menempuh kedua metode keras maupun lunak, longgar tapi sekaligus juga melakukan pembuntuan.

Yang pertama soal Xinjiang, mengumumkan “lapisan masyarakat pada dasarnya telah zero pandemi”, telah meraih kemenangan, berbagai kota dan distrik tidak lockdown lagi, juga telah dicabut ketentuan kewajiban untuk tes PCR. 

Pada Selasa (29/11), distrik Haizhu kota Guangzhou mendadak mengumumkan dicabutnya lockdown, warga distrik tersebut tidak lagi membutuhkan “izin keluar masuk” untuk bisa keluar dari distrik. Warga kota Guangzhou menghadapi “kebebasan” yang mendadak datang itu, banyak orang masih kebingungan apa yang harus dilakukan. Sebagian instalasi lockdown yang baru saja didirikan pukul 8 pagi, malam harinya telah dibongkar lagi, bisa dibilang kebijakan dicabutnya lockdown begitu tiba-tiba.

Stasiun KA Guangzhou Selatan tampak gelombang warga yang berbondong-bondong meninggalkan kota itu termasuk banyak mahasiswa yang diliburkan lebih awal. Meliburkan mahasiswa lebih awal tak hanya terjadi di Guangzhou, perguruan tinggi di Beijing juga melakukan hal yang sama, mahasiswa diminta untuk pulang kampung lebih awal, libur musim dingin perguruan tinggi Tiongkok tahun ini mencapai lebih dari 70 hari lamanya.

Beijing tidak hanya memulangkan mahasiswa dan pelajar saja, tapi juga mengeluarkan sinyal memberikan kelonggaran. Juru bicara pemerintah kota Beijing Xu Hejian dalam konferensi pers mengatakan, sejak 30 November lalu, seluruh manula yang menetap di kota itu, migran luar kota yang bekerja dan bersekolah, serta balita dan anak-anak yang tidak memiliki aktivitas sosial, boleh untuk tidak mengikuti tes PCR di distriknya.

Dua hari lalu, berita beredar dari Beijing mengatakan penguasa tertinggi memutuskan akan “melonggarkan” kebijakan pencegahan pandemi. Kebijakan baru di kota-kota tersebut diumumkan pada hari yang sama yakni 30 November lalu, sepertinya memang merupakan tindakan serempak, yaitu berdasarkan instruksi baru dari Beijing. Hanya saja, saat ini siapapun tidak tahu apakah instruksi baru tersebut berasal dari “kubu zero pandemi total” Xi Jinping, ataukan berasal dari “kubu stabilitas ekonomi” (PM) Li Keqiang, karena pada instruksi baru ditekankan harus menaati ketentuan 20 langkah pencegahan pandemi secara ketat.

Lima kota yang telah mengumumkan kebijakan kelonggaran, selain Shanghai, empat kota lainnya masih ditemukan kasus positif di posisi tertinggi sepanjang tahun ini. Memilih untuk melonggarkan pada saat ini, jelas karena mendapat tekanan yang teramat besar dari rakyat.

Namun di sisi lain, PKT telah melakukan persiapan matang, mereka telah menindak orang-orang yang sebelumnya berunjuk rasa. Dua hari terakhir ada tanda-tanda menunjukkan, PKT sepertinya sedang mempersiapkan segala sesuatu, antara lain tuduhan adanya “kekuatan luar” yang mengendalikan “Revolusi Kertas Putih” mungkin akan semakin meningkat. 

Komisi Politik dan Urusan Hukum RRT telah mengeluarkan instruksi, untuk menumpas penyusupan kekuatan dari luar; Departemen Pendidikan mengadakan rapat darurat dengan mengumpulkan semua Sekretaris Partai seluruh sekolah tinggi berikut kepala sekolahnya, dan meminta setiap sekolah tinggi agar mencegah para pelajar berkomplot, khususnya mencegah campur tangan oleh pihak luar. Polisi dan Biro Keamanan Publik RRT sedang bersiap-siap menangkap orang.

Media massa asing memberitakan, puluhan anggota Biro Keamanan Publik Beijing telah ditempatkan sekitar Jembatan Sitong (Protes yang terjadi pada 13 Oktober 2022 kala mana seorang pengunjuk rasa menggantungkan dua spanduk dan memainkan pengeras suara di jembatan, menentang pemimpin tertinggi Xi Jinping, menyebutnya sebagai “pengkhianat diktator”, sambil membakar ban dan membakar asap untuk menarik perhatian orang-orang yang lewat.), memperketat pemeriksaan di jalan-jalan, stasiun KA bawah tanah, dan gerbong KA, untuk mencegah demonstrasi jilid II; selain itu Biro Keamanan Publik juga memeriksa banyak wartawan asing, dari piranti lunak pesan terenkripsi mereka berhasil dilacak informasi akan adanya aksi unjuk rasa pada 28 November malam hari, tapi karena polisi telah lebih dulu memposisikan diri, hingga pukul 8 malam itu tidak terlihat adanya unjuk rasa.

Sedangkan polisi kota Shanghai memeriksa ponsel milik para pengguna yang lalu lalang di sekitar stasiun KA People Square, dan di sekitar jalan Urumqi, aplikasi yang diperiksa antara lain Instagram, Twitter, dan Telegram, untuk melacak jejak akan adanya aksi unjuk rasa.

Sangat jelas, kali ini mendadak meletus aksi “Revolusi Kertas Putih” di Tiongkok, pihak kepolisian maupun Biro Keamanan Publik RRT sama sekali tidak mendapatkan petunjuk apapun. Seharusnya, kepolisian RRT yang memiliki anggaran tinggi untuk stabilitas, yang memiliki jaringan kamera pengawas ketat, yang memiliki perusahaan komunikasi nirkabel yang mampu melacak mobilitas berdasarkan kode QR kesehatan, dan yang memiliki sistem AI dan Big Data yang digadang-gadang serba bisa, akan tetapi justru harus mengerahkan personel Keamanan Publik turun ke jalan-jalan untuk memeriksa ponsel warga yang ibarat mencari jarum di tengah samudera, sungguh ironis.

Mereka tengah merangkai untaian waktu seluk beluk dan asal usul “Revolusi Kertas Putih”, dan mengumpulkan semua data dan bukti terkait. Tapi penulis sama sekali tidak meragukan, PKT pasti akan melakukan tindakan pemeriksaan dan pembersihan ketat. 

Alasannya sederhana, di bawah sistem pemerintahan otoriter, semua pemimpin yang “agung”, memiliki sejarah menekan rakyatnya, tangannya harus dilumuri dengan darah rakyat, jika tidak maka ia tidak akan bisa menjadi pemimpin.

Hari Rabu lalu (30/11), Jiang Zemin meninggal dunia di Shanghai.

Bagi Xi Jinping, ancaman dari Jiang Zemin mungkin lebih besar daripada “Revolusi Kertas Putih”. Karena Jiang Zemin telah berkuasa selama 20 tahun di Tiongkok pasca Deng Xiaoping, yang telah menguasai militer PKT selama lebih dari dua dasawarsa. 

Setelah Xi Jinping menjabat, cara yang paling penting baginya untuk menegakkan kewibawaannya adalah memberantas korupsi, dan Jiang Zemin justru adalah pemrakarsa serta pendorong “seluruh proses KKN (Korupsi Kolusi Nepotisme)” di Tiongkok, korupsi yang dilakukan semua kubu dan semua kelompok di Tiongkok, hampir seluruhnya memiliki hubungan dan kaitan erat dengan Jiang Zemin. Oleh karena itulah, kubu Jiang begitu mendendam terhadap Xi Jinping.

Dalam “Revolusi Kertas Putih” kali ini, yang pertama meneriakkan “runtuhkan partai komunis” dan “lengserkan Xi Jinping” adalah kota Shanghai.

Sejujurnya penulis tidak terlalu percaya bahwa Jiang Zemin atau tokoh-tokoh di kubu Jiang yang telah mengkoordinir aksi unjuk rasa seperti itu, tapi bagi politik otoriter, adalah sangat penting untuk tidak mengabaikan segala kemungkinan ancaman apapun, selama ada sedikit kemungkinan, maka patut dikerahkan segala daya upaya.

Jiang Zemin telah berusia 96 tahun, beberapa tahun terakhir telah beredar kabar kesehatannya memburuk. Diperkirakan, sudah bertahun-tahun dibutuhkan mesin medis untuk menopang hidupnya. Walau hanya untuk mempertahankan adanya tanda-tanda kehidupan di tubuhnya, bagi keluarga dan kerabat dekat Jiang Zemin, hal itu sangat penting. Tapi pada saat-saat genting, mematikan alat-alat yang menopang hidupnya itu bisa jadi adalah tindakan berisiko rendah yang efisien. Jiang Zemin adalah sosok yang kasar dan rendahan, suka menyombongkan diri dan pamer, tapi banyak orang tidak sampai membencinya. Namun tiga kejahatan besar yang diperbuat oleh Jiang Zemin, bisa dikatakan telah mengakibatkan seluruh rakyat Tiongkok sekarang mengalami penderitaan.

Kejahatan pertama, adalah pendorong terbesar “keseluruhan proses korupsi berjamaah” di Tiongkok. Jiang Zemin tidak memiliki kewibawaan dan kemampuan yang besar, begitu menjabat ia membutuhkan dukungan dari banyak pihak, sehingga menyerahkan wewenangnya sebagai imbalan dukungan baginya, pada struktur yang spesifik seperti PKT ini, menyerahkan wewenang pasti akan membentuk korupsi yang sistemik.

Kejahatan kedua adalah berkhianat dengan menjual negara. Lu Jiaping menulis artikel, yang mengungkap Jiang Zemin telah melakukan “dua pengkhianatan dan dua pemalsuan”, salah satu pengkhianatan itu adalah telah berkhianat kepada Jepang dan Rusia, dua pemalsuan adalah latar belakang diri palsu dan keanggotaan partai palsu. Ayah kandungnya adalah Jiang Shijun yang merupakan Wakil Menteri Propaganda pada Pemerintahan Nasional Direorganisasi Republik Tiongkok rezim Wang Jingwei (nama pemerintahan kolaborator yang didirikan di Tiongkok 1940-1945. Pemerintahan dan negara ini dipimpin oleh mantan anggota Kuomintang sekaligus Kolaborator Wang Jingwei.), sehingga Jiang Zemin menikmati kemudahan, akan tetapi kemudian situasi berubah, Jiang Zemin dijadikan anak angkat pada seorang pamannya yang bernama Jiang Shangqing yang merupakan anggota Partai Komunis Tiongkok namun waktu itu telah meninggal dunia, sehingga Jiang Zemin pun menjadi putra (angkat) seorang pahlawan yang telah gugur.

Namun, kita tidak tertarik apakah ia pengkhianat bangsa, apakah ia anggota partai palsu, akan tetapi kejahatannya menjual negara kepada Rusia sangat serius. Masalah ini dapat ditelusuri hingga era 1950-an ketika Jiang Zemin berkunjung ke Uni Soviet dan menjadi informan bagi KGB (badan intelijen Uni Soviet). Kemudian Jiang menjadi pemimpin PKT (1989-2002), dengan adanya rahasia ini di tangan orang Rusia, maka ditandatanganilah perjanjian batas demarkasi RRT-Rusia, yang isinya secara resmi memberikan begitu saja kepada Rusia wilayah seluas 1,5 juta km persegi yang dulu direbut oleh Tsar Rusia dari tangan Dinasti Qing.

Kejahatan ketiga, adalah menganiaya Falun Gong. Tapi Jiang tidak hanya menganiaya Falun Gong, untuk menganiaya Falun Gong, Jiang telah merusak prosedur hukum di Tiongkok yang telah dibangun dengan susah payah, menjadi pelopor pertama pasca Revolusi Kebudayaan dimana kekuasaan eksekutif secara terang-terangan ikut campur tangan bahkan merusak dalam skala besar tatanan hukum di Tiongkok. Akibat ada preseden kasus pertama ini, kemudian di Tibet, Xinjiang (Uighur), terhadap umat Kristen (Gereja Rumahan), juga terhadap warga yang menuntut keadilan HAM, semua tindakan semena-mena pun menjadi sah. Hingga kini, sejumlah pembatasan yang diam-diam telah dibuat oleh PKT untuk mengontrol kekuasaan eksekutif pasca Revolusi Kebudayaan (1966-1976) sudah tidak ada lagi, yang tersisa, hanyalah kediktatoran semata.

Jadi yang dirasakan oleh rakyat Tiongkok sekarang ini, adalah akibat dari perbuatan Jiang Zemin di masa kekuasaannya. Wang Huning yang dijuluki sebagai guru pembimbing tiga generasi diktator, awalnya dikenal karena membantu Jiang Zemin. Wang Huning senantiasa mendorong “otoritarianisme baru”, menganggap Tiongkok harus memiliki semacam “otoritas” untuk bisa merampungkan kemajuan modernisasinya. Tapi mengapa “otoritas baru” itu bukan Jiang Zemin atau Hu Jintao? Menurut pandangan saya terhadap kedua orang ini, Hu Jintao kurang memiliki ambisi kekuasaan, sedangkan Jiang Zemin wibawanya terlalu rendah, dan tidak mampu merampungkan hal besar.

Xi Jinping memiliki ambisi yang sangat besar terhadap kekuasaan, dan ia merasa dirinya memiliki wawasan yang luas untuk bisa membuat rancangan tingkat tinggi bagi Tiongkok, serta menggunakan tekanan keras memaksa Tiongkok menjadi sebuah negara kuat modern yang ideal. Ini sama seperti Mao Zedong pada masanya, yang merasa dirinya mampu membawa Tiongkok menuju komunisme. Tentu saja, akibatnya pasti adalah bencana, hingga akhirnya mengalami keruntuhan.

Tapi untuk membangun otoritas itu pasti ada harga/tumbal yang harus dibayar, harus mengandalkan pertumpahan darah, hanya ratusan pejabat korup saja tidak cukup. Untuk menjadi “pemimpin rakyat” sekelas Mao Zedong atau Stalin, jika di tangannya tidak mengalir darah puluhan juta rakyatnya, tidak akan bisa menjadi pemimpin rakyat. Inilah alasan yang penulis khawatirkan “Revolusi Kertas Putih” di Tiongkok sekarang akan mengalami penindasan yang kejam.

Semoga orang-orang yang ikut terlibat dalam “Revolusi Kertas Putih” berhati-hati, jangan sampai terlalu tinggi menilai sifat kemanusiaan orang-orang partai komunis itu, jangan pula terlalu meremehkan kekejaman dan kebrutalan orang-orang partai komunis. (sud)