Akibat Keterbatasan Fasilitas Kremasi Jenazah di Rumah Duka Beijing Kembali Menumpuk

 oleh Luo Tingting

Virus Wuhan (COVID-19) kembali mengganas di Beijing, nyaris membuat sistem medis runtuh. Dan jumlah kematian akibat epidemi terus terekspos. Kabarnya jenazah di rumah duka di Beijing kembali menggunung akibat keterbatasan fasilitas kremasi.

Pada 13 Desember, staf Rumah Sakit Dongfang Universitas Pengobatan Tradisional Tiongkok Beijing memposting pesan di Weibo yang berbunyi : “Rekan-rekan yang terhormat, karena dalam 2 hari terakhir banyak karyawan rumah duka yang terkonfirmasi positif, jadi mengalami kekurangan tenaga kerja. Sementara itu karena jumlah kematian di Beijing sedang meningkat,  dan jenazah dalam krematorium sudah menumpuk, sehingga kami mohon pengertian para keluarga karena kremasi baru dapat terlaksana setelah 5 hingga 7 hari terhitung sejak jenazah dimasukkan ke krematorium”. 

Selain itu, seorang penduduk Beijing mengungkapkan di Weibo bahwa ayahnya meninggal dunia di rumah, dan dia menghubungi banyak rumah duka di Beijing yang rata-rata mengatakan bahwa ruang pendingin jenazah sudah penuh terisi. Sampai-sampai saya meminta bantuan polisi pun tidak berhasil memperoleh tempat untuk menyemayamkan jenazah ayah.

Penduduk tersebut mengeluh : “Inilah Beijing. bahkan orang yang sudah meninggal pun tidak memiliki tempat. Apakah harus saya letakkan di rumah ?!?”

Baru-baru ini, berita duka yang kerap muncul pada papan pengumuman di kampus Universitas Tsinghua, Beijing juga menarik perhatian publik. Seseorang yang mengetahui masalah tersebut merilis beberapa foto tentang berita duka yang ditempelkan di papan pengumuman sedak 1 hingga 10 Desember terlihat kebanyakan yang meninggal itu adalah staf universitas yang sudah pensiun.

Media resmi PKT melaporkan pada 11 Desember bahwa Universitas Tsinghua pada 9 Desember mengadakan “Pertemuan Khusus tentang Pencegahan dan Pengendalian Epidemi Bagi Pensiunan Universitas Tsinghua” yang menekankan perlunya untuk melindungi kehidupan dan kesehatan para pensiunan dosen Universitas Tsinghua”.

Selain meningkatnya angka kematian lansia, kasus anak meninggal akibat wabah juga terus terjadi. Seorang netizen memposting pesan yang berbunyi : “Seorang anak laki-laki berusia 13 tahun meninggal dalam waktu 48 jam sejak sakit. Dia mengalami demam tinggi, pingsan, tidak bisa bernapas sendiri, dan mati otak. Ketika tiba di Rumah Sakit Yanda dan Rumah Sakit Anak Beijing, para dokter pun gagal menyelamatkan nyawa anak tersebut”.

Ada juga foto yang diposting di WeChat menunjukkan bahwa semua orang di sebuah perusahaan di Beijing yang positif terinfeksi COVID-19 menjadi pasien parah, ada yang mengalami demam, radang kedua organ, muntah darah hitam, konsentrasi oksigen dalam darah hanya 80, dan dokter menganjurkan agar mereka menggunakan ventilator.

Karyawan yang terinfeksi itu mengatakan bahwa setelah minum aspirin, suhu badannya hanya bisa bertahan selama 2 jam, setelah itu kembali tinggi”.

Kebijakan pencegahan epidemi ekstrem ketat yang berjalan selama 3 tahun telah mengobarkan Revolusi Kertas Putih. Sejak 26 November, warga sipil terutama anak-anak muda di lebih dari belasan kota, termasuk Beijing, Shanghai, Wuhan, Nanjing, Chengdu dan lainnya, serta para dosen dan mahasiswa di hampir seratus universitas di seluruh negeri telah berpartisipasi dalam protes besar-besaran untuk menentang kebijakan Nol Kasus, dan  menuntut agar blokade dicabut, yang mereka lakukan dengan mengangkat kertas putih. Para pengunjuk rasa meneriakkan slogan “PKT  mundur”. Kuatnya reaksi opini publik memaksa otoritas PKT untuk melonggarkan kendali.

Namun, karena ketidakefektifan vaksin dalam negeri dan sistem keamanan medis secara keseluruhan, menyebabkan epidemi kembali pecah dan jumlah infeksi melonjak. Rumah sakit ditutup karena pasien banyak obat habis. Klinik demam Beijing penuh sesak dan waktu tunggunya bisa sampai 6 atau 7 jam. Di depan apotek atau toko obat, antrian juga panjang, sulit mendapatkan obat penurun demam.

Setelah PKT mengendurkan kebijakan pengendalian epidemi, jumlah kasus infeksi baru yang dilaporkan secara resmi terus menurun, tetapi rumah sakit penuh sesak. Dalam kasus informasi yang tidak transparan, masyarakat yang kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah, kini jadi panik dan tidak berani keluar rumah.

Pada 13 Desember, seorang warga Beijing mengambil foto nyata dari suasana di jalanan di Beijing pada jam sibuk, suasana stasiun kereta bawah tanah dan jalan raya yang terlihat kosong melompong.

Fenomena tidak normal karena epidemi selain terjadi di Beijing, klinik demam di Kota Wuhan, Provinsi Sichuan, dan tempat lainnya juga penuh sesak oleh warga yang mau berobat.

Menurut informasi yang diposting di Internet, seorang wanita berusia 32 tahun di Nanchong, Sichuan, terinfeksi dan menjalani isoman di rumah. Ia mengalami demam tinggi yang tidak kunjung turun dan akhirnya meninggal di rumah sakit. Warga sekitar mengatakan, sebelum meninggal, pintu rumahnya masih tertempel segel.

Pelonggaran yang dilakukan secara tiba-tiba oleh otoritas dengan tanpa persiapan juga menyebabkan munculnya kekacauan baru. Jin Dong-yan, seorang profesor di Sekolah Ilmu Biomedis Universitas Hongkong mengatakan dalam program TV Hongkong dan Taiwan pada 9 Desember, bahwa langkah pelonggaran yang tanpa dipersiapkan dengan baik di musim dingin,  mungkin saja akan menyebabkan wabah kembali muncul dengan kekuatan seperti gelombang tsunami.

Menurut sebuah laporan yang dirilis pada 28 November oleh Airfinity, sebuah perusahaan analisis yang berbasis di London, Inggris, bahwa diperkirakan ada 167 juga hingga 279 juta warga Tiongkok akan terdiagnosis COVID-19 dalam 83 hari ke depan. Dengan angka kematiannya yang berkisar di antara 1,3 juta hingga 2,1 juta orang. (sin)