Dari Mana Asal Kata “Shitsuke” dalam Budaya Jepang?

Osamu Minoru

Penulisan aksara Jepang pada umumnya terbagi menjadi dua bagian: Pertama adalah simbol fonetik ciptaan bangsa Jepang, yang disebut “Kana”, terbagi menjadi dua jenis yaitu “Hiragana” dan “Katakana”, dan kedua adalah “Kanji”. Dalam kelompok aksara Kanji, ada aksara Kanji yang dipergunakan sesuai abjad asalnya, ada yang disederhanakan, ada juga yang dipakai elemen dan aturan abjad dalam Kanji untuk diciptakan Kanji ala Jepang tersendiri, seperti: tōge atau 峠 (berasal dari Kanji: 山口, artinya celah gunung), shizuku atau 雫 (berasal dari Kanji: 水滴, artinya tetesan hujan), tsuji atau辻 (berasal dari Kanji: 十字路口, artinya persimpangan jalan), dan lain sebagainya.

Dalam abjad Jepang yang diciptakan dari Kanji, terdapat satu kata 躾, yang dibaca “しつけ” (baca: sitsuke, red.), yang memiliki arti dengan pencerahan dan pengasuhan yang membuat seseorang bermoral, berperilaku sesuai aturan dan etiket masyarakat dan komunitas. 

Lalu, mengapa orang Jepang menciptakan abjad ini? Setiap penciptaan abjad Jepang, selalu timbul karena adanya kebutuhan, selalu ditetapkan karena ada kegunaan, sama halnya dengan kata 躾. Walaupun abjad Kanji begitu kaya, tapi tidak ada abjad yang dapat menjelaskan makna kata 躾 hanya dengan satu kata saja. Oleh sebab itu, orang Jepang menggabungkan kata 身 (arti: tubuh) dan 美 (arti: indah), serta terciptalah kata 躾 ini, untuk menjelaskan perilaku seseorang yang anggun dan indah, yang sesuai etiket dan aturan dengan makna pencerahan untuk tujuan ini.

Asal Usul “躾” Dalam Budaya Pendidikan Jepang

Kapan kata “躾” ini diciptakan, tidak ada bukti yang dapat ditelusuri. Tapi umum beranggapan, penciptaan dan penggunaannya tidak sampai pada era klasik, besar kemungkinan diciptakan sekitar abad ke-13 hingga awal abad ke-17. Pada periode Nanboku-chō Jepang (1336~1392), yang juga tahap perubahan dan peralihan abjad Jepang kuno menuju modern, bahasa Jepang mengalami struktur bertumpuk antara klasik dan baru, lalu perlahan menelurkan wujud yang lebih modern. 

Oleh sebab itu, pada umumnya beranggapan, kata “躾” besar kemungkinan lahir dengan dilatarbelakangi budaya samurai dimana bahasa klasik berganti dengan bahasa baru, dan menetap seiring dengan semakin menguatnya budaya samurai, lalu menyebar. Lagi pula, transformasi agama Buddha pada periode Kamakura membuat agama Buddha menyebar luas, bahasa dalam agama Buddha sangat terbiasa menggunakan istilah “習氣”, yang pengucapannya mirip dengan “躾”, oleh sebab itu para akademisi menilai “躾” mungkin merupakan perubahan dari pengucapan “習氣”.

Kebangkitan budaya samurai juga merupakan masa ketika nilai-nilai keluarga Jepang berangsur-angsur menguat. (Epoch Times)

Ketika budaya samurai bangkit, juga merupakan periode dimana konsep keluarga di Jepang makin menguat, maka anak mewarisi profesi ayah, mewarisi aturan keluarga dan lain sebagainya, telah menjadi salah satu misi utama keluarga, sedangkan untuk bisa merampungkan hal ini dengan sempurna, maka “躾” menjadi topik pelajaran yang tidak boleh kurang.

Sejak diakuinya makna dari “躾” (shitsuke) ini, pendidikan tersebut terus diperhatikan, dan diwariskan turun temurun hingga kini. Pendidikan keluarga, walaupun memiliki tujuan yang sama, tapi karena masyarakat, zaman, dan latar belakang keluarga yang berbeda, membuat konten dan metode penerapannya tidak sama, dan tidak baku. Contoh, dalam hal metode pendidikan, ada yang memberi contoh, ada yang mengajarkan dan menunjukkan dengan tindakan, ada yang membimbing dengan antusias, ada yang dengan menegur dan menghukum, ada juga yang membiarkan saja. Sedangkan konten dari pendidikan keluarga, mulai dari yang terkecil seperti keterampilan dasar dalam kehidupan, hingga berpengetahuan dan keterampilan tinggi, bermoral tinggi, berkepribadian mulia dan lain sebagainya.

Budaya pengasuhan anak di Jepang menekankan pentingnya pengasuhan anak yang ‘baik’, di mana anak-anak keluarga diharapkan untuk berperilaku dengan cara yang halus dan elegan, sesuai dengan ritual hukum, dan menjadi manusia yang mandiri dan sempurna. (Shutterstock)

Dari sudut pandang Folkloristik, kata “躾” (shitsuke) adalah suatu proses perubahan yang sangat rumit. Agar anak dapat menjadi orang yang dapat hidup mandiri hingga sempurna, harus dibekali dengan keterampilan kerja yang cakap, pengetahuan budaya, dan moral etika yang benar. Tapi dari sudut pandang Folkloristik Jepang, keahlian dan pola asuh yang harus ada ini, banyak yang justru dipelajari dalam proses pertumbuhan si anak, dan bukan dicapai berkat program pendidikan ketat dari orang tuanya, dan orang tua hanya berfungsi sebagai pembimbing atau memberi inspirasi. Dalam proses pertumbuhan anak, lewat kegiatan masyarakat, pengaruh lingkungan, lambat laut memahami membedakan benar salah, tahu diri dan rendah hati, serta menyadari kebenaran. Oleh sebab itu, pakar Folkloristik Jepang Kunio Yanagita menjelaskan: Dari kitab kuno, hampir tidak terlihat adanya catatan yang jelas tentang bagaimana para leluhur memperlakukan “躾” (shitsuke).

 Pada masa akhir periode Edo, budaya “躾” (shitsuke) menjadi jernih dan tetap secara bertahap. Berikut ini, dari catatan memoar orang-orang yang mengalami era lama dan baru, kita lihat sejenak sejumlah kondisi “躾” (shitsuke), mungkin akan berguna bagi pendidikan keluarga masa kini.

Pendidikan Keluarga Pengusaha

Seorang ahli matematika yang dikenal internasional pada periode Meiji dan Showa Jepang yakni Kinnosuke Ogura (1885-1962), lahir dari keluarga pengusaha pada tahun Meiji ke-18 di prefektur Yamagata, menurut buku autobiografinya yang berjudul “Sūgakusha no Kaisō” (Reminiscences of a Mathematician, red.), sejak kecil ia telah mendapatkan pendidikan “躾” (shitsuke) yang ketat.

Pemandangan jalan perbelanjaan tradisional Jepang. (Shutterstock)

Waktu itu, anak-anak yang bermukim di Tsuruoka dan distrik samurai, mayoritas sejak usia dini atau saat duduk di sekolah privat (Shijuku) telah mempelajari bahasa nasional dan bahasa Mandarin, tapi mayoritas keluarga di desa justru tidak ada kebiasaan ini. Namun, anak-anak keluarga pengusaha jika dibandingkan dengan anak-anak kaum samurai, sama sekali tidak kalah. Contoh, aturan keluarganya sangat ketat. Saat makan, hanya kakek dan nenek yang boleh makan di dalam ruang keluarga, dia bersama pengawas toko, pembantu wanita, dan orang-orang lain hanya bisa makan di dapur. Sampai dia duduk di sekolah menengah perlahan berubah menjadi makan di ruangan antara ruang kakek dan nenek dengan dapur.

Dia ditetapkan sebagai penerus masa depan keluarganya, oleh sebab itu sejak kecil telah mendapatkan pendidikan yang ketat dalam hal etika dan lain sebagainya. Setiap pagi harus bangun pagi-pagi sekali, pagi dan malam harus pergi ke altar Buddha untuk membakar dupa dan menyalakan pelita. Kakenya adalah seorang umat Buddha yang taat, setiap tahun segala hal terkait sembahyang leluhur dan lain-lain diajarkan dengan sangat ketat kepadanya. Pagi hari di Tahun Baru, pada pukul 2 dini hari dia harus lebih dulu bangun daripada orang lain, lalu mengambil air bersih tahun baru (air bersih), menyalakan api, memanggang kue tahun baru, dan lain-lain. Untuk mengadakan ritual di ruang kakek dan nenek, segala persiapan harus dilakukan seorang diri. Keesokan harinya sampai senja, masih harus bertamu mengucapkan selamat tahun baru ke puluhan kerabat mereka yang jumlahnya puluhan keluarga, satu persatu harus didatanginya.

Pendidikan Keluarga Samurai

Penulis Jepang yang terkenal di Amerika bernama Etsuko Sugimoto (1873~1950), lahir di keluarga samurai pada tahun Meiji ke-6, ayahnya Shigemitsu Inagaki menjabat sebagai kepala pengawas klan Nagaoka di prefektur Niigata. Sebagai putri seorang samurai, sejak kecil dia mendapatkan pendidikan dan pelatihan ala samurai yang baik tapi sangat ketat.

Foto-1 Pola asuh yang anggun dan tahan banting berkembang dalam kehidupan keluarga. (Shutterstock)

Dalam buku memoarnya yang berjudul “Samurai no Musume” (A Daughter of Samurai, red.) dijelaskan, saat kecil dia telah belajar kitab klasik berbahasa Mandarin dari seorang bhikhu di vihara keluarganya, mendapat didikan “躾” (shitsuke) yang ketat seperti halnya anak laki-laki. Contoh, gurunya sengaja memilih waktu yang paling dingin di musim dingin, menyuruhnya mengerjakan tugas yang paling sulit untuk waktu yang sangat panjang dan di hari yang paling dingin itu dia harus lebih gigih maju lagi. Alasannya adalah: Jika hanya mencari rasa nyaman, maka hatinya tidak akan bisa menerima kekuatan dewa dari Tuhan. Musim dingin yang menusuk tulang itu, di dalam ruangan tidak ada tungku api, suhu udara di dalam ruangan hampir sama dengan di luar, dalam lingkungan seperti itu, masih harus fokus berlatih menulis dalam kurun waktu lama. Suatu pagi, kedua tangannya kedinginan sampai kaku dan membiru, tapi dirinya tidak menyadari hal ini, ketika didapatinya ada orang di belakangnya menangis, dia baru menyadarinya.

Dalam kondisi yang keras seperti itu, dia tetap berlatih menulis, sehingga berhasil melatih tekadnya yang kuat, lewat segores demi segores pena berlatih menulis, dia telah menguasai kemampuan mengendalikan pikiran sendiri, juga lewat pendidikan ala samurai, telah memupuk kekuatan spiritualnya mewujudkan karirnya.

Dalam buku autobiografinya dia menulis: Sejak hari menerima bingkisan pertunangan, dia telah mengemban tanggung jawab dengan “躾” (shitsuke) sebagai seorang istri. Setelah menikah, sepanjang hidupnya, selalu berusaha dilaluinya dengan “躾” (shitsuke) dan menjadi ibu rumah tangga yang baik. Pengalaman hidupnya, bisa dibilang merupakan miniatur tipikal “躾” (shitsuke) samurai.

Keluarga Terpandang, Pendidikan Tanpa Perkataan

Komentator peradaban dari periode Meiji sampai Showa yakni penulis yang bernama Hasegawa Nyozekan (nama aslinya Hasegawa Manjiro, 1875~1969), lahir di sebuah keluarga terpandang di Edogawa pada tahun Meiji ke-8. Mengenang pendidikan keluarga yang diperolehnya di masa muda, “躾” (shitsuke) pada masa itu juga merupakan pendidikan keluarga yang modern, tujuannya adalah agar anak memiliki sikap hidup yang benar, bisa dibilang merupakan kehidupan keluarga yang tipikal. Tapi, pendidikan ini tidak diselesaikan dengan teguran dan sejenisnya.

Budaya samurai Jepang juga merupakan bagian dari semangat ‘bahasa Jepang’. Diagram skematik. (Shutterstock)

Ia mengenang, pada waktu itu, masyarakat memiliki tradisi menonton opera sekeluarga, dalam sandiwara itu selalu ada konten yang mendidik dan menasihati. Jadi pada umumnya, teguran dan semacamnya dilakukan lewat tingkat masyarakat, tidak perlu dilakukan langsung di rumah. Sejumlah konsep moralitas, terbentuk secara mandiri pada anak-anak lewat mengamati dan merasakannya, serta terus memperbaiki diri pada kehidupan nyata sehari-hari. 

Menurut ingatannya, ketika dirinya melakukan tindakan yang tidak baik, ibunya tidak pernah langsung menuding kesalahannya, melainkan akan menasihatinya dengan bijaksana agar dirinya dapat menyadari kesalahan sendiri. Contohnya, saat duduk berlutut tubuhnya lengah, saat duduk menampakkan lutut, ibunya akan berkata: “Coba kau lihat, lutut keluar menyambut kedatanganmu!” Sehingga ia langsung menarik kaki dan duduk kembali dengan tegak.

Ia menilai, sebelum pendidikan menyebar luas, pendidikan keluarga semacam ini, telah menimbulkan pengaruh teramat besar bagi kehidupan manusia. Ciri khasnya adalah: Dalam kehidupan sehari-hari menyelesaikan pola asuh “躾” (shitsuke). Ia juga menjelaskan, pendidikan keluarga seperti ini sama sekali bukan abstrak dan hampa, sedangkan latihan yang sebenarnya bagi pikiran dan perilaku kehidupan sehari-hari, adalah proses perpaduan yang sempurna antara ketrampilan kehidupan dan moralitas.

Secara tradisional, bahkan bisnis terkecil di Jepang pun memiliki peraturan dan etiket rumah yang ketat. (Shutterstock)

Ia juga mengenang, waktu itu walaupun keluarga pengusaha yang kecil sekalipun, masing-masing memiliki aturan keluarga yang ketat, seperti keluarga “Daimyo” (tuan besar pada masa feodal), antara suami dengan istri, antara ayah dengan anak, juga terdapat tata karma yang sesuai. Contoh, jika tidak dipanggil orang tua, anak-anak tidak boleh masuk ke ruang tamu seenaknya, saat masuk ke ruang tamu juga harus seperti taat pada tata krama dan etiket seperti tamu.

Tak diragukan, “躾” (shitsuke) adalah tradisi Jepang yang baik dalam mendidik anak, yang harus diwarisi, dan disebarluaskan. Dari contoh nyata di atas dapat dilihat, dimana titik berat pendidikan keluarga, adalah sangat penting. Dalam kumpulan besar yang meliputi perilaku dan bahasa, pengetahuan dan keterampilan, pikiran dan konsep, kualitas akhlak, yang paling penting adalah moralitas. Hanya dengan membangun di atas moral yang baik, baru dapat membuat piramida “躾” (shitsuke) ini menjadi kokoh, anggun dan indah, serta sesuai dengan etika, indah dan menyentuh hati. (sud/whs)