Kitab Pararaton Karya Seni Sastra Tinggi

YUAN MEI

Pararaton adalah sebuah karya sastra yang paling banyak menuai  kontroversi,  karena beberapa kisah di dalamnya dianggap mitos, sementara beberapa  bagian  lainnya dianggap sumber sejarah. Perdebatan seputar keaslian kitab ini telah berlangsung lama, sejak dia ditemukan dan diterjemahkan oleh J.L.A. Brandes.

Pararaton (dari bahasa Jawa: “Para Ratu”, yang berarti “Para Penguasa”) adalah sebuah kitab naskah Sastra Jawa Pertengahan yang digubah dalam bahasa Jawa Kawi. Naskah ini cukup singkat, berupa 32 halaman seukuran folio yang terdiri dari 1126 baris. Isinya adalah sejarah raja-raja Singhasari dan Majapahit di Jawa Timur. Kitab ini juga dikenal dengan nama “Pustaka Raja”, yang dalam bahasa Sanskerta juga berarti “kitab raja-raja”. Tidak terdapat catatan yang menunjukkan siapa penulis Pararaton.

Beberapa bagian Pararaton tidak dapat dianggap merupakan fakta-fakta sejarah. Terutama pada bagian awal, antara fakta dan fiksi serta khayalan dan kenyataan saling berbaur. Beberapa pakar misalnya

C.C. Berg berpendapat bahwa teks-teks tersebut secara keseluruhan supranatural dan ahistoris, serta dibuat bukan dengan tujuan untuk merekam masa lalu melainkan untuk menentukan  kejadian-kejadian di masa depan. Meskipun demikian sebagian besar pakar dapat menerima pada tingkat tertentu kesejarahan dari Pararaton, dengan memperhatikan kesamaan-kesamaan yang terdapat pada inskripsi-inskripsi lain serta sumber-sumber sezaman dari Tiongkok, serta menerima lingkup referensi naskah tersebut dimana suatu interpretasi yang valid dapat ditemukan.

J.J. Ras membandingkan Pararaton secara berturut-turut dengan Prasasti Canggal (732), Prasasti Śivagŗha (856), Calcutta Stone (1041) dan Babad Tanah Jawi (1836). Perbandingan tersebut menunjukkan kesamaan-kesamaan yang jelas dalam karakter, struktur dan fungsi dari teks-teks tersebut serta kesamaan dengan teks-teks historiografi Melayu. Ras menyarankan pengelompokan jenis teks-teks tertentu dari seluruh wilayah Indonesia menjadi suatu genre sastra tersendiri, yaitu ‘kronik pemerintahan’ atau ‘kitab raja-raja’, yang merupakan historiografi yang ditulis demi melegitimasi kekuasaan raja.

Haruslah dicatat bahwa naskah tersebut ditulis dalam pemahaman kerajaan masyarakat Jawa. Bagi masyarakat Jawa, merupakan fungsi seorang raja untuk menghubungkan masa kini dengan masa lalu dan masa depan; dan menetapkan kehidupan manusia pada tempatnya yang tepat dalam tata-aturan kosmis. Raja melambangkan  lingkup  kekuasaan Jawa, pengejawantahan suci dari negara secara keseluruhan; sebagaimana istananya yang dianggap mikrokosmos dari keadaan makrokosmos. Seorang raja (dan pendiri suatu dinasti) dianggap memiliki derajat kedewaan, di mana kedudukannya jauh lebih tinggi daripada orang biasa.

Pararaton diawali dengan cerita mengenai inkarnasi Ken Angrok, yaitu tokoh pendiri kerajaan Singhasari (1222–1292). Selanjutnya hampir separuh kitab membahas bagaimana Ken Angrok meniti perjalanan hidupnya, sampai ia menjadi raja pada 1222 M. Penggambaran pada naskah bagian ini cenderung bersifat mitologis. Cerita kemudian dilanjutkan dengan bagian-bagian naratif pendek, yang diatur dalam urutan kronologis. Banyak kejadian yang tercatat di sini diberikan penanggalan. Mendekati bagian akhir, penjelasan mengenai sejarah menjadi semakin pendek dan bercampur dengan informasi mengenai silsilah berbagai anggota keluarga kerajaan Majapahit.

Pararaton dimulai dengan pendahuluan singkat mengenai bagaimana Ken Angrok mempersiapkan inkarnasi dirinya sehingga ia bisa menjadi seorang raja. Diceritakan bahwa Ken Angrok menjadikan dirinya kurban persembahan (bahasa Sanskerta: yadnya) bagi Yamadipati, dewa penjaga pintu neraka, untuk mendapatkan keselamatan atas kematian. Sebagai balasannya, Ken Angrok mendapat karunia dilahirkan kembali sebagai raja Singhasari, dan di saat kematiannya akan masuk ke dalam surga Wisnu.

Janji tersebut kemudian terlaksana. Ken Angrok dilahirkan oleh Brahma melalui seorang wanita dusun yang baru menikah. Ibunya meletakkannya di atas sebuah kuburan ketika baru saja melahirkan; dan tubuh Ken Angrok yang memancarkan sinar menarik perhatian Ki Lembong, seorang pencuri yang kebetulan lewat. Ki Lembong mengambilnya sebagai anak dan membesarkannya, serta mengajarkannya seluruh keahliannya. Ken Angrok kemudian terlibat dalam perjudian, perampokan dan pemerkosaan. Dalam naskah disebutkan bahwa Ken Angrok berulang-kali diselamatkan dari kesulitan melalui campur tangan dewata. Disebutkan suatu kejadian di Gunung Kryar Lejar, di mana para dewa turun berkumpul dan Batara Guru menyatakan bahwa Ken Angrok adalah putranya, dan telah ditetapkan akan membawa kestabilan dan kekuasaan di Jawa.

Pendahuluan Pararaton kemudian dilanjutkan dengan cerita mengenai pertemuan Ken Angrok dengan Lohgawe, seorang Brahmana yang datang dari India untuk memastikan agar perintah Batara Guru dapat terlaksana. Lohgawe kemudian menyarankan agar Ken Angrok menemui Tunggul Ametung, yaitu penguasa Tumapel.

Mpu Gandring maestro keris dari desa Lulumbang gagal menuntaskan keris pesanan Ken Angrok selama 5 bulan. Angrok menjadi murka karena semestinya keris itu rampung sebelum anak penguasa Tumapel yang tengah dikandung Ken Dedes keburu lahir maka ditikamlah Mpu Gandring dengan keris yang setengah jadi itu. Mpu Gandring tewas setelah melontarkan kutukan bahwa 7 keturunan Angrok akan mati oleh keris itu. Dengan keris itulah Angrok menghabisi Tunggul  Ametung,  penguasa  Tumapel. Ia merebut tahta Tumapel sekaligus Ken Dedes. Kisah legenda ini tidak dijumpai di sumber sejarah manapun, selain Kitab Pararaton.

Rangkuman Kitab Pararaton

Kitab Pararaton dibuka dengan asal usul Ken Angrok, mulai kelahiran hingga sepak terjangnya sebagai begal dan maling legendaris. Dengan berbagai cara ia dapat bertahta di Tumapel dengan gelar Sri Ranggah Rajasa Bhatara Sang Amurwabhumi Namun setelah Kertajaya Raja Kediri dikalahkannya, terjadi perebutan kekuasaan di keluarga Ken Angrok. Ia kemudian tewas dibunuh anak tirinya, Anusapati, dan dibalas oleh Tohjaya anak kandung- nya dengan membunuh Anusapati. Aksi saling bunuh terjadi di antara keturunan Ken Angrok dan keturunan Tunggul Ametung.

Pertumpahan darah itu baru berakhir saat Wisnuwardhana dan Narasinghamurti memutuskan untuk memerintah bersama.  Kisah ini pun bergulir ke masa Kertanegara berkuasa (1268 – 1292 M), pemberontakan Jayakatwang dan runtuhnya  Singasari, hingga berdirinya Majapahit oleh Dyah Wijaya menantu Kertanegara.

Pada awal berdirinya Majapahit diwarnai pemberontakan para mantan punggawa Dyah Wijaya (1293 – 1309 M). Tewasnya Jayanegara raja kedua Majapahit oleh tabib pribadinya. Hingga bertahtanya Ratu Tribhuwana Tunggadewi (1328 – 1351 M), yang menjadi awal dari Sumpah Palapa dan politik ekspansi Kerajaan Majapahit.

Pararaton membeberkan berbagai peristiwa termasuk yang terkenal adalah terjadinya insiden yang menyebabkan Perang Bubat pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk (1334 – 1389 M). Setelah itu pemberitaan Pararaton tidak lagi mendetail. Lebih mirip catatan kronologis yang serba singkat, misalnya tentang meninggalnya para penguasa Majapahit, perang Paregreg (1404 – 1406 M) antara Wikramawardhana dan Bhre Wirabhumi hingga munculnya Dyah Ranawijaya di akhir abad ke-15 M. Pararaton pun ditutup dengan letusan gunung berapi pada 1481 M. Ada beberapa peristiwa dalam Pararaton tidak ada dalam Kitab Negarakertagama dan prasasti, yakni Sumpah Palapa, Perang Bubat dan meninggalnya Hayam Wuruk, Tribhuwana, dan Gajah Mada, serta urutan penguasa Majapahit pasca Hayam Wuruk.

Pararaton ditulis pada lontar dengan bahasa Jawa Madya yakni peralihan dari bahasa Jawa kuno ke bahasa Jawa baru. Isinya berbentuk prosa dan seolah terbagi dalam 2 segmen. Segmen pertama adalah Katutura Ken Angrok (Serat Pararaton atau Katuturanira Ken Angrok, atau Kitab Raja-Raja atau Cerita Mengenai Ken Angrok), yang bercerita pajang lebar tentangnya. Segmen kedua adalah tentang raja-raja Singhasari dan Majapahit. Namun siapa penulis Pararaton belum diketahui, karena tidak tercantum dalam naskah. Namun hal ini wajar karena penulis sastra Jawa madya biasanya tidak mencantumkan nama.

Kapan Pararaton ditulis? Pada saat penyalinan selalu dicantumkan tahunnya. Salinan tertua Pararaton yang saat ini kita miliki bertahun 1600 M. Bisa juga ada yang lebih tua.  Arkeolog  Hasan  Djafar menduga, Pararaton pada masa pemerintahan Girindrawardhana Dyah Ranawijaya, berdasarkan peristiwa terakhir yang terekam di dalamnya, yakni pada letusan gunung pada 1481 M. Analisis ini sesuai dengan jiwa zaman dalam naskah ini, yakni balutan budaya Hindu – Budha yang kental. Mengingat tarikh yang tertua yang terdapat pada lembaran-lembaran naskah adalah 1522 Saka (atau 1600 Masehi), diperkirakan bahwa bagian terakhir dari teks naskah telah dituliskan antara 1481 dan 1600, di mana kemungkinan besar lebih mendekati tahun pertama daripada tahun kedua.

Untuk lokasi penulisannya,  diduga  dari  salah satu salinan Pararaton dibuat di Iccasada, Selapenek. Filolog dan pakar lontar menduga Selapenek berarti Batu Tumpeng. Yang adalah nama lain dari Kekeran di Badung, Bali. Sementara menurut arkeolog Agus Aris Munandar, Selapenek ini kemungkinan adalah pertapaan atau karesyan di Gunung Suci Penanggungan, karena Selapenek berarti batu yang terhimpit, bisa jadi daerah pebukitan yang berbatu, dan cocok dengan profil pertapaan dan  karesyan Jawa Timur, yang ada di lereng gunung dan daerah terpencil. Atau ditulis di mandala pendidikan dengan alasan, berbeda dengan Babad Tanah Jawi, yang tersesat begitu jauh saat berkisah tentang Majapahit, versi Pararaton tidak melenceng jauh dari sumber primer Majapahit, yakni Negarakertagama dan prasasti, meski ditulis di masa akhir Majapahit. Penulisnya tentu memiliki akses ke catatan sejarah terdahulu, dan itu bisa didapat di keraton atau di mandala pendidikan. Namun berbahaya bila penulisnya tinggal di lingkungan keraton, mengingat Pararaton sering membongkar aib istana. Jadi kemungkinan besar Pararaton ditulis di mandala pendidikan, yang berlimpah literatur dan kaum cerdik pandai.

Untuk apa Pararaton ditulis? Tujuan ditulisnya Pararaton tidak ada penjelasan. Namun di bagian kolofon di salinannya tersirat ada tujuan spiritual, yang hanya penulisnya sendiri yang tahu.

Penolakan terhadap Pararaton

Meski Pararaton merupakan  sumber  penting bagi sejarah Singhasari dan Majapahit, ada  pihak yang menolak Pararaton karena ada 2 alasan utama yakni bagian Katutura Ken Angrok sarat dengan kejadian supernatural dan tidak masuk akal. Kedua Pararaton dianggap buatan Belanda, yang sengaja memasukkan tokoh Ken Angrok untuk mendiskreditkan raja raja Jawa, dan insiden Bubat untuk memecah belah orang Jawa dan Sunda.

Unsur magis dan mistis Pararaton

Ada wacana para ahli menolak atau meragukan kesejarahan Pararaton. Namun jika dicermati yang menolak 1 orang saja yakni CC Berg (1900 – 1990 M) dengan alasan utama karena Pararaton sarat kisah supranatural, padahal hampir semua sastra Jawa, terutama kidung dan babad pasti ada unsur magisnya. Bisa dibilang ini merupakan ciri khas kita. Jika ada sastra kuno yang tanpa cerita magis bahkan susunannya seperti buku sejarah modern, para ahli justru akan mencurigai. Contohnya naskah Wangsakerta, yang kemudian oleh mayoritas sejarawan sebagai naskah palsu. Kejanggalan naskah Wangsakerta, termasuk kisah tentang Salakanagara. Dalam karya sastra Jawa, elemen magis dan supranatural biasanya digunakan untuk menyembunyikan suatu pesan yang disebut  smita  atau  pasemon.  Contoh- nya dalam Pararaton menyebut Ken Angrok adalah anak Dewa Brahma ini smita bahwa ia adalah anak penguasa. Bahkan epigraf legendaris Buchari (1927– 1991 M) menduga Ken Angrok adalah anak dari Tunggul Amethung. Atau dugaan lain Ken Angrok adalah anak penguasa Kediri yang menikah dengan bangsawan pewaris Jenggala di masa lalu. Contoh lainnya ada ditulis para Dewa rapat di Gunung Lejar untuk memilih penguasa baru pulau Jawa. Ini smita bahwa pemangku kekuasaan, mungkin setingkat watak (sebutan untuk suatu jabatan), sedang berunding untuk lepas dari mandala Kediri, yang saat itu dipimpin Kertajaya dan mencari maharaja untuk bumi Janggala. Menjadi aneh jika CC Berg yang ahli sastra Jawa tidak memahami hal ini. Ketika Berg mengkritik Pararaton dan Negarakertagama, Indonesia baru saja merdeka. Dan kita tahu para pendiri bangsa ini banyak meminjam elemen Majapahit, seperti semangat penyatuan Nusantara dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika dari Kakawin Sutasoma. Bahkan bendera merah putih pun diambil dari panji Majapahit. Atau mungkin Berg bermaksud meng- gembosi semangat persatuan itu dengan mengatakan Pararaton sebagai hasil manipulasi Prapanca. Berg juga mengasumsikan adanya proto-Pararaton tempat Prapanca mengkreasi Pararaton. Dan banyak ahli yang membantah Berg dan memastikan keaslian Pararaton, seperti Slamet Mulyana, Boechari, dan sejarawan kawakan lainnya.

Benarkah Pararaton karangan Belanda?

Isu bahwa Pararaton dikarang atau dibelokkan Belanda, banyak datang dari kalangan non-sejarawan.  Mereka  curiga,  Belanda  menyisipkan  tokoh Ken Angrok, untuk mendiskreditkan leluhur raja-raja Jawa, dan perang Bubat, untuk mengadu domba orang Jawa dan Sunda.

Faktanya pada 1896, Pararaton pertama kali diterjemahkan oleh JLA Brandes (1857 – 1905 M) sejarawan yang juga menerjemahkan Negarakertagama, 24 tahun kemudian terjemahannya disempurnakan berdasarkan temuan-temuan baru oleh NJ Krom (1883 – 1945) dibantu 2 ilmuwan asing bersama Poerbatjaraka (1884 – 1964) pakar sastra Jawa kuno. Karena yang terlibat tidak hanya Brandes dan ada ilmuwan dari Indonesia, dengan demikian mustahil ilmuwan Belanda melakukan penyelewengan atau menambahkan karangan dalam Pararaton. 

Perpustakaan Nasional RI menyimpan 3 salinan Pararaton yang menjadi bahan penerjemahan Brandes, sementara di perpustakaan Universitas Laiden Belanda, ada 8 salinan. Di rumah-rumah pendeta dan bangsawan Bali masih tersimpan lontar Pararaton. Maka akan ribet jika mau diubah, jika diubah maka akan tahu karena naskah pembandingnya banyak.

Meski naskah asli Pararaton belum ditemukan, menurut sejarawan Agus Aris Munandar, semua naskah Jawa Kuno digubah oleh kalangan agamawan, yakni para pendeta Brahmana, dan memiliki fungsi spiritual. Sehingga dalam kepercayaan Jawa Kuno proses menulis dan menyalin dan membaca lontar merupakan ritual ibadah. Dan tradisi itu masih lestari di Pulau Bali.

Menurut Sugi Lanus, ada kemungkinan Pararaton dan lontar-lontar kuno lainnya (seperti: Kidung Harsa Wijaya, Kutaramanawa, kidung Sunda dan Sundayana, Malat, Nawaruci, Pamacangah, Ranggalawe dan Sorandaka) menjadi bacaan wajib para bangsawan dan Brahmana Bali. Selain menyimpan informasi penting tentang Majapahit, lontar-lontar ini juga menjadi “migrasi ingatan”, yang menghubungkan Bali masa kini dengan peradaban Jawa kuno.

Jadi jika menganggap Pararaton dikarang Belanda sama saja dengan menghina tradisi yang terjaga selama ratusan tahun di Pulau Bali. Meski daya tahan daun lontar maksimal 150 tahun, daun lontar disakralkan karena mampu menghubungkan manusia dengan dewata. Fungsi magis inilah yang tidak bisa digantikan oleh kertas, meski pada masa itu kertas sudah di temukan oleh orang Tiongkok. Maka para penyalin lontar tidak akan sembarangan menulis.

Beberapa contoh lain, dalam Pararaton ada sejumlah nama yang tidak ditemukan di Negaraker- tagama, antara lain Tohjaya, Pranajaya dan Panji Pati-Pati, semua itu dulunya dianggap fiktif sampai Prasasti Malurung (1255 M) ditemukan di Kediri pada 1975. Nama-nama itu tertera di sana yang dianggap sebagai sumber primer terkuat.

Jika Pararaton adalah karangan Belanda dari mana mereka mengetahui nama-nama tersebut sedangkan Prasasti Malurung baru ditemukan 50 tahun kemudian setelah proses penerjemahan.

Nilai kesejarahan Pararaton

Berbagai data sejarah dari Majapahit dan Singasari yang berasal dari prasasti sebenarnya masih berupa perca, Negarakertagama pun hanya mencatat sejarah Majapahit hingga masa Hayam Wuruk, maka Pararaton lah yang berfungsi sebagai backbone tempat perca-perca itu dijahit hingga menjadi narasi sejarah yang utuh. Jika dibandingkan dengan sejarah kerajaan lain yang narasinya simpang siur. Seperti Prasasti Mantyasih (907 M) yang memuat nama-nama Raja Medang, namun tidak menjelaskan hubungan kekerabatan mereka, apalagi peristiwa suksesinya. Dibandingkan dengan sejarah Majapahit yang diketahui nama-nama rajanya dan suksesi kekuasaannya yang lengkap.

Pararaton yang jujur dan apa adanya

Negarakertagama adalah kitab yang berfokus pada Singhasari dan Majapahit, yang berfokus pada kebaikan penguasa hingga zaman Hayam Wuruk, sedangkan Pararaton menampilkan kebobrokan mereka secara vulgar. Misalnya Sri Ranggah Rajasa Bhatara Sang Amurwabhumi, leluhur raja-raja Majapahit yang di Negarakertagama sangat dihormati, di Pararaton justru diceritakan masa mudanya adalah begal dan maling. Nama yang dipilih pun adalah Ken Angrok, si biang keributan. Pararaton menjadikan kisah raja-raja Singhasari dan Majapahit menjadi hidup, manusiawi dan tidak berjarak.

Pararaton adalah sumber sekunder atau pelengkap saja, sumber primernya adalah Negarakertagama dan prasasti. Jika Pararaton bertentangan dengan sumber primer maka yang kita ikuti adalah sumber primer. Namun jika detil dari Pararaton tidak ada di sumber primer tetapi tidak bertentangan dengan logika dan timeline sejarah maka detil itu dapat dipertimbangkan sebagai sumber pendukung. Pararaton merupakan sumber sekunder sejarah Singhasari karena jarak waktu penulisannya sangat jauh. Namun Pararaton sumber yang komplit untuk sejarah Singhasari.

Kitab Pararaton lebih ke arah sebuah novel yang sarat dengan kisah kepahlawanan, intrik politik, asmara, dendam, dan hasrat akan harta dan kekuasaan. Dan bila ditelusuri lebih jauh, kitab ini memberitahukan bahwa budaya politik Nusantara adalah budaya saling mengudeta satu sama lain. Bahkan dalam Kitab Pararaton digambarkan dengan gamblang tentang perebutan kekuasaan, saling iri antar saudara, obsesi yang begitu tinggi, sifat megalomania, dendam pribadi, dan lain-lain. Hanya saja bila dibandingkan dengan Kitab Negarakertagama, Kitab Pararaton nampak lebih objektif karena tidak hanya membicarakan yang manis-manisnya saja mengenai sejarah Singhasari dan Majapahit.

Pararaton adalah karya seni sastra dengan keunikan yang tiada duanya, menyajikan tokoh-tokoh sejarah dengan titik lemah, kejatuhannya maupun cara-cara mereka untuk bangkit dan keluar dari masalah. Kita tidak harus setuju dengan mereka namun kita bisa belajar.(Berbagai sumber. Sumber utama: Asisi Channel)