“Robot Pengacara” dari Kecerdasan Buatan Akan Mewakili Manusia di Pengadilan Bulan Depan di AS

Katabella Roberts

Sebuah robot yang ditenagai oleh kecerdasan buatan diatur untuk menjadi “pengacara robot” pertama di dunia dan akan menangani kasus tilang di pengadilan bulan depan, menurut penciptanya.

Joshua Browder, CEO Startup DoNotPay, yang menyebut dirinya sebagai “rumah pengacara robot pertama di dunia” mengonfirmasi berita tersebut di Twitter pada Senin (9/1).

Browder mengatakan, perusahaannya menawarkan untuk membayar pengacara atau siapa pun $ 1 juta untuk menggunakan jasa pengacara AI dalam kasus yang akan datang di depan Mahkamah Agung Amerika Serikat.

“Kami memiliki kasus yang akan datang di pengadilan kota (lalu lintas) bulan depan. Tetapi para pembenci akan mengatakan ‘pengadilan lalu lintas terlalu sederhana’, jadi kami membuat penawaran serius ini, bergantung pada kami untuk mencapai kesepakatan formal dan semua aturan akan diikuti,” tulis Browder.

Sang CEO tidak memberikan rincian lebih lanjut mengenai para terdakwa dalam kasus tersebut atau lokasi pengadilan.

Menurut situs web resmi DoNotPay, perusahaan menggunakan kecerdasan buatan untuk “membantu konsumen melawan perusahaan besar dan menyelesaikan masalah mereka seperti mengalahkan tiket parkir, menarik biaya bank, dan menuntut robocaller”.

Teknologi AI Dilarang di Ruang Sidang

“Tujuan DoNotPay adalah untuk menyamakan kedudukan serta membuat informasi hukum dan swadaya dapat diakses oleh semua orang,” kata situs web tersebut.

Perusahaan yang didirikan pada 2015 ini didukung oleh beberapa investor Silicon Valley, termasuk firma modal ventura Andreessen Horowitz dan Crew Capital serta perusahaan ekuitas swasta, Greylock Partners.

Berbicara kepada CBS News, Browder, seorang ilmuwan komputer Universitas Stanford, menjelaskan bahwa pengacara AI menggunakan smartphone dan mendengarkan argumen pengadilan sebelum merumuskan tanggapan untuk diulang oleh terdakwa melalui headphone.

Menurut Browder, perusahaannya, yang telah mengumpulkan hampir $30 juta dari berbagai firma modal ventura yang berfokus pada teknologi, telah menggunakan teknologi AI untuk membuat surat dan chatbot guna membantu lebih dari 2 juta orang mendapatkan pengembalian uang untuk segala hal mulai dari sengketa tiket parkir hingga Wifi dalam penerbangan yang tidak berfungsi.

“Dalam satu tahun terakhir, teknologi AI benar-benar berkembang dan memung- kinkan kami menjembatani secara real- time dengan perusahaan dan pemerintah,” katanya kepada CBS. “Kami berbicara langsung (dengan perusahaan dan perwakilan layanan pelanggan) untuk menurunkan tagihan perusahaan yang dianggap tidak wajar, dan apa yang  kami  lakukan  bulan depan adalah mencoba menggunakan teknologi di ruang sidang untuk pertama kalinya.”

Tidak  jelas  bagaimana  teknologi  AI akan bekerja di Mahkamah Agung, mengingat Mahkamah Agung Amerika Serikat melarang perangkat elektronik apa pun untuk hadir di ruang sidang saat Pengadilan sedang berlangsung.

Banyak Pengacara dan Asosiasi Pengacara Tidak Akan Mendukung Hal Ini

Namun, Browder memberi tahu Gizmodo bahwa aturan aksesibilitas tertentu memungkinkan pengecualian terhadap kebijakan pengadilan tentang perangkat elektronik untuk menyediakan akomodasi yang wajar.

“Kami tidak akan pernah melakukan apa pun yang melanggar aturan,” katanya kepada Gizmodo.

The Epoch Times telah menghubungi Mahkamah Agung untuk memberikan komentar.

Menurut Business Insider, pengguna harus membayar $36 setahun untuk menggunakan pengacara AI dalam hal menentang masalah seperti pengembalian uang atau tiket parkir. Pelanggan harus menjawab pertanyaan yang merinci tentang kasus mereka dan chatbot kemudian akan memutuskan apakah mereka memenuhi syarat untuk mengajukan banding.

Browder  memberi  tahu  CBS  bahwa perusahaan akan menanggung denda apa pun jika pengacara robot kalah dalam kasus tersebut.

Namun, apa yang disebut pengacara AI juga menimbulkan sejumlah masalah, termasuk fakta bahwa AI tidak dapat melakukan tuntutan layaknya manusia dan ilegal di sebagian besar ruang sidang Amerika Serikat.

“Ada banyak pengacara dan asosiasi pengacara yang tidak mendukung ini,” kata Browder kepada CBS. “Itu ada dalam surat hukum, tapi saya rasa tidak ada yang bisa membayangkan ini akan terjadi,” kata Browder. “Ini memang bukan spirit dalam dunia hukum, tapi kami mencoba untuk mendorong hal-hal ke depan dan banyak orang tidak mampu membayar bantuan hukum. Jika kasus ini berhasil, akan mendorong lebih banyak pengadilan untuk mengubah peraturan mereka.”

Tiongkok adalah negara pertama yang menggunakan kecerdasan buatan di pengadilan. 

Mesin yang dibuat dan diuji oleh Kejaksaan Rakyat Pudong Shanghai ini mampu mengajukan tuntutan dengan akurasi lebih dari 97 persen, menurut klaim para peneliti mereka, meskipun terdapat kekhawatiran bahwa teknologi tersebut dapat digunakan untuk lebih banyak menekan hak-hak individu di negara yang dikuasai rezim komunis tersebut. (zzr)