Gila Kuasa Hingga ke Desa

WAN JAYA

“Selamat tinggal, Jakarta. Sembilan tahun saya tunggu kabarmu. Kalau ndak, tak habisi 2024. Semangat. Partai politik yang tidak mendukung kita habisi di desa. Hidup pak lurah!”

Itulah penggalan video viral di tengah aksi ribuan kepala desa di depan gedung DPR (17/1) menuntut perpanjangan masa jabatan dari 6 tahun ke- 9 tahun. Bukan hanya itu wacana untuk tiga periode masa jabatan kepala desa juga muncul. Bisa dibayangkan kalau benar UU desa benar-benar direvisi dan tuntutan “gila” ini dikabulkan, seorang kepala desa bisa menjabat 27 tahun. Ini jelas melebihi masa jabatan presiden lima tahun dan batasan tiga periode.

Alasan yang mendasari tuntutan itu adalah bahwa 6 tahun tidak cukup untuk mewujudkan visi misi, karena pesta demokrasi di desa sering diwarnai politik uang, praktik perdukunan, perjudian, dan polarisasi masyarakat.

Mereka berdalih bahwa mereka terganggu karena direcoki oleh calon kades yang kalah, seperti dicari-cari kesalahannya di bidang hukum. Fakta yang sering terjadi di lapangan bahwa kontestasi pemilihan kepala desa bisa merogoh kocek sampai 7 miliar. Kalau orang berpikir logis atau bisnis, tentunya sebuah spekulasi/ investasi yang tidak masuk akal. Gaji kepala desa hanya berkisar 2,5 juta rupiah. Tidak akan ketemu kapan balik modal (BEP – Break Event Point), kecuali pakai logika ngembat dana desa. Itupun kalau tidak terendus penegak hukum atau kelompok yang ingin seorang kades segera diprodeokan.

Masalah mendasarnya adalah bukan kurangnya masa jabatan, tapi praktik-praktik politik berbiaya tinggi, politik uang, dan tradisi NPWP (Nomer Piro Wani Piro) yang menjangkiti masyarakat. Itu yang harus diperbaiki. Coba seandainya mencalonkan

kepala desa dengan cara lempeng-lempeng saja, tidak ada politik uang, tidak ada serangan fajar, pasti tidak akan kelompok yang baper, barisan sakit hati, tak bisa move on sehingga merecoki kepala desa terpilih. Yang pada intinya, lagi-lagi masalah mendasarnya adalah bagaimana seseorang memandang kekuasaan. Apakah kekuasaan menjadi tujuan hidup yang harus diperjuangkan sampai lembaran terakhir isi dompet atau bahkan sampai titik darah penghabisan? Ataukah kekuasaan hanya dianggap sebagai alat untuk mengabdi pada masyarakat? Dua buah sudut pandang yang berbeda yang akan membawa konsekuensi yang berbeda, bagaikan langit dan sumur.

Fenomena latahnya ribuan kepala desa ingin memperpanjang masa jabatan dan nambah periode sepertinya bukan fenomena yang organik, tapi ada yang mengorkestrasi. Ini bermula dari wacana perpanjangan masa jabatan presiden yang digulirkan oleh para menteri yang memicu aksi demontrasi mahasiswa. Kemudian disusul adanya forum Silahturohmi Nasional APDESI (Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia) (29/3/2022) di mana pada waktu itu presiden Joko Widodo hadir dan memberikan sambutan dan mengimbau para menteri untuk menghentikan wacana perpanjangan masa jabatan presiden atau tiga periode. Himbauan yang tulus atau seolah-olah? Tapi yang harus diperhatikan itu hanya untuk para menteri, tidak pejabat pada level yang lain. Pun juga dalam bentuk pernyataan lisan sehingga tidak punya kekuatan hukum yang mengikat. Di ralat pun juga ndak ada konsekuensi hukum. Apa susahnya menjilat ludah sendiri? Kan sudah biasa?

Di sisi lain APDESI bisa menjadi corong untuk menyuarakan wacana tiga periode, karena ternyata ada menteri yang menjabat posisi di APDESI yang mana ternyata sebuah organisasi yang mengalami kepengurusan ganda. Dengan adanya aksi ribuan kepala desa (massa yang menggunakan kostum kepala desa) yang menuntut perpanjangan masa jabatan paling tidak ada beberapa hal yang bisa dibaca; Pertama, Bagaimana sikap Presiden? Menurut politisi PDIP, Budiman Sudjatmiko, Presiden mengatakan setuju. Berapa hari kemudian, walau Presiden secara tidak tegas mengatakan secara ekplisit persetujuannya, dia mengatakan bola berikutnya ada di DPR RI. Ya itu artinya setuju. Seperti halnya gadis perawan yang diam ketika dilamar pemuda tampan dan mapan. Diam di sini artinya setuju.

Kedua, Ada upaya jangka panjang dan terstruktur untuk membangun logika yang sejatinya mengkhianati konstitusi. Logika itu dibangun dengan bidak catur para kepala desa. Dalam UU Desa masa jabatan kepala desa adalah 6 tahun, dan bisa sampai tiga periode. Sehingga ketika tuntutan mereka disetujui DPR menjadi 9 tahun, akan mudah membuat kesesatan berpikir massal seperti “Kepala desa saja tiga periode, dengan per periodenya 9 tahun, apa salahnya presiden tiga periode masa jabatan? Apa salahnya kalau cuma memperpanjang masa jabatan.” Sebuah upaya normalisasi kesesatan berpikir secara massal. Apalagi dengan kucuran dana desa yang semakin deras, dan ada upaya juga ingin memperbesar porsi dana desa dari 2,5 % APBN ke 10% APBN , elite di Jakarta akan mempunyai daya tawar untuk menekan kepala desa untuk mewujudkan agenda-agenda tersembunyinya. Demikian juga kepala desa dengan dana desanya bisa mempunyai kekuatan penekan atau cuci otak untuk mempengaruhi warganya. Dalam posisi ini BLT dana desa akan menjadi senjata yang serba mampu di tengah perusakan moralitas pemilih dengan budaya NPWP-nya. Politik uang yang dilegalkan.

Ketiga, Strategi desa mengepung kota. Strategi ini dikenal sebagai strategi kaum komunis mewujudkan revolusinya. Tapi saya tidak mengatakan siapa-siapa seorang komunis atau komunis sedang menguasai Indonesia. Tapi gaya-gaya merusak nilai- nilai konstitusi dengan penggalangan opini dan penyesatan berpikir massal perlu diwaspadai.

Menaklukkan elite partai politik di senayan yang juga punya ambisi berkuasa yang sama tidak mudah. Menggunakan kepala desa yang jumlahnya hampir mencapai 80.000 dengan rencana menaikkan porsi dana desa 10% dari APBN akan menjadi transformasi politik ke arah kediktatoran yang belum pernah terjadi di Indonesia.

Sebuah mesin politik yang akan susah ditandingi oleh partai politik yang paling kuat sekalipun di Indonesia. Bisa dibayangkan satu orang saja elite Jakarta yang gila kuasa, bisa membahayakan negara, rakyat, dan demokrasi. Apalagi jika gila kuasa itu hingga ke desa. Bayi kediktatoran proletariat harus disegera diaborsi sebelum menjadi bayi gerandong yang haus darah. All tyranny needs to gain a foothold is for people of good conscience to remain silent (Semua tirani hanya ingin orang-orang yang memiliki hati nurani yang baik tetap diam)- Edmund Burke.