Muak Dengan Ketidakjelasan Kebijakan Beijing, Hengkangnya Rantai Pasokan Modal Asing Jadi Tren

Song Tang dan Yi Ru

Meskipun pandemi masih menjadi sorotan di Tiongkok saat ini, sebuah tren lainnya juga sedang terjadi, untuk jangka panjang mungkin akan menimbulkan dampak yang lebih besar bagi Tiongkok, yakni perusahaan modal asing yang selama ini mempertaruhkan masa depan pada Made in China, kini sedang bersiap untuk memindahkan basis produksinya keluar dari Tiongkok.

Dari kebijakan Nol Covid yang begitu ketat kemudian berubah drastis menjadi tiarap dan tak peduli apapun, kebijakan petinggi PKT (Partai Komunis Tiongkok) semakin tidak bisa diprediksi, tidak hanya membuat hubungan AS (Amerika Serikat)-RRT yang kian hari kian tegang, juga telah menimbulkan bayang kelabu bagi perusahaan modal asing yang berinvestasi di Tiongkok. Hal ini untuk jangka panjang membuat citra Tiongkok sebagai “pabrik dunia” perlahan-lahan menjadi luntur, pusat produksi dunia dialihkan ke India, Asia Tenggara, dan Amerika Latin, sebuah rantai pasokan masa depan yang baru akan segera terbentuk.

Rantai Pasokan Dialihkan Keluar Tiongkok Menjadi Tren

Baru-baru ini, pejabat diplomatik “serigala perang” RRT (Republik Rakyat Tiongkok) yakni Zhao Lijian tidak lagi muncul dengan status sebagai juru bicara pemerintah, melainkan beralih status sebagai Wakil Kepala Biro Urusan Perbatasan dan Kelautan, hal ini dipandang sebagai tindakan bersahabat terhadap Barat dan mendorong perdagangan, tetapi mungkin semuanya sudah terlambat.

Tahun 2018 sebelum perang dagang AS-RRT, sangat sedikit orang memikirkan untuk decoupling dengan rantai pasokan RRT, dan menempatkan produk pada Made in China adalah cara untuk menekan biaya produksi. Dimulainya perang dagang AS-RRT telah memulai decoupling ekonomi, setelah itu selama masa pandemi virus, Beijing memanfaatkan rantai pasokan sebagai alat untuk melakukan pemaksaan, sehingga telah semakin mempercepat proses decoupling.

Invasi Rusia terhadap Ukraina mendorong terbentuknya kesadaran politik Barat, ketika itu hampir semua tokoh politik Barat menyatakan, seharusnya berbisnis dengan negara yang memiliki nilai-nilai yang sama, media massa muncul konsep “Friendshoring” dan “Nearshoring”. Sedangkan saat ini, meskipun perusahaan asing besar yang mengutamakan kepentingan pun telah melihat risiko politik dengan menempatkan basis produksinya di RRT, dan berinisiatif hengkang dari RRT.

Surat kabar New York Times memberitakan, semakin sengitnya permusuhan AS dengan RRT, bagi banyak perusahaan multinasional telah menjadi ujian yang sangat berat pada keyakinannya terhadap produk Made in China yang selama puluhan tahun telah mendatangkan manfaat ekonomi. Banyak perusahaan AS mengevaluasi kembali risiko ketergantungan terhadap pabrik di Tiongkok untuk memproduksi barang, dan sejumlah perusahaan sedang mengalihkan bisnisnya ke negara yang lebih dekat yakni Meksiko.

Dialihkannya bisnis perusahaan AS ke Meksiko, juga mempertimbangkan faktor fundamental yakni faktor geografis. Mengirimkan satu unit container yang diisi penuh dengan produk dari Tiongkok sampai ke AS biasanya dibutuhkan waktu satu bulan, tetapi pabrik di Meksiko dengan toko retail di AS bisa merealisasikan pengiriman dalam tempo dua minggu.

Awal tahun lalu, Walmart harus membeli seragam perusahaan senilai USD 1 Juta — lebih dari 50.000 stel seragam dalam satu pesanan tunggal — tapi tidak dibeli dari pemasok konvensional dari Tiongkok, tetapi memilih perusahaan garmen keluarga di Meksiko yakni Preslow.

Dosen University of South Carolina Aiken yakni Profesor DR Xie Tian mengatakan kepada Epoch Times, “Terbentuknya Made in China sebenarnya dikarenakan AS dan negara Barat lainnya membuka pasar bagi RRT, waktu itu upah buruh di Tiongkok cukup rendah, maka RRT pun telah menjadi pabrik dunia. Sekarang ekonomi AS-RRT bertentangan, AS menempuh langkah aktif memblokir perkembangan teknologi tinggi Beijing. Dalam kondisi seperti ini, pada dasarnya ekonomi AS-RRT mulai terjadi decoupling, dengan sendirinya pesanan dan pasar rantai industri mulai beralih, dan mulai tertutup bagi PKT.”

“Sejak adanya Perjanjian AS-Kanada-Meksiko menggantikan Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA), banyak pabrik AS telah dialihkan ke Meksiko, tapi masih ada sebagian pergi ke RRT, karena RRT mempunyai biaya tenaga kerja yang rendah dan buruh yang terlatih. Tetapi melihat sekarang ini, keunggulan tenaga kerja di RRT juga sudah tidak ada lagi, apalagi faktor ketidakpastian politik terlalu banyak. Walaupun di Meksiko biaya tenaga kerjanya lebih tinggi sedikit, mungkin tidak banyak buruh yang terlatih. Namun sekarang ini setelah RRT kehilangan keunggulannya, maka Meksiko pun semakin menjadi pilihan yang lebih menarik.”

Menurut pemberitaan Nikkei Asia, perusahaan teknologi Dell AS berencana berhenti menggunakan chip produksi Tiongkok sebelum 2024, juga menuntut negara pemasok PCB dan PWB di luar Tiongkok (seperti Vietnam) untuk mempersiapkan kapasitas produksi. Kompetitornya Hp juga mulai mengevaluasi para pemasoknya, mempertimbangkan kemungkinan untuk mengalihkan lini produksi dan perakitannya keluar dari Tiongkok.

Seorang petinggi perusahaan mengatakan kepada Nikkei Asia, “Dulu kami hanya tahu Dell berencana untuk melakukan pengembangan bervariasi di luar Tiongkok, tapi kali ini agak terlalu heboh. Mereka bahkan tidak mau memproduksi chip di Tiongkok, alasannya karena khawatir dengan kebijakan pemerintah AS. Ini tidak hanya sekedar sebuah evaluasi, hal ini adalah serius.”

Analis teknologi dari Counterpoint yakni Ivan Lam memprediksi, dalam 5 hingga 10 tahun mendatang, di seluruh dunia akan muncul lebih banyak basis produksi alat elektronik, “Pusat produksi regional ini akan muncul di India, Asia Tenggara, dan Amerika Latin, dan transformasi ini akan dimulai dari proses perakitan, serta menyangkut banyak suku cadang”, tegas Lam.

“Kita mungkin masih berpikiran hal ini butuh waktu sangat lama baru bisa terwujud, tapi kali ini benar-benar telah terjadi tren itu, ini akan menjadi orientasi rantai pasokan iptek masa mendatang”, imbuhnya.

Di tengah kondisi meningkatnya ketegangan AS-RRT, perusahaan Apple juga pertama kalinya berencana mengalihkan produksi sebagian MacBook ke Vietnam. Para analis menyatakan, target jangka panjang Apple adalah 40% sampai 45% iPhone dikirim dari India, sedangkan saat ini rasio tersebut masih single digit. Para pemasok menyebutkan, ada harapan Vietnam akan memproduksi lebih banyak produk Apple, seperti AirPods, ponsel pintar dan laptop. 

Menurut petinggi industri otomotif dan pakar rantai pasokan, grup produsen otomotif global telah mulai mengurangi ketergantungan terhadap produksi suku cadang di Tiongkok, dan ini adalah aksi serempak dari kalangan produsen besar otomotif.

Financial Times memberitakan, “Seluruh industri secara skala luas telah mempertimbangkan kembali bisnis logistik”, petinggi Ford yakni Ted Cannis mengatakan, “Rantai pasokan bakal menjadi sorotan pada satu dekade mendatang.” Perubahan konsepsi produsen otomotif ini didorong oleh dua faktor, salah satunya adalah ketidakpastian akibat kebijakan Nol Covid PKT, yang memaksa pabrik ditutup dalam waktu singkat. Faktor kedua adalah kekhawatiran jangka panjang, jika hubungan Beijing dan internasional retak (mirip yang terjadi pada Rusia), ini mungkin akan mengancam perdagangan, maka decoupling politik akan semakin besar.

Kepada surat kabar Epoch Times, seorang ekonom AS yang bernama Davy J.H. menganalisa empat alasan hengkangnya perusahaan asing, “Yang pertama adalah masalah pasokan dan produksi: Karena sebelumnya Tiongkok memberlakukan kebijakan Nol Covid ketat, yang mengakibatkan terhentinya pasokan dan produksi di luar prediksi, hal ini di awal pandemi masih bisa ditolerir, namun seiring dengan kembali normalnya satu persatu negara produsen penggantinya (seperti Asia Tenggara dan Amerika Latin), yang mengakibatkan sejumlah bisnis yang sensitif terhadap pasokan dan produksi mempertimbangkan untuk pindah ke kawasan yang relatif lebih stabil, atau mengalihkan sebagian pesanan dan produksinya.”

“Kedua, permasalahan akibat sanksi dagang dan hubungan internasional: Karena ketegangan hubungan antara Tiongkok dengan rekan dagang terbesarnya yakni AS dan Eropa beberapa tahun terakhir ini, timbul dari pertimbangan biaya (misalnya tarif masuk AS), sanksi (seperti chip dan kapas) dan lain-lain, sebagian perusahaan mulai mempertimbangkan wilayah pengganti lainnya. Khususnya masalah kapas di Xinjiang, telah menyebabkan ekspor kapas Asia Tenggara perlahan mengejar Tiongkok, sedangkan produksi instrumen presisi semakin banyak yang dialihkan. Karena alasan geopolitik banyak perusahaan Jepang seperti Omron, Ricoh dan lain-lain hengkang seluruhnya dari Tiongkok.

“Ketiga, biaya produksi, pungutan pajak, perlindungan hukum dan lain-lain: Pada saat ini keunggulan kompetitif Tiongkok di beberapa industri mulai memudar, misalnya tenaga kerja, air dan listrik, pungutan pajak dan lain-lain”.

“Keempat, persaingan negara lain: Negara-negara di Asia Tenggara, terutama Vietnam dan India, selama bertahun-tahun secara aktif merebut industri internasional dari Tiongkok, khususnya memanfaatkan masa Nol Covid di Tiongkok, semakin lebih banyak lagi merayu industry untuk keluar dari Tiongkok. Saya pernah menerima undangan dari pihak India untuk menghadiri forum ekonomi, yang terang-terangan membahas bagaimana meningkatkan daya saing internasional India dalam menarik masuk industri, sesungguhnya merupakan upaya mempercepat dan secara tepat menyabot bisnis Tiongkok.”

Lingkungan Politik dan Bisnis Yang Tak Dapat Diprediksi

Surat kabar Wall Street Journal memberitakan, selama beberapa dekade akademisi, pejabat diplomatik, dan petinggi perusahaan terus menerus secara intens meneliti dokumen pemerintahan Komunis Tiongkok, pemberitaan media massa pemerintah dan foto-video penampilan para pejabat di publik, dan berharap dapat menemukan informasi operasional internal PKT. Sejak berkuasa pada 2012, Xi Jinping telah membangun ulang struktur kekuasaan tingkat elite, membuat orang semakin sulit memprediksi masa depan.

Direktur Kamar Dagang Uni Eropa di Tiongkok yakni Jorg Wuttke menyatakan, dari aspek tertentu Omicron lebih mudah diprediksi daripada pemerintah RRT, suatu lingkungan yang semakin dipolitisasi, membuat orang semakin sulit melihat jelas apa yang hendak dilakukan oleh si pembuat kebijakan.

Menurut para pejabat tinggi, kelompok industri dan tokoh pelobi Barat, dalam menghadapi ketidak-transparanan seperti ini, sikap banyak perusahaan AS dan Eropa semakin waspada terhadap PKT, dan menghindari berinvestasi besar di Tiongkok, lebih cenderung mengambil sikap wait and see.

Sebuah contoh nyata adalah pada pertengahan Oktober tahun lalu, pabrik Foxconn di Zhengzhou selaku pemasok terbesar dari iPhone mengalami ledakan pandemi, sebanyak 200.000 orang pekerja di-lockdown di kawasan pabrik, hal ini memicu banyak buruh unjuk rasa dan melarikan diri, akibatnya produksi iPhone terhambat, ini berarti para pembeli produk kelas atas seperti iPhone 14 Pro dan 14 Pro Max harus menunggu lebih lama.

Xie Tian mengatakan, “Politik Beijing tidak transparan juga tidak stabil, perebutan pengaruh di internal PKT juga muncul banyak variabel, terutama pada pemerintahannya yang diktator totaliter ini, kebijakan partai komunis terus berubah-ubah, hal ini membuat perusahaan bisnis pusing tujuh keliling.

“Pemerintah RRT mendadak lockdown, maka langsung diberlakukan lockdown, seluruh negeri di-lockdown, lalu tiba-tiba dibebaskan, juga tanpa ada persiapan, ini mengakibatkan lebih banyak penularan virus, semua itu sangat berdampak pada perusahaan. Misalnya karena lockdown pesanan untuk perusahaan itu menjadi tidak ada, produksi pun tidak bisa diteruskan. Mendadak lockdown dicabut, mereka pun belum mempersiapkan diri untuk memulai pekerjaan, setelah 1-2 tahun lockdown, semua pesanan sudah tidak ada lagi, sehingga perusahaan hanya bisa gulung tikar. Semua itu membuat orang merasa, Tiongkok bukan lagi tempat yang nyaman untuk berbisnis dan berdagang.”

Menurut Davy, dilihat dari jangka pendek dan menengah, Made in China masih memiliki posisi penting di dunia, hal ini tidak bisa diubah dalam seketika. Tapi semakin banyak industri yang dulunya membanggakan hal tersebut, sedang perlahan-lahan terkikis dan meredup di tengah ketegangan dari hubungan diplomatik dan perdagangan internasional yang sedang terjadi.

“Sikap (daya dukung) PKT terhadap perusahaan produsen modal asing, ‘ulahnya’ terhadap merek internasional (seperti memboikot dan mengusir Lotte asal Korsel dari Tiongkok, dan menuntut produk luar negeri menyatakan sikap politik dan lain sebagainya), menghasut para fans ‘merah muda’ (buzzer pemerintah) melecehkan perusahaan asing dan para penanggung jawabnya atau bintang film, juga mempercepat kemerosotan ini. Tentu, karena masalah persaingan masyarakat internasional, mereka berharap mendapatkan sepotong kue dari hengkangnya perusahaan asing dari Tiongkok, juga menjadi salah satu faktor kuat pendorong semakin memudarnya Made in China.”

Pasca Dicabutnya Nol Covid, Perekonomian RRT Akan Rebound?

Baru-baru ini PKT memutuskan untuk mencabut kebijakan Nol Covid, membuat orang yakin perekonomian Tiongkok akan segera rebound. Seperti The Economist yang telah memprediksi PDB Tiongkok pada 2023 akan naik hingga 5,2%.

Dosen ekonomi dan finansial di Columbia Business School yakni Profesor Wei Shangjin menulis artikel bahwa kembali tumbuhnya perekonomian Tiongkok tidak akan terjadi dengan sendirinya, harus menghadapi beberapa tantangan, termasuk dalam jangka pendek adalah turunnya keyakinan perusahaan dan keluarga terhadap pendapatannya di masa mendatang, dalam jangka menengah adalah kurangnya pertumbuhan daya produksi, dan dalam jangka panjang adalah transformasi struktur populasi yang tidak menguntungkan.

Dewan Bisnis AS-RRT tahun lalu merilis hasil evaluasi perusahaan anggotanya, dari 117 perusahaan, hanya sekitar setengah yang menyatakan merasa optimis terhadap masa depan di Tiongkok, dibandingkan tahun sebelumnya telah turun sekitar 18%, merupakan yang terendah selama 16 tahun terakhir.

Wei Shangjin menuliskan, dilihat secara jangka panjang, tantangan ekonomi terbesar yang dihadapi Tiongkok adalah terus menyusutnya angkatan kerja di negara tersebut. Dibandingkan dengan pesaingnya yakni Vietnam dan India, tenaga kerja usia produktif di Tiongkok selama hampir satu dasawarsa terakhir terus menurun. Walaupun kemampuan produktivitas tidak berubah, perubahan populasi seperti ini juga dapat mengakibatkan turunnya PDB secara terus menerus.

Sejumlah kebijakan, seperti mencari tenaga kerja asing dalam skala besar mungkin efektif, tapi sangat besar kemungkinannya akan menimbulkan kerumitan masalah sosial atau politik. Kebijakan lain seperti menaikkan angka kelahiran, atau menaikkan usia pensiun, atau upaya meningkatkan keterlibatan tenaga kerja wanita, sepertinya tidak begitu menggembirakan.

Davy mengatakan, “Jika hanya melihat dari sisi ekonomi, sekarang sudah terjadi rebound cukup signifikan. Namun, rebound ini adalah berdasarkan lonjakan kegiatan masyarakat setelah dilonggarkannya Nol Covid, dan bukan karena pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan.

“Setelah rebound jangka pendek ini, cepat atau lambat masyarakat akan menyadari kekacauan 3 tahun ini, yang telah menyebabkan banyak perusahaan gulung tikar. Padahal BUMN justru tumbuh pesat, model kegiatan ekonomi telah berubah, terdapat kekhawatiran dan pesimistis terhadap masa depan, membengkaknya kekuasaan publik setelah 3 tahun, kekhawatiran apakah dapat menjalankan pemerintahan dengan rendah hati, 3 tahun juga menyebabkan perubahan pandangan masyarakat internasional terhadap RRT, dan di Tiongkok sendiri hubungan antar manusia juga mengalami perubahan yang sangat besar, semua ini sangat tidak menguntungkan bagi berjalannya roda kehidupan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi di Tiongkok.”

Jadi, setelah rebound, langkah kebangkitan perekonomian Tiongkok masih sangat sulit.”

Setelah dicampakkannya kebijakan Nol Covid apakah dapat membawa perusahaan asing kembali ke Tiongkok, Xie Tian menjawab, “Tidak semudah itu, karena beralihnya rantai industri ini, pada dasarnya seluruh pabrik telah ditutup, selain itu di Vietnam, Indonesia, India telah dibangun pabrik baru, sekarang pabrik-pabrik di sana telah mulai beroperasi, didukung lingkungan politik dan ekonomi yang sangat stabil, perusahaan-perusahaan itu tidak akan semudah itu memindahkannya kembali ke Tiongkok. Jadi kebijakan Nol Covid PKT sekarang memang sudah dicabut, tapi faktanya pesanan-pesanan itu sudah tidak bisa diambil kembali, karena pabrik-pabrik itu sudah lama hengkang, dan permainan sudah berakhir.

“Apalagi semua orang merasa muak atas arogansi Beijing dalam memberlakukan lockdown lalu mencabut lockdown seenaknya sendiri, dengan kata lain sama sekali tidak memiliki dasar aspirasi rakyat, dan merupakan keputusan sepihak pemerintah tanpa pertimbangan yang matang. Saya merasa ini adalah suatu pelajaran yang sangat berharga, perusahaan-perusahaan asing itu sudah pernah terkecoh satu kali oleh PKT, mereka tidak akan terkecoh untuk kedua kalinya.”

“Kondisi ekonomi Tiongkok tahun ini, menurut saya kesulitan ini masih akan terus berlanjut, merosotnya ekonomi Tiongkok masih akan terus berlanjut. Gagal bayar sektor properti, kredit macet perbankan, kolaps, semua itu masih akan berlanjut, pasar ekspor impor Tiongkok juga masih terus memburuk, pengangguran di Tiongkok masih sangat serius. 

Faktanya perekonomian dunia juga akan melambat, kecepatan pertumbuhan ekonomi di Tiongkok, sepertinya akan tertinggal dibandingkan dengan India, juga akan sangat ketinggalan dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara,”pungkas DR Xie Tian. (sud)