Kasus Hu Xinyu, Fokusnya Bukan Pada Menghilangnya Hu

Shi Shan

Macan pergi kelinci datang, tahun baru Imlek baru saja berlalu, PKT (Partai Komunis Tiongkok) telah menghadapi dua peristiwa ekstrem serius lagi. Bisa dikatakan tahun baru ini diawali dengan kesialan besar bagi Beijing. Pertama adalah AS (Amerika Serikat) bersiap perang, dan mempercepat persiapannya menghadapi serangan RRT (Republik Rakyat Tiongkok) terhadap Taiwan; dan yang kedua adalah, kasus hilangnya seorang remaja bernama Hu Xinyu asal kabupaten Yanshan Provinsi Jiangxi. Kedua peristiwa ini, satu di luar negeri, satu di dalam negeri, keduanya membuat Beijing sangat canggung dan tegang.

Seorang remaja berusia 15 tahun bernama Hu Xinyu asal Kota Shangrao Kabupaten Yanshan Provinsi Jiangxi, adalah seorang pelajar yang duduk di bangku sekolah menengah swasta setempat yakni SMA Zhiyuan. Pada 14 Oktober tahun lalu, Hu Xinyu menghilang di sekolahnya dan kehilangan kontak dengan keluarga. Polisi setempat melakukan investigasi namun tidak membuahkan hasil, disebutkan telah dikerahkan ribuan personil untuk mencarinya di wilayah sekitar, namun tidak bisa menemukan korban. Akhir November lalu, polisi dari Provinsi Jiangxi, Kota Shangrao dan Kabupaten Yanshan membentuk tim gabungan khusus, dan terus mendalami kasus ini. Pada 28 Januari 2023, setelah 106 hari investigasi, polisi setempat memperoleh laporan dari warga setempat yang telah menemukan jasad Hu Xinyu tergantung di Hutan Jinjishan di dekat sekolahnya, penyebab kematiannya tidak diketahui.

Proses investigasi hilangnya Hu Xinyu, hingga akhirnya ditemukan jasad dan kondisi jasad korban, disinyalir “banyak kecurigaan yang belum terungkap”, sehingga menarik perhatian publik seantero negeri. Perlu diketahui, lebih dari satu milyar unit CCTV pengawas yang dibangun dan dibangga-banggakan oleh PKT yang disebut sistem “Mata Langit” dan “Sistem Jejaring Langit”, yang dikatakan dapat mengawasi semua gerak gerik setiap warganya, ternyata tidak mampu mencari tahu keberadaan seorang pemuda yang hilang. Keterangan dari polisi dan pihak sekolah yang menangani kasus ini, beserta kesaksian dari berbagai pihak yang saling kontradiktif, juga menyulut opini ketidakpuasan dan kecurigaan dari masyarakat luas.

Dikatakan seluruh negeri menyoroti kasus ini, bukan sekedar kiasan belaka. Di microblog Tiongkok, berbagai berita dan analisa terkait kasus Hu Xinyu telah menarik hingga mencapai ratusan juta komentar, beberapa hari berturut-turut kasus ini selalu bertengger di posisi puncak pembahasan paling hangat di microblog. Situs people.cn juga menerbitkan komentar, menilai investigasi kasus ini harus dilanjutkan, untuk menjawab kecurigaan masyarakat. Pada 2 Februari lalu, kepolisian Provinsi Jiangxi, Kota Shangrao, dan Kabupaten Yanshan, mengadakan konferensi pers bersama, yang khusus menjelaskan kondisi investigasi atas kasus ini. Stasiun TV pusat CCTV juga melakukan siaran langsung. Menurut siaran pers dari pihak kepolisian Jiangxi menyatakan tidak ada yang perlu dicurigai, disebutkan Hu Xinyu bunuh diri, dan tidak ditemukan keanehan pada jasad korban, ada pena perekam suara serta pesan yang terkait dengan bunuh diri, serta tidak ada tanda-tanda rekayasa. 

Tetapi stasiun CCTV menyiarkan sebuah kasus warga hilang secara langsung, adalah hal yang tak pernah terjadi sebelumnya. Tahun lalu di Tiongkok juga terjadi sejumlah kasus besar, seperti kasus Wanita Dipasung di Kota Xuzhou, kasus Penganiayaan Brutal di rumah makan Barbeque di Kota Tangshan, juga mengundang reaksi dan opini yang sangat ramai dibahas, jangankan menyiarkan secara langsung, sedikit berita tambahan pun tidak disiarkan oleh CCTV.

Ulasan kali ini terutama tidak membahas kasus Hu Xinyu ini secara khusus. Kita akan membahas masalah lain yakni: kasus hilangnya seorang remaja, mengapa dapat mengundang sorotan dari seluruh masyarakat Tiongkok? Apa yang disoroti oleh warga Tiongkok? Hal apakah yang telah menyulut tsunami opini terhadap kasus kali ini? 

Kasus Hu Xinyu, yang paling diperhatikan oleh seluruh warga tidak hanya kasus menghilangnya korban, yang lebih utama lagi adanya sistem kejahatan raksasa di baliknya yang merampas organ tubuh dalam keadaan hidup-hidup. Kejahatan dari sistem ini, bisa dipastikan adalah sebuah sumur tanpa dasar yang begitu gelap, yang cukup mampu untuk menelan bulat-bulat PKT secara utuh.

Kasus warga yang hilang di Tiongkok, menurut laporan riset tahun lalu disebutkan, sekarang sudah jauh berkurang, setiap tahun sekitar 1 juta orang dinyatakan hilang. Departemen Keamanan Publik menyatakan ini adalah “warga yang hilang karena tersesat atau minggat”, bukan “warga yang menghilang”, karena untuk warga yang menghilang polisi harus mengajukan kasus, sedangkan warga yang tersesat atau minggat bukan merupakan istilah hukum. 

Terkait masalah penduduk Tiongkok yang hilang, dulu yang disoroti oleh masyarakat adalah persoalan anak yang hilang, kemudian menyoroti masalah wanita yang hilang, dan sekarang yang disoroti adalah soal pemuda yang hilang.

Masalah anak-anak yang hilang di Tiongkok sangat serius, ini terkait erat dengan program kelahiran terbatas yang diterapkan di RRT, mayoritas wanita yang hilang karena dijual ke desa terpencil untuk dijadikan istri, ini sangat berkaitan erat dengan masalah ketidak-seimbangan rasio penduduk pria dan wanita di RRT, juga erat kaitannya dengan kesenjangan kaya miskin antara kota dengan desa, antara dataran dengan kawasan pegunungan. Sedangkan hilangnya pemuda, terkait dengan kejahatan perampasan organ tubuh manusia dalam keadaan hidup.

Jika dibandingkan, perampasan organ tubuh dapat memperoleh keuntungan jauh lebih besar dibandingkan dengan penjualan wanita ataupun anak-anak. Sebuah ginjal biasa, dapat dijual hingga RMB 300.000 Yuan (666 juta rupiah, kurs per 06/02) di rumah sakit di RRT, dan jika ditambahkan dengan jantung, paru-paru, liver atau organ lainnya, seorang pemuda yang sehat dapat dijual dengan harga tinggi hampir satu juta dolar AS (15 miliar rupiah).

Di Kota Wuhan Provinsi Hubei, sejak 2014 setiap tahun selalu ada mahasiswa yang menghilang tanpa sebab terutama mahasiswa yang berjenis kelamin lelaki. Dua tahun lalu The Epoch Times pernah memberitakan, mahasiswa yang menghilang disana pernah dicari orang tuanya, polisi tidak mengajukan kasus, pemerintah setempat sama sekali tidak kooperatif untuk mencarinya, sehingga keluarganya hanya bisa mencari dengan caranya sendiri. Menurut data yang diungkap oleh para orang tua mahasiswa itu, di Kota Wuhan telah terjadi sekitar 600 orang pemuda yang menghilang secara misterius, mayoritasnya adalah laki-laki, dan kebanyakan adalah mahasiswa.

Wuhan, adalah kota penting transplantasi organ di Tiongkok.

Seorang mantan peneliti dari Transition Institute Beijing yang bernama Yang Zili pernah melakukan investigasi di Wuhan, tapi sempat ditangkap polisi. Ia mengatakan kepada The Epoch Times, setiap tahun kasus pemuda yang hilang di Wuhan diduga mencapai ribuan orang, dan di beberapa kota besar, hilangnya para pemuda juga relatif serius, di Beijing dan Shanghai bahkan lebih parah lagi. Ia juga menilai, sistem pengawasan “Mata Langit” dan “Sistem Jejaring Langit” yang dibangun oleh PKT, bisa dikatakan memiliki cakupan sangat luas, tapi tidak mampu mencari orang yang hilang, hal ini sungguh sangat mencurigakan.

Dari ratusan orang pemuda yang hilang di Wuhan, hanya ada 3 orang yang kemudian ditemukan jasadnya di Sungai Yangtze, selebihnya sama sekali lenyap tanpa jejak.

Ada pakar memberitahu saya, pemuda khususnya laki-laki, organ tubuhnya “berkualitas terbaik”, sudah tumbuh sempurna, berfungsi sangat baik. Bagi transplantasi organ, jika usia terlalu muda organ tubuh belum cukup sempurna, jika terlalu tua maka sudah “terlalu tergerus”, dan mungkin mengidap berbagai penyakit.

Belasan tahun lalu, The Epoch Times telah memberitakan kejahatan PKT yang merampas organ tubuh dalam kondisi hidup. Rumah sakit militer dan rumah sakit polisi bersenjata RRT, memanfaatkan para narapidana untuk dirampas organ tubuhnya dalam kondisi hidup, dan dimulailah industri “transplantasi organ” yang membuat bulu kuduk merinding, dan telah meraup keuntungan besar. Kali ini tidak membahas detail terkait, pembaca bisa mencari berita terkaitnya sendiri. Dua tahun lalu di London, Inggris, telah khusus dibentuk sebuah pengadilan Tiongkok (China Tribunal, red.), setelah dilakukan investigasi berbulan-bulan lamanya, Tribunal memutuskan dan menetapkan tuduhan “perampasan organ hidup-hidup” terhadap PKT, selain itu dipastikan kejahatan itu masih berlanjut hingga kini, dan praktisi Falun Gong adalah sumber utama pasokan organ tubuh bagi PKT.

Industri kejahatan berupa “perampasan organ” ini, di baliknya didukung oleh sistem pemerintahan Beijing ini, dulunya organ didapatkan dari para tahanan hati nurani di penjara, dan sekarang telah mengincar orang lain, khususnya kelompok pemuda yang “kualitas organ tubuhnya” masih paling unggul. Banyak elite penguasa PKT, demi memperpanjang usianya, mulai penggantian organ tubuhnya. Beijing sendiri juga mempromosikan bisnis ini ke seluruh dunia, di satu sisi menarik banyak orang kaya dari seluruh dunia untuk melakukan transplantasi organ di RRT, di sisi lain juga mempromosikan industri ini di luar negeri. Contohnya, seiring dengan program “One Belt One Road”, industri organ tubuh ini juga dibawa sampai ke Kamboja dan Laos yang belakangan ini marak dengan penculikan demi dirampas organnya.

Pada pandemi kali ini, Beijing bersikeras menerapkan kebijakan Nol Covid secara ketat, sejumlah pakar juga telah membuat penjelasan versi lain terkait hal ini. Mereka menjelaskan, setelah organ tubuh dicangkok, si pasien harus disuntik dengan obat-obatan anti penolakan untuk jangka waktu panjang, yang fungsinya menurunkan sistem imun tubuh agar tidak terjadi penolakan terhadap organ tubuh yang baru dicangkokkan itu. Efek dari obat anti penolakan itu adalah menurunkan imun tubuh, dan orang yang kehilangan antibodi, tidak akan mampu bertahan hidup di tengah lingkungan yang penuh virus. Dulu PKT mempunyai sebuah “proyek kesehatan pemimpin negara 981”, dengan berbagai cara, termasuk juga transplantasi organ tubuh, mereka bertujuan memperpanjang usia para pemimpin hingga mencapai 150 tahun. Dengan begitu orang-orang ini adalah orang yang paling rentan dalam menghadapi lingkungan virus. Pakar menilai, ini mungkin alasan yang sebenarnya Beijing bersikeras menerapkan kebijakan “Nol Covid”.

Kasus Hu Xinyu ini, titik berat terpentingnya bukan pada kasus menghilangnya Hu, melainkan mekanisme kejahatan raksasa yang ada di baliknya. Oleh sebab itu sang penguasa sangat ketakutan, kesimpulan yang dipublikasikan Kepolisian Jiangxi sudah bisa ditebak, tetapi aspirasi warga yang ibarat gelombang tsunami itu tidak akan berhenti karenanya.

Pertama, kasus Hu Xinyu disoroti dengan skala tinggi, menandakan rahasia Beijing melakukan perampasan organ tubuh telah diketahui secara luas di Tiongkok; kedua, jika kasus ini terungkap tuntas, pasti akan berakibat meruntuhkan seluruh rezim PKT.

Sekarang sejumlah transplantasi organ tubuh ilegal di Daratan Tiongkok, juga berkaitan dengan masalah perampasan organ tubuh, tapi kejahatan itu tidak mungkin diakibatkan oleh kalangan masyarakat bawah, tidak mungkin merupakan aksi mafia atau kelompok preman, melainkan merupakan aksi kaum intelek dengan pengetahuan medis tingkat tinggi yang melakukan pembunuhan untuk mendapatkan keuntungan, mereka juga pasti didukung atau diizinkan oleh rezim penguasa berikut sistem hukumnya.

Awal tahun lalu, di Tiongkok juga ada satu peristiwa yang menyulut tsunami opini, yakni kasus wanita Xuzhou yang dirantai. Juga terkait dengan warga yang menghilang, kasus itu adalah kasus penjualan wanita, akhirnya pemerintah berusaha menjaga stabilitas dengan cara pemerintah dari tiga tingkatan yakni Provinsi Jiangsu, Kota Xuzhou, dan Kabupaten Fengxian untuk menekan kejadian ini dengan berturut-turut mengeluarkan pengumuman. Kasus Hu Xinyu pada Januari 2023 ini, Provinsi Jiangxi, Kota Shangrao, Kabupaten Yanshan juga terus menerus berusaha memberikan penjelasan, dengan harapan masalah ini dapat ditekan.

Bagi Beijing, ini bukan pertanda baik. begitu menginjak tahun yang baru sudah mengalami banyak masalah, dan bahkan lebih parah daripada tahun lalu, tahun lalu hanya muncul masalah penculikan dan penjualan wanita, tahun ini sudah langsung menimbulkan korban jiwa. Namun faktanya, di tahun baru ini PKT juga mengalami peristiwa buruk/parah lainnya.

Perintah “Siap Tempur” Komandan Komando Mobilitas Udara AS

Minggu lalu, media massa AS memberitakan bahwa Komandan AMC (Komando Mobilitas Udara) Laksamana Mike Minihan mengeluarkan sebuah MoU internal, yang menyatakan karena Taiwan dan AS akan mengadakan pilpres pada 2024, situasi dalam negeri kedua negara mungkin akan mengalami pergolakan, oleh karena itu ia “memprediksi” kepala negara RRT Xi Jinping akan mengambil kesempatan menyerang, dan mengobarkan perang antara AS dengan RRT pada 2025. Ia berkata, “Semoga saya salah, tapi naluri saya mengatakan, kita akan bertempur pada 2025”.

Minihan mengepalai Komando Mobilitas Udara (AMC), terutama adalah bertanggung jawab atas urusan logistik Angkatan Udara, jika meletus perang, berbagai amunisi, bahan bakar dan segala sesuatunya menjadi tanggung jawabnya. Kementerian Pertahanan AS membenarkan, komandan tersebut memang benar-benar telah mengeluarkan MoU itu.

Sejujurnya, penulis belum pernah menjumpai situasi seperti ini. Para jenderal AS biasanya akan menyebutkan adanya ancaman, akan mengatakan ada dampak, akan mengatakan perbandingan kekuatan tempur, akan mengatakan melakukan persiapan dengan baik, tetapi tidak akan langsung memberikan perintah “siap tempur”, apalagi disertai dengan berbagai perintah operasional secara rinci.

Di sisi lain, pada Januari tahun ini, PM Jepang Fumio Kishida berkunjung ke AS, menekankan jaminan keamanan Jepang dan Amerika, langsung memposisikan meningkatnya ancaman Beijing terhadap Taiwan sebagai ancaman terbesar bagi perdamaian di kawasan Indo-Pasifik. Beberapa tahun mendatang Jepang akan menaikkan anggaran belanja militer, membuat senjata jarak jauh, untuk menghadapi ancaman militer RRT.

Bagi PKT, situasi seperti ini tidak pernah dialaminya sejak 1972, sangat parah. Walaupun dalam hal diplomatik Beijing terus bersikap melunak, tapi faktanya persiapan militernya sedang dipercepat. Dilihat dari sudut pandang PKT, invasi Taiwan secara militer masih memungkinkan, dengan prasyarat AS, Jepang dan negara Barat lainnya tidak melakukan intervensi, jadi mereka harus memanfaatkan jeda waktu, dan merampungkan misinya pada saat masyarakat internasional tidak sempat bereaksi. Oleh sebab itu, persiapan perang AS dipercepat, bagi Beijing ini bukan berita baik. Masalahnya adalah, tekanan dari luar semacam ini, besar kemungkinan akan terefleksi pada konflik kekuasaan internal PKT, yang dapat membuat tekanan internal juga semakin menguat.

Mengawali tahun baru ini, dua peristiwa besar telah membuat Beijing sesak nafas, tahun kelinci ini jelas tidak akan mudah bagi PKT. (sud/whs)