EKSKLUSIF: Dokumen Internal Menunjukkan Jumlah Kematian Meningkat Hampir 6 Kali Lipat di Kota Tiongkok Ketika Dikepung Gelombang COVID

Eva Fu

Di jalan menuju krematorium di kota Nanjing, Tiongkok selatan, di mana asap hitam pekat membumbung tinggi ke angkasa, antrean mobil begitu panjang sehingga tak jelas ujungnya.

Di pinggir jalan, seorang wanita mengenakan pakaian putih berkabung dengan wajah yang tertunduk di tangannya, tangisannya sungguh menyayat hati.

“Ini tahun baru,” katanya dalam rekaman video yang pertama kali beredar di media sosial Tiongkok pada awal Januari. “[Tapi] semua jenis mobil datang untuk mengambil jenazah.”

Karena antrian yang panjang, jenazah-jenazah tersebut sering tinggal di dalam mobil hingga dua hari, katanya.

Realitas kondisi keras di bawah tsunami COVID-19 di Tiongkok yang disinggung oleh wanita tersebut selaras dengan data dokumen internal dari pihak berwenang Tiongkok yang diperoleh The Epoch Times dari berbagai penjuru negeri itu dalam beberapa pekan terakhir. Rincian ini, bersama dengan wawancara dengan penduduk setempat, memberikan gambaran kelam tentang jumlah korban virus yang sangat kontras dengan nada positif yang digambarkan oleh pihak berwenang.

Analisis terhadap lusinan berkas data kremasi harian dari Nanjing, ibu kota Provinsi Jiangsu di Tiongkok timur dan rumah bagi sekitar 9,3 juta jiwa, menunjukkan bahwa angka kematian di kota tersebut melonjak pada akhir Desember 2022, meningkat menjadi 761 kematian per hari pada awal Januari-hampir enam kali lipat dari rata-rata kematian harian di kota tersebut selama lima bulan pertama tahun 2022.

Beban kerja di tujuh krematorium yang beroperasi di kota itu menunjukkan tren yang sama. Dari 29 Desember hingga 18 Januari, periode terakhir di mana data Kantor Manajemen Pemakaman Nanjing tersedia, jumlah jenazah yang diproses berkisar antara sekitar 300 hingga 774 jenazah per hari, hingga enam kali lipat dari sekitar 130 jenazah yang diproses per hari pada periode yang sama tahun lalu.

Data tersebut menunjukkan bahwa kota tersebut mengalami total 8.233 kematian dari 18 Desember hingga 2 Januari, sekitar empat kali lipat dari rata-rata jumlah kematian selama 15 hari yaitu 2.100 kematian sebelum gelombang COVID-19 terbaru.

Dokumen resmi tersebut sangat menekankan kerahasiaan. Meskipun data kremasi dilaporkan setiap hari kepada otoritas tingkat kota, data tersebut tampaknya terlarang untuk dipublikasikan kepada publik.

“Laporkan informasi, data, dan grafik yang relevan melalui email, jangan mendiskusikannya di QQ dan WeChat,” demikian bunyi dokumen pada 11 Januari yang meringkas “situasi layanan kremasi di kota-kota utama.” Baik QQ maupun WeChat adalah saluran media sosial yang dominan di Tiongkok di bawah merek Tencent yang berbasis di Shenzhen.

“Tingkatkan edukasi tentang pekerjaan menjaga rahasia. Perkuat edukasi penjagaan rahasia dan keselamatan pekerja industri kremasi. Jangan sembarangan merilis data dan informasi terkait kremasi,” kata dokumen tersebut.

Dokumen yang sama menunjukkan bahwa sebuah panel khusus yang diketuai oleh direktur Biro Urusan Sipil Nanjing telah dibentuk untuk mengawasi penanganan jenazah dan  setiap penyedia kremasi di kota itu bekerja 24 jam sehari.

Dalam rentang waktu kurang dari dua minggu sejak 22 Desember 2022, empat rumah duka meningkatkan kapasitas mereka dengan membeli lemari pendingin kamar mayat atau meminta lebih banyak tenaga kerja, kata dokumen tersebut. Pembelian terbesar berasal dari Rumah Duka Lishui, yang membeli 120 lemari pendingin. Rumah Duka Nanjing membeli 16 mobil jenazah dan mempekerjakan 38 pengemudi.

Jumlah total staf tambahan untuk layanan pemakaman adalah 389 orang pada 11 Januari, setelah 105 orang ditambahkan delapan hari sebelumnya.

Penyebab Kematian

Meskipun terjadi lonjakan kematian secara signifikan, hanya sedikit dari mereka yang dikremasi yang ditandai sebagai orang yang meninggal karena COVID-19. Dari 11 November hingga 17 Desember 2022, kota itu mengkremasi total 4.300 jenazah – naik sepertiga dari 3.070 jenazah dalam tiga tahun terakhir untuk periode yang sama dari 2019 hingga 2021, demikian ungkap dokumen tersebut.

Hanya 20 dari kematian tersebut yang ditandai sebagai kematian akibat COVID-19. Data dari masing-masing rumah duka dari periode tersebut lebih lanjut menunjukkan bahwa semuanya, kecuali satu, menandai jenazah yang mereka tangani sebagai kematian biasa.

Praktik seperti itu sejalan dengan kebijakan Beijing yang kerap dikritik bahwa kematian dapat dikaitkan dengan COVID-19 hanya jika diakibatkan langsung oleh kegagalan pernafasan atau pneumonia akibat virus SARS-CoV-2. Selain itu, para dokter  mengatakan bahwa mereka  diperintahkan untuk tidak mencantumkan COVID-19 sebagai penyebab kematian pada sertifikat kematian.

Hingga saat ini, Beijing hanya mencatat kurang dari 80.000 kematian akibat COVID-19 di rumah sakit. Namun para ahli mengatakan angka tersebut jauh di bawah jumlah kematian yang sebenarnya, menunjukkan praktik rezim dalam menyembunyikan informasi negatif dan laporan yang meluas tentang krematorium serta rumah sakit yang kewalahan.

Seorang warga Nanjing bermarga Zhang, yang nama lengkapnya dirahasiakan demi keselamatannya, mengatakan bahwa lebih dari 20 lansia meninggal dunia di lingkungan tempat tinggalnya.

Tetangganya melihat ada sofa dan kursi kosong di pintu masuk kompleks tempat para lansia biasa berjemur.

“Mereka semua sudah tidak ada,” kata Zhang.

Seorang temannya dari kota besar utara Tianjin baru-baru ini kehilangan saudara laki-lakinya yang berusia sekitar 66 tahun. Jenazah pria itu disimpan di lemari pendingin kamar mayat selama berhari-hari sampai keluarganya menyogok staf krematorium setempat dengan hadiah agar mereka mau mengambil jenazahnya.

Warga setempat lainnya, seorang wanita bermarga Su, memiliki seorang kerabat di Beijing yang berhasil melewati antrean selama lebih dari dua bulan di rumah duka dengan cara “menyogok” agar orangtuanya dikremasi. Namun, mereka tetap harus menunggu berhari-hari.

” Tak perlu diragukan lagi bahwa banyak orang tua yang meninggal dunia. Ini adalah fakta,” kata Su kepada Epoch Times yang menolak menyebutkan nama lengkapnya karena takut akan mendapat pembalasan dari aparat. 

“Tetapi mengenai situasi COVID yang sebenarnya, kami tidak tahu – tidak ada data atau informasi publik. Semuanya tersembunyi dari pandangan kami.”

Song Tang dan Yi Ru berkontribusi dalam laporan ini.