Perang Rusia-Ukraina Bentuk Ulang Aliansi Dunia

Beijing Terjebak Dalam Posisi Tidak Menguntungkan

oleh Zhang Ting

Sudah hampir genap setahun Perang Rusia-Ukraina. Berkat dipersenjatai oleh Barat, Pasukan Ukraina telah menimbulkan hambatan yang sangat besar bagi pasukan Rusia untuk menjangkau sasarannya. Walaupun perang belum membuahkan hasil, tapi dampak diplomatik yang ditimbulkannya telah terlihat pada ruang lingkup global. Perang ini membuat negara-negara Barat menjadi semakin kompak bersatu, dan sekaligus memperingatkan PKT yang berpotensi akan mengobarkan perang di Selat Taiwan.

Kantor berita Associated Press mengatakan, Perang Rusia-Ukraina telah membentuk kembali aliansi global, membangkitkan kembali kekhawatiran lama, serta menyuntikkan vitalitas baru bagi kekompakan antara Eropa dengan Amerika Serikat dan NATO.

Walaupun perang kali ini telah mendekatkan jarak antara para rezim diktator Rusia dengan PKT, Iran, dan Korea Utara; memicu isu yang luas dari kalangan luar terkait kedaulatan, keamanan, dan penggunaan kekuatan militer, tapi juga telah meningkatkan kewaspadaan internasional terhadap kemungkinan RRT menyerang Taiwan, serta membuat lebih banyak negara mendekat pada Amerika Serikat.

Perang Rusia Ukraina Membuat Sekutu AS Waspadai Perang Selat Taiwan

Kantor berita Associated Press mengutip pernyataan Wakil Direktur German Marshall Fund yakni Ian Lesser bahwa perang ini telah menekankan hubungan interaksi antara diplomatik dan penggunaan kekuatan militer.

Presiden Rusia Putin mengklaim, Ukraina adalah “bagian yang tak terpisahkan” dari sejarah Rusia, dan belum pernah “benar-benar mendapatkan status sebagai negara”. Sikap ini saling bergema dengan sikap Xi Jinping terhadap Taiwan bahwa: Taiwan adalah sebuah pulau otonomi, dan Beijing menyatakan berdaulat atas Taiwan.

Enam bulan setelah Rusia menginvasi Ukraina, Beijing telah memublikasikan Buku Putih Taiwan, yang mengklaim bahwa “sejak dulu kala Taiwan adalah bagian dari wilayah kedaulatan Tiongkok”. Dokumen itu juga menekankan, Beijing mutlak tak akan “mengabaikan opsi menyatukan Taiwan dengan kekuatan militer”.

Selama ini Jepang selalu mengkhawatirkan Perang Rusia-Ukraina akan mendorong PKT mengobarkan perang di Selat Taiwan. Karena bila perang meletus, dengan letak geografis Jepang, keamanannya akan sangat terancam. PM Jepang Fumio Kishida dalam pidatonya pada Januari lalu di Johns Hopkins University mengatakan, ketika Rusia menginvasi Ukraina pada 24 Februari tahun lalu, hal itu “menandakan telah berakhirnya dunia pasca Perang Dingin”.

Ia juga mengatakan, jika Rusia dibiarkan meraih keberhasilan dalam Perang Ukraina, maka rezim diktator seperti RRT juga akan berani bertindak lebih jauh, karena pandangan mereka yang selalu bertentangan dengan ketertiban internasional dan “berbeda dengan kami, selamanya kami tidak bisa menerimanya”.

Hal ini sebaliknya menekankan arti penting untuk menahan Rusia. Kishida berjanji akan memanfaatkan kesempatan Jepang sebagai tuan rumah G7 tahun ini, untuk mempererat “kekompakan negara yang senasib”, dalam rangka menentang invasi Rusia.

“Jika kita membiarkan tindakan dengan kekuatan militer sepihak semacam ini tidak tertantang, maka ia akan terjadi lagi di tempat lain di dunia ini, termasuk di Asia”, tandasnya.

NATO Tingkatkan Kewaspadaan Terhadap PKT

Perang Rusia-Ukraina juga membuat NATO meningkatkan kewaspadaan terhadap PKT. NATO dan AS telah memperingatkan, PKT memandang hasil Perang Rusia-Ukraina ini sebagai salah satu faktor pertimbangan dalam mengobarkan perang Selat Taiwan.

Sekjen NATO Jens Stoltenberg dalam Konferensi Keamanan Munich (Munich Security Conference) pada Sabtu (18/2) lalu memperingatkan para peserta konferensi, “Kita juga mengetahui, Beijing sedang menyoroti terus, mengamati harga yang dibayar atau imbalan yang diperoleh Rusia dalam aksi invasinya ini.”

“Hal yang terjadi di Eropa hari ini mungkin akan terjadi besok di Asia.” Ia mengatakan, “Amerika Utara dan Eropa harus bersatu.” Ia bersamaan itu juga menyerukan negara peserta agar menyerap pelajaran akibat ketergantungan pada Rusia, untuk mengurangi ketergantungan ekonomi pada RRT. 

Juru bicara Kemenlu RRT Wang Wenbin mengecam NATO telah “membesar-besarkan ancaman, dan memotivasi konfrontasi”.

Pakar wadah pemikir dari International Institute for Strategic Studies (IISS) di Singapura yakni Euan Graham berkata, invasi RRT terhadap Taiwan akan lebih rumit daripada serangan Rusia terhadap Ukraina. “Performa Rusia yang lemah di medan perang Ukraina, mau tidak mau telah membuat semua pemimpin politik maupun militer Beijing menunda menempuh risiko berskala lebih besar terhadap Taiwan”, kata Graham. Namun kekhawatiran semacam ini benar adanya. Presiden Taiwan Tsai Ing-Wen pada Desember tahun lalu telah mengumumkan diperpanjangnya masa wajib militer di Taiwan, dan mengebutkan soal perang Ukraina.

Graham berkata, “Taiwan telah menyerap hikmah dari Ukraina, jika terjadi konflik, Anda membutuhkan lebih banyak perlengkapan militer.”

Pasca Perang Rusia Ukraina Makin Banyak Negara Merapat Pada AS

Walaupun aliansi negara Barat telah menjalin kerjasama erat dalam menghadapi perang, tapi masih harus meyakinkan lebih banyak negara di dunia untuk menyadari pentingnya tindakan antisipasi invasi. India masih terus membeli minyak bumi dari Rusia, tetapi pakar IISS di London yakni Viraj Solanki mengatakan, seiring dengan merapatnya pesaing regional RRT dengan Rusia, India diam-diam telah merapat ke AS, yang terutama di dalam kerangka QUAD (Dialog Keamanan Kuadrilateral). Negara anggota QUAD adalah AS, Jepang, Australia, dan India.

Perang Rusia-Ukraina telah membuat Eropa dan Amerika lebih bersatu dibandingkan sebelumnya. Negara anggota NATO dan sekutunya beramai-ramai mendukung Ukraina, sejumlah negara di antaranya bahkan telah mengubah kebijakan melarang penjualan senjata kepada negara konflik. Khususnya setelah AS setuju untuk memberikan tank tempur utama jenis M1 Abrams kepada Ukraina, negara besar Eropa yakni Jerman telah melepaskan diri dari pantangan pasca PD-II, dengan memberikan tank Leopard buatan Jerman kepada Ukraina.

Perang Rusia-Ukraina juga menekankan pentingnya hubungan AS dengan Eropa. Wakil Direktur German Marshall Foundation Lesser mengatakan, ini adalah “kunci mutlak” untuk memberlakukan sanksi dan pembatasan ekspor terhadap Rusia.

Setelah Perang Rusia-Ukraina berkobar, AS dan Eropa bersatu mencekal Rusia, kecepatan dan kekuatannya telah jauh melampaui prakiraan semua orang. Surat kabar Wall Street Journal memberitakan, Direktur Carnegie Europe yakni Rosa Balfour menilai, tindakan responsif terhadap Perang Rusia-Ukraina “ibarat orkestra yang rumit, tapi dia dikomando oleh Washington”.

Filipina juga berinisiatif merapat pada AS. Pada 2 Februari lalu Menhan AS Lloyd Austin menemui Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr. dan Menhan Filipina Carlito Galvez Jr. Usai pertemuan disampaikan pernyataan bersama yang memublikasikan, Militer AS dapat menggunakan Pangkalan Militer Filipina dari yang saat ini hanya 5 bertambah menjadi 9.

Lokasi penting ini akan menjadi sebuah benteng perbatasan, untuk mengawasi gerak gerik PKT di Laut Tiongkok Selatan dan sekitar Selat Taiwan. Lewat kesepakatan ini, Washington telah menambal kekosongan rantai pulau Pasifik dari Korea Selatan, Jepang, sampai Australia. (Sud/Whs)