Inspirasi Shen Yun : Melindungi Jiwa Melebihi Harga Diri

Iswahyudi

Seorang ksatria mumpuni dan bersenjata pusaka, dihadang beberapa berandal. Mereka memberikan tantangan dilema kepada ksatria tersebut.  Sang ksatria diberi dua pilihan sulit oleh para brandal. Memenggal  leher mereka atau merangkak di bawah selangkangan.

Jika Anda di posisi ksatria tersebut sikap mana yang Anda pilih? Mungkin kebanyakan orang akan memilih memenggal leher para berandal itu. Alasannya mungkin bisa jadi sangat masuk akal, seperti Pertama, Sang Ksatria mempunyai kemampuan untuk melakukan itu. Pendekar dengan kungfu tinggi ditambah lagi membawa pedang pusaka warisan leluhur. Apa susahnya melakukan itu? Kedua, Para berandal adalah sampah masyarakat, manusia tak berguna yang sering membuat keonaran. 

Itulah kisah legenda kuno tentang Han Xin Yang Agung, yang dihidupkan kembali dalam sebuah mini opera berjudul Early Shen Yun Pieces: The Great Han Xin (2010 Production) berdurasi 6:47 menit di Shen Yun Creations.  Kisah ini sangat menarik diungkap untuk mengaktualisasikan kebijaksanaan tradisional kuno terutama tentang karakter yang harus dimiliki oleh para pemimpin, elite politik, para jenderal ketika dihadapkan pada pilihan-pilihan yang sulit dan dilematik. Salah satu kualitas seorang pemimpin bisa dilihat dalam momen-momen ketika ia membuat keputusan yang pelik. Kisah ini membuat sudut pandang baru yang tak terduga. Bagaimana detail kisahnya? 

Ketika layar terbuka, lima orang sedang berlatih kungfu. Salah satunya pemuda yang berbaju sutra putih dan biru. Itu gambaran sosok Han Xin. Seorang ksatria dengan kemampuan bela diri (Kung Fu) di atas rata-rata yang mampu bertarung dan mengalahkan beberapa orang sekaligus. Selain itu ia mewarisi pedang pusaka leluhur yang harus ia jaga, dan dipergunakan pada saat yang tepat. 

Sepulang dari latihan ia dihadang beberapa berandal desa. Mereka merundung Han Xin dan mengejeknya. Untuk apa mahir Kung Fu dan menyandang pedang pusaka kalau tak berani membunuh orang? Para berandal memberinya pilihan: potong leher kami atau merangkak di bawah selangkangan! Han Xin mengalami dilema etik. Jika ia memenggal leher mereka, ia harus membayar dengan lehernya sendiri sebagai hukumannya. Tapi kalau ia merangkak di bawah selangkangan berandal, ia harus mengorbankan harga dirinya sebagai seorang pendekar pilih tanding. 

Apa yang dilakukan Han Xin ternyata di luar mainstream pemikiran orang kebanyakan. Han Xin memilih merangkak di bawah selangkangan dan tentunya pilihan ini mengembirakan para berandal yang ingin merendahkan martabatnya. Sementara Han Xin, berhasil mengalahkan dirinya sendiri terutama egonya, dan karakternya semakin meninggi seiring ia merunduk di bawah selangkangan. Peristiwa ini ternyata dilihat oleh seorang pejabat kekaisaran. Ia memberikan apresiasi atas pilihan Han Xin yang penuh pengayoman terhadap setiap jiwa walaupun harus mengorbankan harga dirinya. Karakter mulia ini ternyata membawanya pada keberuntungan. Kisah Han Xin merangkak di bawah selangkangan membuat banyak orang terharu. Han Xin akhirnya diangkat menjadi seorang jenderal. 

Suatu ketika, ia melatih pasukannya, para berandal yang menghinakannya lewat di depannya dengan petentang-petenteng. Jenderal Han Xin memanggil  mereka. Dan menceritakan siapa sebenarnya jati dirinya. Adalah orang yang mereka pernah suruh merangkak di bawah selangkangan.  Para berandal ketakutan dan meminta ampun. Han Xin dengan ringan melupakannya. Walaupun dengan kekuasaan di tangannya,  ia bisa saja menghukum mereka sebagai balas dendam. Pada detik itu, para berandal mencapai pencerahan, dan akhirnya malah bergabung menjadi prajurit Han Xin untuk membela negara. Keagungan karakter Han Xin terpancar saat ia melupakan dan memaafkan. Han Xin memimpin tanpa merendahkan dan meneror. 

Aktualisasi Karakter Han Xin di Era Kekinian

Kurang lebih setahun ini, Indonesia digegerkan tentang seorang Jenderal Sambo yang berkonspirasi membunuh ajudannya sendiri; Brigadir Joshua Hutabarat dengan narasi tembak-menembak antar ajudan yang dinarasikan akibat pelecehan seksual terhadap istri Sambo. Namun upaya menutupi fakta pembunuhan dengan segala kuasa dan ‘dana gelap’ yang tak terhingga, ternyata harus bertekuk lutut di bawah mantra baru di era digital, no viral no justice. Solidaritas pengacara Batak mampu mengalahkan kekuatan kuasa dan ‘dana gelap’. 

Kasus ini banyak memakan korban hampir seratus perwira polisi yang diposisikan tak bisa berkutik di bawah tekanan Sang Jenderal yang merupakan polisinya polisi. Keegoisan sang jenderal demi melindungi suatu ‘rahasia yang lebih gelap’ tentang mafioso di institusi yang seharusnya mengayomi masyarakat ini bukan hanya mengorbankan nyawa Sang Ajudan yang masih sangat belia dengan jenjang karir yang masih panjang, juga mengorbankan ratusan perwira dan yang paling mengerikan institusi kepolisian itu sendiri. Berkat kasus ini tingkat kepercayaan masyarakat terhadap polisi merosot drastis. Publik mempersepsikan bahwa polisi yang seharusnya musuh dari kejahatan dan mafia malah melindungi mafia perjudian, narkoba dan mafia tambang.

Kini Peradilan tingkat I telah memvonis Sambo hukuman mati, istrinya Putri Candrawati divonis seumur hidup dan Justice collaborator yang menguak terang benderang kasus ini mendapat keringan hukuman 1,6 tahun. Pertanyaan selanjutnya apakah ini telah memuaskan rasa keadilan keluarga korban dan rasa keadilan publik secara umum? Sebenarnya masih sangat jauh, karena kejahatan Sambo bukan hanya membunuh Joshoa tapi membawa banyak perwira dalam ke dalam drama obstraction of justice yang menghadapkan mereka pada sidang etik, merusak citra institusi dan membunuh kepercayaan masyarakat pada aparat penegak hukum. Bukan hanya itu kasus Sambo seharusnya bisa menguak kasus yang lebih besar yang masih menjadi misteri bobroknya relasi kuasa di negeri ini. Semisal misteri uang Rp 100 Triliun yang raib dari rekening Joshoa. Jangan-jangan ini bukan perkara pembunuhan biasa, tapi sesuatu yang lebih mengerikan yang tak terbayangkan sebelumnya. Kekuasan yang rakus, candu, dan tegaan yang rela membayar berapapun untuk tetap berkuasa. Sebuah ‘ideologi’ merusak yang menjangkiti para pemimpin yang memandang kekuasaan sebagai tujuan hidup, bukan sebagai tanggung jawab. Kalau ini memang yang terjadi inilah monster dan kanker di negeri ini, yang akan menghancurkan negara menjadi negara gagal alias meminjam diksi novelis terkenal Tere Liye sebagai  ‘Negeri Para Bedebah’.

Potret dua Jenderal Yang Kontradiksi

Jenderal Han Xin dan Jenderal Sambo adalah dua karakter yang kontradiktif. Dua pemimpin yang mempunyai cara pandang yang berbeda tentang kekuasaan. Jenderal Han Xin memandang kuasa dan kemampuan bukan  untuk memuaskan egonya, tapi digunakan untuk membela negara atau kepentingan yang lebih besar yaitu nilai kemanusiaan. Demi menghargai jiwa manusia ia rela mengorbankan harga dirinya. Laku agung itu akhirnya justru bisa mengubah para berandal menjadi prajurit yang melindungi negara. 

Sementara Sambo malah sebaliknya. Menjadikan kekuasaan sebagai tujuan dan rela mengorbankan apapun dan siapapun untuk meraihnya. Tidak terbayang kalau seandainya jalan panjangnya untuk menjadi kapolri terwujud akan lebih banyak lagi yang dikorbankan. Masih beruntung Tuhan masih berbelas kasih dengan negeri ini, menguak segala makar dan agenda tersembunyinya. 

Sambo sudah divonis hukuman mati, tapi jangan gembira dulu. Sambo yang lain masih mungkin saja bergentayangan. Kita pasti membutuhkan seorang Hoegeng yang masih bisa makan nasi dan garam demi menjaga kejujurannya. Dan kita membutuhkan seorang  jenderal berkarakterkan seperti Han Xin yang rela merangkak di bawah selangkangan demi melindungi nyawa para berandal yang menghinakannya.  Sambo itu mimpi buruk, sementara Han Xin dan Hoegeng adalah menjadi pantai harapan.