Akankah Dolar AS Dicampakkan?

Wu Huilin

Belakangan ini, suara “mencampakkan dolar AS (Amerika Serikat)” semakin nyaring terdengar, yang terutama berasal dari media massa milik PKT (Partai Komunis Tiongkok), media massa yang fokus pada pemberitaan cryptocurrency, serta berbagai media massa non-main stream yang ramai membicarakan “berbagai negara di dunia sedang mencampakkan dolar AS, dan berencana untuk tidak lagi menjadikannya sebagai mata uang cadangan dan perhitungan dalam perdagangan di masa mendatang”. 

Ada pula pemberitaan yang mengatakan “tingkat globalisasi mata uang RMB sedang meningkat”, atau “Negara BRICS (BRAZIL, RUSSIA, INDIA, CHINA and SOUTH AFRICA) akan menciptakan semacam mata uang baru, untuk melepaskan diri dari dolar AS”. 

Ada juga yang mengatakan “Negara pengekspor minyak (OPEC) akan beralih menggunakan RMB, atau sejenis mata uang bersama lainnya (seperti Euro), atau mata uang ‘BRICS’ sebagai bentuk penghitungan dalam perdagangannya”.

Kabar Angin “De-dolarisasi” Kembali Menghangat

Sangat jelas bahwa ini adalah semacam propaganda yang “bersifat politik”, di mana Rusia yang terkena dampak sanksi ekonomi sejak berkobarnya perang Rusia-Ukraina menggandeng RRT dan Iran serta memasukkan Brasilia ke dalam keanggotaan BRICS, untuk melawan aliansi dunia bebas yang dipimpin oleh AS, yang pada akhirnya bertujuan untuk menghancurkan AS. 

Bukankah tokoh pionir partai komunis yakni Stalin pernah mengatakan “Jika Anda hendak menghancurkan suatu negara, pertama-tama hancurkanlah mata uangnya”? PKT mengikuti ajaran Stalin, hal itu sangat lumrah bukan? Namun, benarkah harapan mereka bisa terkabul?

Sudah ada komentator yang mengemukakan keraguannya, dan fakta membuktikan bahwa “ide de-dolarisasi tidak akan efektif”, karena terdapat hambatan yang tidak bisa disingkirkan: hambatan yang terbesar adalah, jika dolar AS dicampakkan, maka setiap negara harus mencari atau menciptakan mata uang penggantinya, tetapi saat ini dolar AS adalah mata uang yang paling banyak dipakai di seluruh dunia, baik dalam transaksi mata uang global, maupun sebagai cadangan devisa asing di bank sentral berbagai negara, dan dalam mayoritas transaksi perdagangan komoditas serta perdagangan antar negara selalu diperhitungkan dengan dolar AS.

Kedua, alasan konvensional yang disebutkan para pencetus de-dolarisasi adalah bahwa dolar AS tidak ditopang oleh emas, tetapi semua mata uang lain di dunia juga tidak ditopang oleh emas, sedangkan cadangan emas milik AS adalah yang terbesar di dunia, walaupun diberlakukan kembali sistem standar emas, dolar AS tetap merupakan mata uang yang paling sehat. Terakhir, untuk menciptakan semacam mata uang global menggantikan dolar AS, maka harus disepakati oleh semua negara di dunia, melihat situasi saat ini, sama sekali tidak mungkin. Jadi, di masa mendatang yang bisa diprediksi, AS masih akan terus menjadi mata uang dunia, dan “de-dolarisasi” hanya omong kosong.

Rumor “Dolar AS” Akan Runtuh Sudah Lama Beredar

Sebenarnya, mengenai “dolar AS akan runtuh atau akan segera runtuh” sudah sejak lama dibicarakan, bankir investasi terkenal yakni James Rickards dalam bukunya “The Death Money” terbitan 2014 langsung dalam pembukaannya menuliskan: “Dolar AS akan mengalami keruntuhan”, karena RRT, Rusia, dan negara berkembang lainnya, akan bersama-sama mengakhiri hegemoni mata uang AS. Bukankah ini juga merupakan pernyataan “hari ini”?

Pada Agustus 2015 penulis pernah menulis tesis yang meragukannya, dan kini sepertinya masih sangat cocok digunakan, dan layak untuk dijabarkan kembali. Waktu itu, PKT memprakarsai Bank Investasi Infrastruktur Asia (Asian Infrastructure Investment Bank, AIIB), untuk membuat mata uang RMB mendunia, dan perekonomian RRT menjadi yang paling hebat, dan kebangkitan sebuah negara besar, cemerlang ibarat bianglala, dan sepertinya akan terjadi demikian! Namun, mungkinkah itu terjadi? Saya menulis sebagai berikut:

“Secara garis besar, dulu Inggris memiliki julukan ‘kekaisaran dimana matahari tidak pernah terbenam’, wilayah koloninya tersebar di seluruh dunia, dan merupakan yang terkuat di dunia, dengan perusahaan Hindia Timur Britania melakukan operasional ekonomi, pound sterling Inggris menjadi mata uang yang kuat. Hingga pada 1776 Amerika Serikat mendirikan negaranya, perlahan-lahan berkembang menjadi negara terkuat di dunia, sejak 1924 dolar AS mulai menggantikan pound sterling Inggris, hingga pasca PD-II, dolar AS terus berada di posisi puncak, dan sepenuhnya menggantikan pound sterling Inggris.

Di era 1980-an dunia dihebohkan oleh “Japan as Number One”, perekonomian AS tergelincir hingga ke dasar lembah, mata uang Yen Jepang juga terus mengalami tren menguat, tetapi di era 1990-an Jepang justru terjerembab, sementara itu perekonomian AS bangkit kembali, dolar AS kembali perkasa. Pada waktu itu mata uang Zona Euro terbentuk, Euro juga ikut bangkit. Pada 1978 PKT memberlakukan desentralisasi kekuasaan dan transfer keuntungan, serta berdampak ekonominya tumbuh pesat, hingga dalam badai krisis moneter global 2008, perekonomian AS dipandang lemah, mulailah beredar kabar mata uang RMB akan menggantikan dolar AS.

Mengenai apakah dolar AS akan ditinggalkan atau tidak, masyarakat dunia seharusnya bertanya pada dirinya sendiri: apakah dolar AS layak dipercaya? Sedangkan bisa dipercaya atau tidak, ditentukan oleh pandangan masyarakat dunia terhadap AS, apakah AS akan jatuh merosot atau tidak. Walaupun American Dreams telah memudar, tapi masyarakat berbagai negara di dunia masih berbondong-bondong bermigrasi ke AS, khususnya orang-orang kaya di Tiongkok yang mengalihkan kekayaan mereka ke AS, dan membeli surat hutang AS. Walaupun AS selalu mencemaskan soal angka defisit ganda, juga berkali-kali dipandang rendah, tetapi selalu berhasil bertahan dan melaluinya.

Sudah sejak dua tahun lalu, para ekonom dan analis banyak yang menyatakan, ekonomi AS akan kembali menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi dunia, dolar AS juga akan tetap mempertahankan posisi sebagai mata uang kuat, hingga kini pernyataan itu sepertinya benar. Sebetulnya, orang pada umumnya selalu meremehkan AS karena banyak hutangnya, suka meminjam uang untuk konsumsi, dan tidak produktif, itu adalah pandangan secara tampak luarnya saja, sebenarnya potensi tersembunyi AS sangat kuat.

Selama ini, AS adalah lokomotif pertumbuhan ekonomi berbagai negara, terutama bagi negara-negara berkembang, khususnya Tiongkok yang sangat tergantung pada AS. Negara-negara itu berusaha menggunakan sumber daya alam dan sumber daya manusianya yang berharga, dan dengan sengaja menekan biaya produksi berupa upah buruh dan harga sumber daya, untuk menjual produk mereka dengan harga rendah ke AS, untuk mendapatkan dolar AS, lalu menggunakan dolar AS untuk membeli surat hutang AS, agar warga AS dapat berhutang lagi untuk konsumsi.

Disini ada beberapa makna, yang pertama adalah nilai dolar AS melekat pada produk-produk yang diekspor ke AS itu, sehingga dolar AS tidak akan berlebihan di wilayah AS, sebaliknya negara-negara yang meraup banyak dolar AS itu akan mengalami inflasi dan gelembung ekonomi aset keuangan; yang kedua, walaupun warga AS menganggur sementara, tetapi SDM dan sumber daya lainnya tetap terjaga dan tidak terpakai, begitu negara lain merosot ekonominya, giliran AS akan bangkit kembali. Yang patut ditekankan adalah, sistem ekonomi bebas dan demokrasi bebas di AS, membuat warga AS tidak akan bermalas-malasan, selalu menjaga kondisi siap bersaing, pemerintahannya juga tidak akan mengedarkan uang seenaknya sendiri dan menghambur-hamburkan sumber daya yang ada. Yang terpenting adalah, AS adalah negara yang percaya pada Tuhan, warganya memiliki keyakinan yang kuat, serta memiliki standar moral dan etika tertentu.

Ekonomi AS telah bangkit kembali, ini bisa dilihat dari “re-industrialisasi” dan mundurnya pelonggaran kuantitatif (QE), padahal dolar AS masih merupakan mata uang internasional, di masa mendatang jangka pendek belum terlihat adanya mata uang yang dapat menggantikan dolar AS. Sedangkan perekonomian RRT, sudah mengalami masa krusial hard landing, selain faktor ekonomi (hutang pemerintah daerah, krisis dana, kota hantu, pecahnya gelembung aset keuangan, dan lain-lain), juga konflik politik yang semakin terang-terangan, ditambah lagi peristiwa unjuk rasa berdarah yang terus terjadi yang akan memicu pergolakan masyarakat, jadi RMB menggantikan dolar AS sebagai mata uang internasional sepertinya hanya mimpi di siang bolong!

Pengamatan terhadap dolar AS seperti ini, telah dijelaskan dengan lebih tuntas, lebih menyeluruh, dan lebih mendalam, di dalam buku berjudul “The Dollar Trap” terbitan 2014. Penulisnya Eswar S. Prasad adalah seorang dosen senior jurusan Kebijakan Moneter di Cornell University, dengan pondasi akademis yang kokoh, ia memaparkan proses sejarah naik turunnya dolar AS dengan gaya menulis narasi dan diskusi, khususnya pasca badai krisis moneter 2008 lalu, dimana banyak orang memprediksi dolar AS akan tersingkir dari posisi sebagai mata uang dunia, tapi siapa menyangka Prasad justru membedah secara mendalam segala seluk beluk makin menguatnya dolar AS di pasar moneter dunia.

Ia berpendapat dalam kurun waktu cukup lama di masa mendatang, dolar AS akan tetap bertahan di posisinya sebagai mata uang cadangan bagi seluruh dunia. Karena di saat pasar dunia membutuhkan tempat berteduh dari risiko, selain dolar AS, tidak ada pilihan lain. Sementara Euro dan mata uang RMB, dalam waktu dekat belum mampu menggantikan dolar AS, mata uang dolar AS masih akan menjadi mata uang dunia.

Di Masa Mendatang, Dolar AS Tetap Menjadi Mata Uang Dunia

Waktu itu penulis sependapat dengan pandangan Prasad, dan hingga kini 9 tahun telah berlalu, dolar AS masih menjadi mata uang dunia, walaupun melalui 3 tahun dampak dari pandemi serta bagi-bagi uang, inflasi, dan The Fed berulang kali menaikkan suku bunga, apakah perekonomian AS akan mengalami kemerosotan, bahkan terjadi kondisi “stagflasi”, hal ini selalu menjadi perhatian dunia. Namun dibandingkan dengan badan ekonomi lainnya, khususnya RRT yang sedang berada di ujung tanduk, AS masih relatif lebih unggul, dan “di masa depan yang dapat diperkirakan, dolar AS masih akan mempertahankan posisinya sebagai mata uang dunia”, jadi “dolar AS masih tidak mungkin dicampakkan!” (sud/whs)

(Penulis adalah peneliti khusus di Chung-Hua Institution for Economic Research)