Mitos Tentang Virus Hingga Bagaimana Virus Menyerang Sel

Fu Yao

Menurut anda apakah virus itu hidup?

Bagaimana Virus Menyerang Sel

Sebenarnya pada zaman dulu, manusia tidak memiliki konsep tentang virus. Walaupun sejarah tentang penyakit menular atau catatan tentang wabah banyak bermunculan, tetapi hampir semua peradaban kuno beranggapan semua itu ada kaitannya dengan hukuman dari Tuhan. 

Dalam kitab “Wahyu” dikatakan setelah tiba kiamat malaikat menurunkan 7 bencana, dan salah satunya adalah wabah penyakit.

Hingga 1935, seorang pakar biokimia bernama Wendell M. Stanley beserta koleganya menemukan virus mosaik tembakau (virus yang menyebabkan penyakit pada tembakau dan tumbuhan anggota suku terung-terungan lain. Red.) dengan cara penyulingan, masyarakat baru mengetahui si pelaku di balik penularan penyakit.

Virus hanya sebesar sekitar seperseribu dari bakteri, strukturnya juga sangat sederhana, yakni berupa molekul asam nukleat DNA atau RNA yang dibungkus oleh selapis cangkang protein. Dibandingkan dengan sel, begitu sederhana strukturnya sehingga seolah-olah merupakan zat yang tidak ada kehidupan. Faktanya, sebelum virus menemukan inangnya, memang hanya diam saja, tidak ada tanda-tanda kehidupan. Bukan tidak bisa dikatakan tidak ada kehidupan.

Namun begitu virus mendekati sasarannya, ia akan segera hidup dan aktif. Ia akan melepaskan cangkang proteinnya, dan hanya membiarkan gen-nya sendiri, yaitu molekul asam nukleat DNA masuk ke dalam badan sel. 

Setelah masuk, sejumlah molekul asam nukleat dari luar akan secara tepat menemukan mekanisme mereplikasi gen di dalam sel, lalu mengarahkannya untuk memproduksi gen-nya sendiri.

Lalu DNA yang telah menjajah ini mulai mengeluarkan perintah bagi sel, untuk menggabungkan proteinnya, yaitu cangkang yang membungkus di luar DNA virus. Suku cadang virus yang baru dihasilkan ini bahkan dapat merakit secara otomatis, dan menjadi virus generasi berikutnya. Setelah virus menjadi banyak, satu sel sudah tak bisa menampungnya, lalu apa yang akan terjadi? Mereka akan membuat sel pecah. 

Dengan demikian virus yang baru lahir akan menyebar keluar ibarat benih bunga Dandelion, dan mencari sasaran yang baru. Seluruh proses ini saling bertautan satu sama lain, tidak ada aktivitas yang berlebihan. Selama lingkungan cocok baginya, maka virus akan menyebar luas dengan cara operasional yang sangat efektif seperti ini dengan laju pertumbuhan geometrik.

Virus bisa jauh lebih kecil daripada sel. Lalu mengapa sel begitu penurut, dan membiarkan virus bertindak semena-mena di dalam badan sel?

Benteng Virus di Dalam Sel

Sebenarnya sel juga memiliki mekanisme imunitas yang khusus menghadapi serangan dari luar, yang dapat mengenali penyerang dari luar, dan menolak mereka agar tidak bisa masuk. Akan tetapi “kecerdasan” virus jelas lebih tinggi daripada yang kita bayangkan. 

Pada 2022 seorang ahli biologi molekuler asal AS bernama Thomas Laughlin melalui eksperimen virusnya telah mengungkap rahasia bagaimana virus mampu menghindari sistem imun pada sel.

Subjek pada penelitian Laughlin adalah semacam virus yang disebut “jumbo phage”. Phage atau fag adalah semacam virus yang selalu menyerang bakteri sebagai sasarannya (bakteriofag, red.), yang bisa menulari dan membunuh bakteri. Eksistensinya di bumi sangat luas, juga merupakan subjek eksperimen yang sangat disukai oleh kalangan ilmuwan, seperti tikus putih dalam dunia penelitian virus.

Tim risetnya menemukan, jumbo phage telah membangun sekat pelindung di dalam sel bakteri, yang fungsinya mirip dengan nukleus di dalam sel pada manusia dan hewan. Nukleus merupakan pusat kendali atas metabolisme sel dan turunannya, mayoritas zat di dalamnya adalah DNA, yang di luarnya dibungkus oleh selapis membran inti yang tipis. 

Pada membran inti terdapat sejumlah bukaan berbentuk lingkaran, yang disebut pori nukleus, sebagai jalur keluar masuknya zat. Secara keseluruhan, nukleus sel adalah sebuah benteng yang melindungi DNA.

Padahal sekat pelindung ini, juga merupakan sebuah benteng yang dibangun oleh virus di dalam sel, yang sangat efektif melindungi DNA virus agar tidak diserang oleh mekanisme pertahanan bakteri. Ajaibnya adalah, benteng ini bahkan hidup, dan dapat membesar seiring dengan replikasi DNA di dalamnya, bahkan bisa dengan cara yang sangat akurat bertukar zat melalui pori-pori kecil itu dengan dunia luar.

Kolaborator dalam eksperimen itu yang bernama Corbett mengatakan, ini adalah sebuah cara penyelesaian yang sangat inovatif, namun juga sangat sederhana, yakni membangun sebuah tembok sebagai penyekat. Mereka pun menamakan protein yang membangun tembok itu dengan sebutan Chimallin, yakni nama tameng yang digunakan oleh para pejuang Aztec gagah berani pada zaman Amerika kuno.

Hasil penelitian mereka telah dipublikasikan pada majalah Nature di tahun yang sama. Pada akhir tesis masih meninggalkan suatu misteri, yaitu kami hanya menemukan keberadaan tembok ini, tapi kami belum dapat menemukan bagaimana tembok ini dibangun. Semoga Anda semua bisa meneruskan penelitian, untuk menulis “prekuel” bagi kisah tembok ini.

Virus Tidak Memiliki Kehidupan?!

Walaupun virus begitu cerdas, tapi di kalangan ilmu pengetahuan, virus masih dianggap sebagai semacam struktur biokimia yang berada di antara hidup dan tidak hidup. Tapi alasan utamanya sebenarnya bukan terletak pada apakah virus memiliki karakteristik kehidupan atau tidak, melainkan karena teori evolusi tidak mampu menjelaskan eksistensi virus.

Karena menurut teori evolusi, segala mahluk hidup di dunia ini berevolusi dari sederhana menjadi rumit. Berdasarkan pandangan ini, maka di dunia ini seharusnya lebih dulu ada virus yang memiliki struktur sederhana, setelah itu baru ada bakteri dan mahluk hidup lainnya yang memiliki struktur rumit. Akan tetapi faktanya, virus tidak dapat hidup secara mandiri, melainkan hanya bisa hidup dan berkembang biak pada makhluk inang. Maka seharusnya lebih dulu ada bakteri sebagai tuan rumah, setelah itu baru ada virus sebagai tamunya. Bukankah ini menjadi kontradiksi?

Masalah teori evolusi ini dengan cepat meningkat pada ketinggian filosofis mengenai lebih dulu ada ayam atau telur. Akhirnya ada yang mengatakan, maka mari kita kategorikan virus sebagai bukan mahluk hidup. Tidak ada kehidupan, bukankah itu berarti tidak bisa berevolusi? Maka kontradiksi pun terselesaikan. Masuk akal, maka virus pun sekarang menyandang status yang canggung antara hidup dan mati.

Mutasi Gen Pada Virus HIV

Namun sejak ditemukan, virus tidak pernah berhenti menantang teori evolusi. Contohnya beberapa tahun terakhir, bukankah kita semua telah divaksin Covid-19? Mengapa? Karena virus Covid-19 telah bermutasi. Mulai dari Alfa sampai Beta dan Gamma, lalu Delta, dan sekarang ada lagi Omicron yang berarti setidaknya telah 5 kali bermutasi.

Yang dimaksud mutasi adalah, DNA virus telah mengalami mutasi. Setelah bermutasi, virus dan virus lama menjadi memiliki dua set DNA yang berbeda, dengan sendirinya juga bisa dikatakan dua jenis kehidupan yang sama sekali berbeda. Perbedaan DNA manusia dengan simpanse hanya 1,6%, bukankah merupakan dua jenis mahluk yang sama sekali berbeda? Maka dengan begitu, vaksin lama menjadi tidak berfungsi lagi. Kita terpaksa hanya bisa membuat vaksin baru dari virus baru, lalu divaksin lagi. 

Jika dilihat hingga saat ini, selama mutasi masih terus berlangsung, maka vaksin harus terus menerus diberikan. Sepertinya ini adalah satu-satunya cara penyelesaiannya. Kita ketahui virus sangat mudah berubah. Faktanya, meloloskan diri dari kepungan manusia dengan cara mutasi DNA sepertinya telah menjadi suatu kemampuan pada virus. Tetapi di dunia virus, kecepatan mutasi virus Covid-19 masih tergolong lamban.

Ahli biokimia bernama Michael Behe dalam bukunya “The Edge of Evolution” terbitan 2007, telah memaparkan tantangan mutasi gen virus pada teori evolusi dengan virus HIV sebagai contohnya. Kecepatan mutasi pada virus HIV adalah 10.000 kali lebih cepat daripada sel. Behe menjelaskan, sejak ditemukan sampai saat ini, “mutasi yang dialami pada virus HIV jauh lebih banyak daripada mutasi yang dialami sel sejak adanya langit dan bumi”. Jadi pengembangan virus HIV pun mengalami berbagai kendala.

Menurut teori evolusi, mengapa mahluk hidup dapat mengalami mutasi gen? Agar dapat beradaptasi lebih baik dengan lingkungannya, jadi setelah bermutasi mahluk hidup dapat berkembang dari derajat rendah menjadi derajat tinggi, karena kemampuan mahluk hidup derajat tinggi lebih kuat, jadi akan lebih mudah memperoleh makanan, juga lebih mudah menghindari musuhnya, bukankah demikian?

Akan tetapi, setelah berkali-kali mutasi, virus HIV sepertinya tidak bertransformasi menjadi mahluk yang derajatnya lebih tinggi. Sepertinya mereka lebih senang untuk terus menjadi virus. Profesor Behe berkata, “Virus HIV pada dasarnya tidak pernah mengalami perubahan biokimia dasar”. 

Jelas bahwa mutasi gen pada virus HIV tidak seperti yang dikatakan dalam teori evollusi, yang mengatakan terjadi secara spontan, melainkan bermutasi dengan sasaran yang jelas, yakni mengubah bentuk proteinnya sendiri, membuat obat-obatan manusia tidak dapat melekat padanya dan menghancurkannya. 

Dalam hal ini, baik virus Covid-19, maupun virus influenza, dan virus HIV, telah menempuh jalan yang sama, yaitu menggunakan mutasi gen untuk menghindari kejaran manusia.

Hingga hari ini, kita umat manusia belum mampu mengendalikan gen kita sendiri. Sedangkan virus yang begitu kecil itu justru bisa melakukannya, dan mampu mengganti kombinasi gen-nya semudah mengganti baju. Hal ini sangat menakjubkan bukan? Kapankah permainan “catch me if you can (Tangkap aku jika kamu bisa)” antara virus dengan manusia ini akan berakhir, tidak bisa kita ketahui, tapi hingga saat ini, selain penyakit cacar, tidak ada satupun penyakit menular yang disebabkan oleh virus yang mampu dikalahkan oleh manusia, dan ini juga adalah fakta tak terbantahkan.

Virus di Dalam Gen Manusia

Ada semacam virus yang disebut “virus endogen” yang berada di dalam gen semua mahluk hidup. Di dalam gen manusia, terdapat virus ini sekitar 5%~8%, kalangan akademisi selama ini menganggap keberadaan mereka adalah karena puluhan juta tahun lalu mereka telah menjangkiti para leluhur kita, yang secara kebetulan informasi genetiknya tertanam di dalam DNA manusia, sekarang sepertinya tidak membahayakan.  Akan tetapi juga tidak ada kegunaannya. 

Jadi virus-virus ini oleh kalangan akademisi disebut juga sebagai DNA sampah (junk DNA, red.), sama halnya dengan usus buntu, yang dianggap sebagai produk sekunder yang tertinggal dari proses evolusi. Selama ini, virus-virus sampah ini dipandang sebagai bukti kuat dalam teori evolusi.

Meski demikian, percobaan tikus putih yang dilakukan oleh dosen kedokteran Jepang yakni Fumitoshi Ishino justru menemukan, adanya semacam virus endogen yang dinamakan “PEG10” telah berperan krusial dalam proses pembentukan plasenta. Keberadaan virus “PEG10” sangat luas, terdapat pada gen manusia dan juga hewan mamalia lainnya.

 Dalam percobaan lab mereka telah menekan fungsi PEG10, hasilnya didapati plasenta pada tikus putih tidak bisa terbentuk, sehingga janin pun mati. Sedangkan virus jenis lainnya yakni PG11 yang tertanam pada gen juga telah didapati merupakan benda yang mutlak harus ada untuk membentuk pembuluh darah kapiler pada plasenta. 

Selain itu sejumlah akademisi Jepang lainnya juga telah meraih penemuan baru di dunia flora. Mereka menemukan virus endogen pada bunga Morning Glory dapat memengaruhi warna kelopak bunga. Sedangkan fenomena seperti ini ternyata juga terjadi pada bunga Dahlia dan bunga Gentian Jepang.

Pada saat inilah, para penganut kreasionisme pun mulai angkat bicara. Setiap bunga dan rumput di muka bumi ini adalah ciptaan dari Tuhan. Tuhan telah mengatur adanya virus di dalam gen manusia, maka seharusnya mereka berguna. Sama halnya dengan usus buntu. Hanya saja ilmu pengetahuan saat ini belum menemukannya. 

Lalu apakah virus sampah itu bukanlah sampah, bahkan mungkin berperan sangat penting bagi tubuh kita? Dalam ilmu genetika yang telah berkembang pesat seperti saat ini, mungkin tak lama lagi kita akan menemukan jawabannya.

Virus Jumbo Yang Berasal Dari Planet Luar

Pada 2015 silam, seorang ahli biologi Prancis yakni Profesor Jean-Michel Claverie beserta tim risetnya telah memisahkan sejenis virus yang dinamakan Mollivierus Sibericum dari spesimen permafrost yang berumur 30.000 tahun dari Siberia. 

Virus semacam ini berukuran sangat besar, dapat terlihat cukup dengan mikroskop optik biasa, virus pada umumnya baru dapat dilihat dengan mikroskop electron yang mempunyai pembesaran ribuan kali lebih kuat.

Virus semacam ini adalah virus jumbo jenis keempat yang ditemukan hingga saat ini. Tiga jenis terdahulu ditemukan adalah Mimivirus pada 2003, serta Pandoravirus dan Pithovirus Sibericum yang juga ditemukan di Siberia pada 2013.

Postur virus ini bahkan lebih besar daripada bakteri, bagian dalamnya juga lebih rumit, mengandung keunikan gen dan kode susunan protein rumit yang sangat banyak. Sejumlah gen yang ada pada Mimivirus, bahkan tidak dimiliki oleh bakteri parasit kecil. Lalu apakah virus itu masih bisa dikategorikan sebagai zat yang tidak hidup?

Yang paling unik disini adalah Pandoravirus. Bentuk luar dan susunan gennya sangat berbeda dengan virus jumbo lainnya, yang lebih unik lagi adalah, gen virus ini hanya memiliki sumber yang sama dengan sekitar 75% mahluk di bumi ini, Profesor Claverie bahkan beranggapan bahwa virus ini berasal dari planet luar, misalnya Mars. 

Tetapi sepertinya dalam teori evolusi tidak ada tempat untuk mahluk planet luar bukan? Lalu bagaimana menjelaskannya? Ada semacam penjelasan, yang mengatakan bahwa virus adalah blackhole pada teori evolusi, dan begitu sampai di virus ini, teori evolusi menjadi tidak manjur lagi. Bagaimana menurut Anda? (Sud/whs)