Goldman Sachs Memangkas Perkiraan Pertumbuhan Tiongkok Saat Para Ahli Memprediksi Langkah-langkah Stimulus Beijing Tak Akan Efektif

 Alex Wu

Goldman Sachs menjadi bank Wall Street terbaru yang memangkas proyeksi pertumbuhannya bagi Tiongkok, karena negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia ini terus kehilangan momentum dengan kepercayaan diri yang terus melemah.

Para ahli percaya bahwa langkah-langkah stimulus rezim Tiongkok untuk mengatasi hal ini tak akan efektif karena masalah-masalah makroekonomi.

Analis Goldman Sachs menurunkan proyeksi pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) Tiongkok  2023 dari 6% menjadi 5,4%. Mereka juga menurunkan proyeksi pertumbuhan Tiongkok 2024 dari 4,6% menjadi 4,5%.

Dalam sebuah catatan riset, kepala ekonom Goldman Sachs di Tiongkok, Hui Shan, dan beberapa ekonom lainnya memperingatkan bahwa ekonomi Tiongkok sedang menghadapi serangkaian masalah makroekonomi dan masa depan akan lebih bergejolak.

“Dengan tantangan yang terus berlanjut dari pasar properti, pesimisme yang meluas di kalangan konsumen dan pengusaha swasta, dan hanya pelonggaran kebijakan moderat untuk mengimbangi sebagian hambatan pertumbuhan yang kuat, kami menurunkan proyeksi PDB riil 2023 kami,” kata catatan riset pada hari Minggu.

Sebelum Goldman Sachs menurunkan proyeksi PDB setahun penuh Tiongkok, lembaga-lembaga seperti UBS, Bank of America, Standard Chartered Bank, JPMorgan Chase, dan Nomura Holdings juga menurunkan proyeksi pertumbuhan mereka untuk Tiongkok.

Para ekonom Goldman Sachs mengidentifikasi serangkaian masalah makroekonomi yang dihadapi Tiongkok.

“Dengan dorongan pembukaan kembali dengan cepat memudar, tantangan-tantangan jangka menengah seperti demografi, penurunan properti selama beberapa tahun, masalah-masalah utang implisit pemerintah lokal, dan ketegangan geopolitik mungkin mulai menjadi lebih penting dalam prospek pertumbuhan Tiongkok,” tulis catatan riset tersebut.

Pada Jumat, UBS juga mengantisipasi bahwa perekonomian Tiongkok akan terus melemah.

Langkah-langkah Stimulus Tidak Akan Berhasil

Biro Statistik  Tiongkok menerbitkan pada 15 Juni bahwa total penjualan ritel pada Mei, indikator utama kepercayaan konsumen, meningkat 12,7% YoY, yang secara signifikan lebih rendah dari 18,4% pada April, dan turun 5,7% poin, yang lebih lemah dari yang diharapkan.

Pada  Mei, nilai tambah perusahaan industri meningkat 3,5 persen YoY, lebih rendah dari 5,6 persen di April, sebuah penurunan tajam sebesar 2,1 poin persentase.

Statistik resmi juga menunjukkan bahwa dari Januari hingga Mei tahun ini, investasi real estat anjlok 7,2%. Pembangunan rumah baru turun 22,6 persen YoY, sebuah penurunan yang lebih tajam daripada tingkat empat bulan sebelumnya (21,2 persen).

Goldman Sachs menyatakan Beijing akan melakukan langkah-langkah stimulus lebih lanjut namun mencatat bahwa langkah-langkah tersebut tidak cukup untuk mengatasi masalah-masalahnya. Rezim ini telah memangkas suku bunga namun belum memberikan efek apapun.

Penurunan Permintaan

Tsai Mingfang, seorang profesor di Departemen Ekonomi di Universitas Tamkang, mengatakan kepada The Epoch Times bahwa “ada penurunan tajam dalam permintaan di Tiongkok, yang disebut deflasi.”

“Permintaan menghilang pada barang-barang konsumsi dan ritel, serta investasi dan pengembangan real estat,” kata Tsai.

Chu Yuechong, asisten profesor di Departemen Keuangan Universitas Sains dan Teknologi Taiwan Selatan, mengatakan kepada The Epoch Times bahwa langkah termudah yang digunakan Partai Komunis Tiongkok (PKT) adalah dengan mencetak uang, namun hal ini menyebabkan memburuknya defisit fiskal dari pemerintah daerah ke pemerintah pusat.

Tsai percaya bahwa Beijing akan memiliki lebih sedikit langkah yang dapat digunakan. “Alasannya adalah bahwa ketika menggunakan langkah-langkah ekonomi ini, seperti menurunkan suku bunga, mungkin efektif di awal, tetapi Tiongkok telah memangkas suku bunga, dan ekonominya terus menurun, dan ekspornya juga terus menurun,” kata Tsai.

Cheng Jing dan Luo Ya berkontribusi pada laporan ini.