Bagaimana Pemberontakan Wagner Pengaruhi Tiongkok, Pakar Menginterpretasi

Ning Haizhong, Yi Ru, & Luo Ya

Pemberontakan oleh kelompok tentara bayaran Wagner Rusia mendadak terjadi, kemudian “diredakan” secara dramatis. Ketika seluruh dunia membahas bagaimana pemberontakan Wagner berdampak terhadap situasi politik Rusia dan juga Perang Rusia-Ukraina, proyeksi terhadap situasi di Tiongkok pun menjadi topik hangat lainnya. Banyak pakar pun membuat analisa terkait hal ini.

Pasang Surut Pemberontakan Wagner

Yevgeny Prigozhin, sang pemimpin Wagner Group pada 24 Juni lalu telah memerintahkan tentara bayarannya berhenti bergerak ke arah Moskow, dan kembali ke basis tempurnya di Ukraina. Aksi pemberontakan yang baru dimulai dini hari itu hanya berlangsung selama satu hari saja. 

Menurut berita media massa Rusia, Kementerian Pertahanan akan mengalami perombakan personalia, tuntutan pidana makar terhadap Prigozhin akan dicabut, tentara Wagner akan memperoleh kekebalan hukum. Namun arah perkembangan terakhir dan situasi di Rusia masih harus diamati lebih lanjut.

Dosen dari University of Technology Sydney yakni Feng Chongyi pada 25 Juni lalu mengatakan kepada The Epoch Times, peristiwa Wagner ini tidak bisa dikatakan kudeta, juga tidak bisa dikatakan pembelotan, karena mereka tidak bertempur dengan pasukan pertahanan Rusia, hanya saja terdapat dendam dan konflik antara Prigozhin dengan Menhan Rusia, yang melebar menjadi rasa tidak puas terhadap Putin. Jika Putin ditangkap, maka itu baru bisa dikatakan kudeta.

Menurut Feng, pemberontakan ini berdampak sangat besar bagi Putin, jika Putin menuruti kemauan Prigozhin dan mengganti komandan tertingginya, hal ini akan berdampak keras bagi semangat perang pasukan Rusia, yang dapat memengaruhi situasi Perang Rusia-Ukraina, dan mempercepat proses Ukraina meraih kemenangan.

Komentator militer Taiwan bernama Huang Pengxiao mengatakan, jika Wagner Group benar-benar menduduki Moskow, maka bagi Putin itu adalah kekalahan yang sangat tidak menguntungkan.

Namun para pemimpin Wagner sendiri belum tentu lebih baik daripada Putin, karena Rusia adalah sebuah negara besar yang memiliki senjata nuklir, selama beberapa hari ini AS dan Eropa mengadakan rapat intens, diyakini juga karena kekhawatirannya, seandainya senjata nuklir sampai terjatuh ke kelompok bersenjata ini, dampaknya terhadap keamanan kawasan Eropa akan sangat mengerikan. Terhadap peristiwa pemberontakan mendadak Wagner ini, AS dan Inggris menggelar rapat darurat. Juru bicara Kemenlu RRT pada 25 Juni lalu menyebut bahwa ini adalah “urusan dalam negeri” Rusia, tetapi juga dikatakan “Pihak Tiongkok mendukung Rusia menjaga stabilitas negaranya.”

Bagaimana Pemberontakan Rusia Berdampak Pada Tiongkok

Berita pemberontakan Prigozhin telah menjadi berita super panas di internet daratan Tiongkok. Reporter The Epoch Times mendapati, hingga 24 Juni pukul 5:15 petang waktu Beijing, di situs Baidu dan Weibo telah muncul 22 jenis entry yang terkait hal ini, di antaranya 10 di Baidu dan 12 di Weibo. Banyak entry di Weibo yang telah dibaca hingga ratusan juta kali. Seperti berita “Putin Menuding Pemimpin Wagner Adalah Pengkhianat” yang di pukul 7 malam telah dibaca lebih dari 660 juta kali.

Yevgeny Prigozhin, kepala kelompok tentara bayaran Wagner Rusia, menyampaikan pidato video di Bakhmut, pada 25 Mei 2023. (Handout / TELEGRAM / @concordgroup_official / AFP)

Di Twitter, terdapat berbagai macam diskusi yang membandingkan invasi Rusia terhadap Ukraina dengan agresi RRT terhadap Taiwan, dan dampak pengaruh lengsernya Putin terhadap Xi Jinping. Misalnya, tokoh aktivis demokrasi yakni Wang Dan menulis cuitan: “Peristiwa yang sedang terjadi di Rusia (kudeta/pemberontakan), begitu Xi Jinping mengobarkan perang, bisa atau tidak, hal seperti itu juga akan terjadi di Tiongkok?”

Huang Pengxiao mengatakan kepada The Epoch Times, peristiwa di Rusia kali ini diyakini telah menimbulkan dampak yang sangat besar bagi Xi Jinping, pada awalnya Putin mengira perang Ukraina akan berakhir dengan cepat, tapi ternyata berkembang menjadi perang atrisi, hal ini membuat kemampuan prajurit mencapai batasnya, sehingga akan timbul masalah tidak stabilnya hati prajurit. Sebelum melakukan operasi militer apapun, khususnya dalam hal menyerang Taiwan, Xi Jinping harus lebih hati-hati mempertimbangkannya.

Huang Pengxiao berkata, pada 2015 Partai Komunis Tiongkok (PKT) telah mengadakan reformasi dalam tubuh militer, dan mengubah sistem zona militer besar sebelumnya, dengan memisahkan antara wewenang komando operasional dengan wewenang koordinasi pelatihan. Setiap zona perang hanya memiliki wewenang komando pada saat perang, dalam hal mutasi maupun promosi personel tidak memiliki wewenang komando langsung, ditambah lagi sistem kesetiaan pada setiap lapis jabatan, jadi sementara tidak akan ada kondisi pemberontakan militer. Tetapi apakah akan bermasalah jika RRT hendak melakukan ekspansi militer ke luar, masih harus diamati lebih lanjut.

Feng Chongyi berpendapat, sekarang PKT belum berperang dengan negara lain, jadi tidak bisa dibandingkan dengan situasi Rusia saat ini. Tetapi jika Putin lengser, atau rezim otokratis Rusia runtuh, dampaknya akan sangat besar terhadap Xi Jinping, yang akan menjadi motivasi luar biasa besar bagi kekuatan demokrasi kebebasan di dalam negeri Tiongkok, juga kepada dunia demokrasi Barat, “Misalnya, rezim Putin runtuh tahun ini, maka rezim Xi Jinping kemungkinan akan runtuh dalam satu dua tahun sesudahnya, dan dapat memicu kekuatan berbagai aspek untuk tampil keluar.” 

Ia menyatakan, karena kedua negara Tiongkok dan Rusia sama-sama menggunakan sistem otokratis, banyak orang di Tiongkok berharap negaranya berubah, dan berharap diktator lengser. Kali ini warganet Tiongkok menyoroti peristiwa ini dengan skala tinggi, inilah manifestasi aspirasi warga saat ini.

Mantan Wakil Komandan AU Taiwan yang juga dosen tamu di National Tsing Hua University Taiwan yakni Zhang Yen-Ting menyatakan kepada The Epoch Times, peristiwa di Rusia kali ini akan menimbulkan semacam efek cermin bagi daratan Tiongkok. Peristiwa di media sosial Tiongkok yang sangat disoroti oleh masyarakat, dan diyakini akan semakin disoroti pula oleh pejabat tinggi PKT. “Kita ketahui beberapa tahun terakhir ada berbagai macam gerakan revolusi warna, ada pula Revolusi Jasmin (Tunisia), juga aksi protes anti UU ekstradisi Hong Kong. Walaupun gerakan anti ekstradisi di Hong Kong telah dipadamkan, tapi pikiran tersebut masih menyisakan pergolakan. Jika ada semacam fenomena meluas, juga akan memberikan tekanan yang amat besar pada PKT.”

Zhang Yen-Ting menyatakan, PKT mengandalkan anggaran dalam jumlah teramat besar untuk mengawasi warganya, untuk sementara dapat menjaga stabilitas secara permukaan, tetapi untuk jangka panjang, ini adalah sebuah rezim yang sangat tidak stabil. “Aksi pemimpin Wagner kali ini juga dapat berdampak pada dalam negeri Tiongkok, apakah hal itu akan menimbulkan efek berantai, ini patut untuk diamati.”

Krisis Rezim PKT di Masa Mendatang Terletak di Zhongnanhai?

Menurut Huang Pengxiao, Xi Jinping memusatkan semua kekuasaan di tangannya, dan menghapus batasan masa kekuasaan pemimpin negara, hal ini dapat menimbulkan titik kerapuhan rezimnya. Karena tidak mempersiapkan penggantinya, apabila terjadi sesuatu pada dirinya, PKT akan menghadapi masalah serius, mungkin akan terjadi kudeta. 

“Dalam kondisi seperti ini, maka Tiongkok akan mengalami kekosongan pemerintahan pusat, dan hanya mengandalkan beberapa orang kerdil di Komite Tetap Politbiro itu, tidak akan mampu menguasai keadaan. Pada waktu itu peran militer menjadi sangat krusial. Karena setiap zona perang akan fokus pada urusannya masing-masing, jika ada orang yang berambisi, maka akan terjebak dalam kondisi para penguasa militer memisahkan diri”, Huang Pengxiao berkata, “Kita terus menekankan, krisis mendalam Tiongkok bukan di Selat Taiwan, juga bukan di Laut Tiongkok Selatan, bukan pula di Laut Timur, melainkan ada di Zhongnanhai.”

Feng Chongyi mengatakan, variabel pada rezim otoriter sangat banyak, karena ini adalah struktur rezim yang sangat rapuh, pada permukaan tampak kokoh dan tidak bisa ditembus, tapi sebenarnya di dalamnya saling curiga. “Jalan keruntuhan suatu rezim otoriter, jika terjadi perang, mungkin akan terjadi pemberontakan militer yang mengarah pada kudeta; jika tidak ada perang, maka akan terjadi kebangkitan sipil yang mengarah pada pemberontakan militer, lalu berubah menjadi kudeta.”

“Seperti gerakan Kertas Putih atau gerakan lainnya, ketika warga sipil bangkit, polisi dan tentara tidak bisa meredam atau mereka menolak menjalankan perintah, ini dapat menimbulkan pemberontakan militer, para tokoh politik akan bergerak, untuk melengserkan Xi Jinping, kemungkinan seperti ini bisa saja terjadi, tetapi tidak dapat diprediksi.” (Sud/whs)