10 Tahun Jepang sama dengan Berapa Tahun Tiongkok?

DR Xie Tian

Begitu buruknya rapor ekonomi Beijing pada kuartal pertama tahun ini, yang membuat mereka buru-buru menerbitkan 11 artikel, dan dokumen yang dilansir Dewan Negara Tiongkok pada Juli itu telah mengemukakan 31 pandangan dalam pengelolaan ekonomi swasta, yang disebut sebagai “pandangan tentang mendorong pengembangan dan penguatan ekonomi swasta”, tetapi apakah semua kebijakan itu mampu mengatasi masalah terpendam dan masalah substantif pada perekonomian Tiongkok? Jawabannya adalah negatif.

Dalam media “Opinion” dari Dewan Negara RRT disebutkan, dalam 6 aspek yang berbunyi: Harus “terus menerus memperbaiki lingkungan perkembangan ekonomi swasta; memperbesar dukungan kebijakan ekonomi swasta; memperkuat jaminan hukum bagi perkembangan ekonomi swasta; berfokus pada mendorong perkembangan berkualitas tinggi di sektor ekonomi swasta; mendorong pertumbuhan yang sehat bagi pelaku ekonomi swasta; dan terus menerus memberi perhatian untuk mendorong perkembangan ekonomi swasta yang dapat menguatkan suasana sosial”, nah 31 tindakan itu kembali menekankan perlakuan kesetaraan, pengelolaan sesuai aturan, dan semangat kewirausahaan. Tetapi justru disitulah masalah krusialnya, pemerintah RRT mengira setelah mengemukakan metode penyelesaian maka semuanya akan beres, namun sebenarnya mereka justru telah mengungkap kunci masalah yang lebih mendalam, yakni intervensi dan halangan dari pemerintah sendiri.

Berdasarkan data dari Komite Pembangunan dan Reformasi Nasional RRT, selama 10 tahun dari 2012 hingga 2022, dalam bidang pungutan pajak, rasio perusahaan swasta Tiongkok dari 48% naik menjadi 59,6%; dalam bidang lapangan kerja, perusahaan industri swasta berskala di atas rata-rata telah menyerap lapangan kerja dari semula 32,1% meningkat menjadi 48,3%; dalam hal jumlah, rasio jumlah, perusahaan swasta dari 79,4% meningkat menjadi 93,3%; dari segi perdagangan internasional, sejak 2019 perusahaan swasta menjadi subjek perdagangan luar negeri terbesar, dan pada 2022 mencapai 50,9%. 

Dengan kata lain, dalam hal pungutan pajak, lapangan kerja, ekspor impor, perusahaan swasta dan rakyat biasa di Tiongkok telah melampaui monopoli serta kendali oleh perusahaan BUMN, dan menjadi bagian utama dari perekonomian Tiongkok. Namun bagian yang paling enerjik dari perekonomian Tiongkok ini, justru telah menjadi sasaran tekanan dan belenggu oleh rezim komunis Tiongkok.

Beijing mengatakan harus “terus memperbaiki lingkungan perkembangan ekonomi swasta”, justru yang tertampar adalah pemerintahan sendiri, yang selama ini terus menerus menyebabkan makin memburuknya lingkungan perkembangan ekonomi swasta; mereka mengatakan harus “memperbesar dukungan kebijakan ekonomi swasta”, justru menjelaskan bahwa selama ini kebijakan ekonominya sama sekali tidak pernah benar-benar mendukung perusahaan swasta; mereka mengatakan harus “memperkuat jaminan hukum bagi perkembangan ekonomi swasta”, ini juga menjelaskan sistem hukum RRT yang hampa itu sama sekali tidak digunakan untuk menjamin keadilan bagi setiap orang di hadapan hukum, melainkan hanya menjadi alat bagi para elite PKT untuk penindasan; mereka mengatakan harus “berfokus pada mendorong perkembangan berkualitas tinggi di ekonomi swasta, mendorong pertumbuhan sehat bagi pelaku ekonomi swasta, terus menerus memberi perhatian untuk mendorong perkembangan ekonomi swasta yang dapat menguatkan suasana sosial”, juga menjelaskan perusahaan swasta di Tiongkok, menjadi buruk kualitas perkembangannya akibat berbagai pembatasan pemerintah, pelaku ekonomi masyarakat menjadi tidak dapat berkembang dengan sehat akibat pengekangan seenaknya sendiri oleh PKT, suasana sosialnya juga menjadi penuh permusuhan terhadap perusahaan swasta akibat propaganda dan tekanan partai berkuasa tunggal.

Agar para pengusaha swasta bekerja dan meraup untung bagi pemerintah, serta menstimulus ekonomi, PKT telah membebaskan lebih dari 2.200 orang pengusaha swasta dari penjara. Dunia luar awalnya mengira, hanya satu orang pengusaha unggul yakni Sun Dawu saja yang ditangkap dan dijatuhi hukuman berat, tak disangka ternyata ribuan pengusaha telah dipenjara oleh PKT. Lebih dari dua ribu elite bisnis ini setelah dibebaskan akankah mereka memberikan sumbangsihnya bagi PKT? Atau akan segera lari, eksodus, dan menjauh dari cengkeraman iblis?

Hingga akhir Mei tahun ini, perusahaan swasta yang terdaftar di Tiongkok mencapai 50,93 juta unit perusahaan, telah meningkat 3,7 kali lipat dibandingkan akhir 2012, rasio perusahaan swasta dalam skala perusahaan di seluruh Tiongkok dari 79,4% meningkat hingga mencapai 92,4%. Tapi sepanjang tahun ini, perlambatan laju investasi di kalangan swasta sangat drastis. Seperti yang dikatakan oleh dosen Peking University Zhou Qiren yang mengutip pernyataan Presdir Shuangliang Group, “Perusahaan swasta ibarat menunggang macan, bukan menunggang kuda.” Sepertinya sekarang mayoritas mereka telah dicampakkan dari punggung macan, mereka tidak akan berani lagi berdansa dengan serigala apalagi memohon kulit dari macan.

Perekonomian PKT bisa terperosok begitu tragis dan ditakdirkan akan mundur kembali ke masa 20 tahun silam sebelum bergabung dalam WTO pada 2001, hal ini sepenuhnya adalah ulah PKT sendiri yang telah kehilangan kredibilitasnya, mulai dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, perusahaan, UMKM, sampai pemerintah asing, dan modal investasi Barat, tidak lagi percaya pada PKT. Mereka juga telah hilang kepercayaan terhadap kemampuan PKT dalam mengelola perekonomiannya. 

Peringkat saham perbankan Tiongkok yang baru saja dirilis oleh Goldman Sachs telah menurunkan predikat Industrial & Commercial Bank of China (ICBC), Agricultural Bank of China, Bank of Communications, Industrial Bank, dan juga Huaxia Bank menjadi dijual (Sell), lalu predikat Bank of China dan China Merchants Bank menjadi netral (Neutral). Yang direkomendasikan untuk dibeli (Buy) hanya China Construction Bank (CCB), Postal Saving Banks of China (PSBC), Bank of Ningbo, dan Ping An Bank. Sementara itu Wall Street juga telah mengendus aroma akan meletusnya efek gelembung di sektor properti Tiongkok, serta sistem perbankan yang kemungkinan akan terseret menuju kehancuran karenanya, mereka sedang menganjurkan pemilik kapital agar segera hengkang dari pasar Tiongkok!

Ekspansi industri manufaktur Tiongkok melamban, kondisi lapangan kerja memburuk secara serius, penjualan properti anjlok drastis, ekonomi memasuki depresi, kebutuhan dalam negeri lesu, tiga kereta penopang ekonomi yakni ekspor, investasi, dan konsumsi kehilangan tenaganya, oleh karena itu opini di dalam negeri Tiongkok kian mengkhawatirkan bahwa Tiongkok mungkin akan mengalami “dasawarsa yang hilang” seperti di Jepang (masa setelah pecahnya gelembung harga aset Jepang, 1990- 2000). 

Sekarang ini, pertumbuhan ekonomi adalah batu pijakan terakhir bagi legalitas rezim RRT, begitu Tiongkok mengalami depresi ekonomi di atas sepuluh tahun, maka tekanan akibat lapangan kerja, kehidupan sosial, dan juga stabilitas yang terjadi, apakah akan setara dengan Jepang pada masa itu?  

Dalam benak banyak rakyat Tiongkok, setelah Jepang menandatangani Perjanjian Plaza (Plaza Accord, red.), bursa efek dan properti Jepang anjlok, yang mengakibatkan perlambatan laju ekonomi sejak 1990 sepanjang era 1990-an itu. 

Beberapa tahun terakhir, “dasawarsa Jepang yang hilang” bahkan diperluas menjadi “tiga dasawarsa yang hilang”, krisis ekonomi waktu itu dituding sebagai biang yang mengakibatkan perlambatan pertumbuhan Jepang dan tiarapnya rakyat selama hampir tiga dasawarsa. Tetapi jika menengok kembali data terkait periode sejarah di Jepang ini, orang mungkin akan mendapatkan kesimpulan yang berbeda.

“Dasawarsa yang hilang (lost decade)” pada perekonomian Jepang, adalah periode antara akhir era 1990-an hingga awal abad ini, dimana perekonomian Jepang terjebak dalam resesi dan penurunan. 

Penyebab utamanya adalah akibat pemborosan sumber daya dan investasi yang tidak sehat, ekspansi investasi perusahaan Jepang yang terlalu berlebihan, sehingga mengabaikan efisiensi pemanfaatan sumber daya, menyebabkan pemborosan sumber daya dan investasi yang tidak sehat, produktivitas yang rendah, serta tekanan akibat penumpukan stok barang. 

Pada akhir era 1990-an dan awal 2000, perbankan dan pemerintah Jepang memberlakukan kebijakan moneter longgar dan pengembangan properti yang berlebihan, hal ini menimbulkan kemakmuran sekaligus penggelembungan di pasar properti, dan pertumbuhan ekonomi menjadi stagnan. 

Selain itu, penuaan populasi Jepang dan minimnya angka kelahiran, menyebabkan menyusutnya bursa tenaga kerja, kurangnya orang-orang yang berbakat, yang makin memperburuk tekanan pada sistem jaminan sosial. Di saat yang sama, akibat penggelembungan asset, mengejar skala serta pangsa pasar secara berlebihan, telah mengabaikan kualitas dan juga inovasi produk. Paham birokratisasi di dalam perusahaan Jepang, dan melambatnya pertumbuhan ekonomi global, juga menimbulkan tekanan bagi ekonomi Jepang.

Namun pada hari ini, setelah mengulas kembali kondisi perekonomian Jepang pada waktu itu, yang ditemukan adalah kesalahan penilaian terhadap perekonomian Jepang pada masa itu. Pengamat Jepang bernama Ivan Horr mengatakan, dasawarsa Jepang yang hilang menurut anggapan Barat, jelas merupakan suatu kesalahan. Orang-orang yang menginjakkan kaki di Jepang, mulai dari Bandara Narita dan Bandara Haneda, akan mendapati betapa kental nafas modernisasi Jepang, sama sekali tak tercium aroma kemerosotan sebuah negara yang termasuk sedang terpuruk yang tak dapat ditutup-tutupi.

Eamonn Fingleton dari surat kabar New York Times menjelaskan, Jepang yang hilang hanyalah suatu mitos, Jepang selalu menjadi pengguna dan pendorong utama produk baru, selama dasawarsa yang hilang itu, rata-rata pembangkit listrik per kapita di Jepang adalah dua kali lipat dari AS; pasca abad ke-21, kecepatan rata-rata pembangkit listrik per kapita di Jepang masih terus melampaui AS. 

Artikel pada majalah Foreign Policy pun menyangkal sepenuhnya pemahaman orang pada umumnya, dan menilai bahwa pandangan yang mengatakan Jepang mengalami kehancuran ekonomi pada era 1990-an tidaklah tepat, karena tingkat produktivitas Jepang tidak merosot jauh dibandingkan periode sebelumnya, satu-satunya yang hilang bagi Jepang adalah “rasa bangga diri dan kepercayaan diri” dalam keajaiban ekonomi sebelumnya. Karena selama satu dasawarsa tersebut tingkat pengangguran di Jepang selamanya tidak tinggi, tingkat kejahatan tetap rendah, kesenjangan kaya miskin tidak mencolok, seluruh warga menikmati asuransi pengobatan, usia penduduknya tertinggi di seluruh dunia, ini jelas-jelas merupakan teladan bagi seluruh dunia, mengapa dikatakan “dasawarsa yang hilang”?

Sementara kondisi di Tiongkok bahkan jauh lebih buruk, sama sekali tidak bisa dibandingkan dengan Jepang. Di Jepang, investasi dan ekspansi perusahaan yang berlebihan pada masa itu menyebabkan efek gelembung di sektor properti dan pemborosan sumber daya, semuanya adalah perilaku perusahaan swasta, bukan perilaku pemerintah. 

Setelah perusahaan-perusahaan itu bangkrut, negara dan mayoritas warga Jepang tidak mengalami dampak secara langsung. Sebaliknya, masalah yang dihadapi Tiongkok justru disebabkan oleh pemerintah. Pemerintah daerah di berbagai tingkat di Tiongkok telah terlibat dalam pasar properti, hutang semua pemerintah daerah dan hutang platform investasi, serta leverage hutang yang tinggi akibat properti pada bank BUMN, semua itu adalah masalah yang ditimbulkan pemerintah. 

Dengan kata lain, juga menjadi masalah bagi seluruh rakyatnya. Perusahaan perwakilan yang menjadi kepanjangan tangan para elite PKT dan segelintir perusahaan properti meraup untung dari sana, tapi faktanya rakyatlah yang harus menanggung semua hutang itu, hal ini sama sekali berbeda dengan kondisi di Jepang.

Tentunya Tiongkok masih ada masalah lainnya. Tiga kereta pendorong perekonomian Tiongkok semuanya mati mesin; ekspor impor telah hancur, pembangunan infrastruktur berlebihan, dan konsumsi dalam negeri lesu, serta tingkat pengangguran kaum muda mencapai 50%, di Jepang sama sekali tidak ada masalah seperti itu. Taraf hidup dan tingkat konsumsi masyarakat Jepang selama ini tidak mengalami penurunan, juga tidak mengalami tingkat pengangguran yang begitu tinggi seperti di Tiongkok. Jepang memang mengalami perlambatan laju ekonomi selama sepuluh tahun, tetapi tidak mengalami masalah sosial yang serius. Setelah itu, lingkungan ekonomi Jepang mengalami perubahan yang stabil, perusahaan Jepang juga menyesuaikan kembali kondisinya selama periode tersebut, dan kembali meraih keunggulan serta kemajuan teknologi. Oleh sebab itu, bermacam-macam kondisi ini sama sekali berbeda dengan Tiongkok.

Penulis sayap kiri surat kabar New York Times yakni Paul Krugman dalam artikel berjudul “What Happened to Japan? And Is It Relevant to China?” dijelaskan bahwa belakangan ini Tiongkok berjalan terseok-seok, sebagian orang lantas bertanya, akankah Tiongkok mengulangi kesalahan Jepang. Jawaban Krugman adalah mungkin tidak akan — kondisi Tiongkok akan lebih parah. 

Terkait pengangguran di Jepang, Krugman menjelaskan, di era 1990-an abad lalu, tingkat pengangguran kaum muda (15-24 tahun) di Jepang memang agak meningkat, tapi tren peningkatan ini kemudian berbalik arah. Sedangkan Tiongkok sedang mengarah menuju perlambatan ekonomi, akan sulit bagi Tiongkok untuk menduplikasi kekompakan warganya, yakni kemampuan menangani pertumbuhan ekonomi yang rendah dalam kondisi tidak menyebabkan penderitaan berskala besar atau ketidak-stabilan dalam masyarakat. Jadi, Krugman menilai, dari segi ekonomi, Tiongkok tidak mungkin mengulangi kesalahan Jepang, kondisinya mungkin jauh lebih buruk.

Itu berarti, satu dasawarsa Jepang sebenarnya tidak begitu menakutkan, hanya pertumbuhan ekonomi Jepang yang sebelumnya sangat pesat menjadi agak lambat, sementara aspek kemanusiaan, sosial, inovasi industri, dan sistem politiknya tidak terdampak oleh perlambatan ekonomi. Justru sebaliknya, perindustrian Jepang telah kembali memposisikan diri, berupaya berinovasi, dan dengan stabil bertransformasi menuju titik pertumbuhan baru ala Abenomics

Jika dibandingkan, dasawarsa Jepang yang hilang, mungkin setara dengan kesulitan ekonomi di Tiongkok setidaknya selama dua puluh tahun, bahkan tiga puluh tahun, struktur sosial termasuk sistem politik Tiongkok kemungkinan akan mengalami perubahan yang mengguncang akibat depresi ekonomi kali ini. (sud/whs)