Ekspor Tiongkok Juli Anjlok, Analisis: Risiko Deflasi Memburuk

Jinshi – NTD

Ekspor dan impor Tiongkok turun selama tiga bulan berturut-turut pada Juli, dan penurunannya semakin melebar. Ekspor turun 14,5 persen YoY, dengan ekspor ke AS dan Uni Eropa turun lebih dari 20 persen. Para analis mengatakan bahwa ekspor yang lemah akan membuat perekonomian Tiongkok yang sudah rapuh berisiko mengalami deflasi.

Administrasi Umum Bea Cukai Tiongkok merilis data pada Selasa (8/8) yang menunjukkan bahwa total ekspor negara tersebut anjlok 14,5% pada Juli, penurunan terbesar sebulan dalam ekspor Tiongkok sejak wabah COVID-19 melanda  Februari 2020.

Ekspor Tiongkok ke Amerika Serikat dan Uni Eropa anjlok masing-masing 23 persen dan 21 persen, sementara ekspor Tiongkok ke ASEAN juga turun 21 persen.

Sebaliknya, ekspor Tiongkok ke Rusia melonjak 52% YoY pada Juli, menandakan pertumbuhan hubungan ekonomi dan perdagangan antara kedua negara di tengah-tengah perang Rusia-Ukraina dan sanksi Barat.

Namun demikian, para ekonom menunjukkan bahwa volume perdagangan antara Tiongkok dan Rusia hanya setara dengan sepertiga dari volume perdagangan antara Tiongkok dan AS. Oleh karena itu, peningkatan ekspor ke Rusia tidak dapat membalikkan tren penurunan volume ekspor Tiongkok secara keseluruhan.

Analisis menunjukkan bahwa inflasi global yang tinggi dan kenaikan suku bunga yang meluas membuat ekonomi Barat tidak memiliki momentum. Setelah epidemi, orang Barat telah mengalihkan fokus konsumsi mereka dari komoditas ke layanan, yang semuanya berkontribusi pada penurunan permintaan untuk produk Tiongkok.

Tang Hao, komentator urusan internasional berkata : “Kenaikan suku bunga The Fed yang terus berlanjut dan fakta bahwa sebagian besar negara di seluruh dunia menghadapi inflasi telah menyebabkan lemahnya permintaan pasar, yang merupakan salah satu alasan utama penurunan ekspor. Namun demikian, konfrontasi geopolitik  menyebabkan restrukturisasi global dari rantai pasokan dan ‘de-resking’ Tiongkok.”

Dalam hal tujuan ekspor, ekspor Tiongkok mengalami penurunan terbesar di Eropa dan Amerika Serikat, serta di Australia dan Selandia Baru, semuanya merupakan negara-negara besar yang sedang dalam proses menata ulang rantai pasokan mereka.

Tang Hao: “Dalam hal jenis barang yang diekspor, ekspor pakaian, tekstil, serta mesin dan peralatan Tiongkok menurun, mencerminkan lemahnya permintaan di pasar internasional, tetapi ekspor semikonduktor, tanah jarang, dan produk berteknologi tinggi semuanya anjlok hingga lebih dari dua digit, yang menunjukkan bahwa masyarakat internasional memindahkan Partai Komunis Tiongkok (PKT) dari rantai pasokan teknologi tinggi. Singkatnya, kenaikan suku bunga The Fed, inflasi internasional, dan runtuhnya hubungan eksternal PKT adalah ‘tiga kereta kuda’ yang meruntuhkan ekonomi ekspor Tiongkok.”

Untuk waktu yang lama, investasi asing, konsumsi, dan ekspor dianggap sebagai “tiga kereta kuda” ekonomi Tiongkok. Namun, kebijakan “nol-COVID yang keras selama epidemi menyebabkan penarikan investasi asing; sejak pencabutan pelarangan, tingkat pengangguran Tiongkok tetap tinggi, dompet masyarakat menyusut, belanja konsumen menjadi lemah; dan sekarang, ekspor menurun tajam, menambah kesengsaraan ekonomi Tiongkok.

Angka-angka Consumer Price Index (CPI) atau Indeks Harga Konsumen dan PPI (Producer Price Index) yang lesu pada Juni juga mencerminkan kondisi ekonomi Tiongkok yang stagnan.

Tang Hao: “Sekarang impor masih turun di Juli, yang menandakan bahwa Tiongkok tidak hanya akan mengalami konsumsi yang lebih ketat, permintaan yang lebih ketat, dan produksi yang lebih ketat, tetapi juga kemungkinan akan mengalami lingkaran setan deflasi, yang akan membawa ekonomi Tiongkok ke resesi yang lebih panjang.”

Pada  9 Agustus, Biro Statistik Tiongkok akan merilis indeks produksi dan harga konsumen pada Juli. Para ekonom khawatir bahwa data-data terbaru akan semakin merusak kepercayaan terhadap perekonomian Tiongkok dan menempatkannya dalam lingkaran setan “permintaan yang melemah dan harga-harga yang rendah saling mendukung.” (hui)