Bom Waktu sudah Berdetak, Beijing tak Berdaya

Zhou Xiaohui

Mungkin banyak orang telah merasakan, sepanjang tahun ini, khususnya sebulan terakhir, penguasa Beijing mau tidak mau harus menghadapi tantangan dan kondisi mengkhawatirkan yang berasal dari dalam maupun luar negeri, kesulitan yang dihadapinya bisa dirangkum dengan istilah yang beberapa kali disebutkan oleh Xi Jinping yakni “badai bergejolak”. Mengutip perkataan Presiden AS Biden dalam kegiatan menggalang dana kampanye pada 11 Agustus lalu: Tiongkok mengalami kesulitan, aspek ekonomi dan sosialnya mengalami banyak masalah, sekarang ibarat sebuah bom waktu yang telah berdetak. Detakan bom waktu apa saja yang sedang dihadapi Beijing?

Pertama adalah bom waktu di bidang ekonomi

Baru-baru ini, “percepatan” tiga aspek di dalam maupun luar negeri, besar kemungkinan akan memicu situasi ekonomi yang ekstrem kacau bagi Tiongkok.

1. Internasional: AS Percepat Cekik Beijing di Bidang Teknologi Tinggi, Percepat Decoupling Ekonomi Dengan RRT

Pada 12 Agustus malam hari waktu AS, Wakil Presiden ROC (Taiwan) Lai Ching-Te tiba di New York, kedatangannya disambut meriah oleh warga Taiwan dan juga sejumlah tokoh Tionghua dari seluruh penjuru AS. Ini menandakan AS sama sekali tidak mengindahkan peringatan Beijing pada minggu sebelumnya, dan seperti biasa mengizinkan kedatangan Lai, yang baru saja berkunjung ke Paraguay. Seperti biasanya, Beijing pun melontarkan “protes keras dan kecaman” melalui Kemenlu-nya, dan menghujat Lai Ching-Te bahwa ia adalah “pembuat masalah” sesungguhnya.

Soal Lai datang mampir di Amerika, walaupun membuat Beijing berang, tapi karena sudah diduga sebelumnya, tentu tidak begitu menyakitkan, tetapi perintah eksekutif yang ditandatangani Presiden Biden pada 10 Agustus lalu mengenai pembatasan investasi di bidang tertentu terhadap Tiongkok, lagi-lagi ini menjadi pukulan keras bagi Beijing.

Menurut definisi World Bank, negara yang PDB-nya rata-rata 10.000 dolar AS, dengan biaya hidup sehari-hari warganya kurang dari 5,5 dolar AS (82.719 rupiah), maka tergolong negara miskin. Berdasarkan kriteria ini, lebih dari 40% penduduk Tiongkok hidup dalam kondisi miskin. Foto: warga pendatang yang hidup sebagai pemulung di samping rel kereta api di Wuhan. (China Photos/Getty Images)

Menurut perintah eksekutif tersebut, mulai 2024, warga AS dilarang berinvestasi pada perusahaan RRT yang bergerak di bidang pengembangan semi konduktor dan mikroelektronik, teknologi informasi kuantum, dan juga bidang AI, sedangkan bidang teknologi lainnya diharuskan untuk dilakukan pemeriksaan lebih dulu oleh Kemendag AS. Makna larangan transaksi ini adalah larangan serempak terhadap investasi, teknologi, dan juga produk. Melarang warga AS dan penduduk permanen berpartisipasi dalam transaksi yang dilarang AS, dengan kata lain, perusahaan induk maupun perusahaan pemegang saham AS termasuk dalam larangan. Bagi yang melanggar akan digugat dengan tuduhan membahayakan keamanan nasional.

Dengan kata lain, dengan dikeluarkannya perintah eksekutif ini, dan demi memenuhi standar tersebut, maka perusahaan, lembaga penelitian, dan investasi AS akan mempercepat menarik investasinya dari perusahaan Tiongkok dan segera hengkang dari Tiongkok, ini berarti Tiongkok akan segera decoupling dengan luar negeri dalam tiga bidang teknologi penting ini. 

Decoupling investasi, teknologi, dan produk dari ketiga bidang utama ini, dampaknya bagi perkembangan militer dan ekonomi PKT tak perlu dikatakan lagi, karena suku cadang dan cip pada banyak produk Tiongkok harus didapatkan dengan membelinya dari perusahaan AS dan Eropa. Soal “penelitian dan pengembangan mandiri” yang diserukan oleh petinggi Zhongnanhai, tidak akan dapat terealisasi tanpa adanya investasi dan akumulasi selama beberapa dekade.