Azerbaijan Kerahkan Pasukan ke Nagorno-Karabakh, Pasukan Perlawanan Tiba-tiba Menyerah

Setelah baru-baru ini Azerbaijan  meluncurkan apa yang disebut misi “anti-terorisme” di wilayah Nagorno-Karabakh yang disengketakan,  mengakibatkan sedikitnya 200 orang tewas dan lebih dari 400 luka-luka. Pemerintah setempat  menyatakan bahwa operasi perlawanan telah gagal dan menyerah. Ini adalah pertama kalinya dalam beberapa dekade Azerbaijan kembali menguasai wilayah Nagorno-Karabakh. Kekalahan ini membut ribuan pengunjuk rasa berkumpul di ibu kota Armenia, Yerifan pada 20 September untuk mengutuk penyerahan pemerintah kepada Azerbaijan

NTD

Baru-baru ini, Azerbaijan memberikan perlawanan keras di wilayah Nagorno-Karabakh dengan mengirimkan pasukan untuk mencoba menundukkan wilayah yang memisahkan diri dengan paksa. 

Gegham Stepanyan, Pemantau Hak Asasi Manusia Distrik Nagorno-Karabakh, menyebutkan di media sosial bahwa sedikitnya 200 orang tewas dan lebih dari 400 orang terluka.Di antara korban tewas terdapat sedikitnya 10 warga sipil dan 5 di antaranya adalah anak-anak.

Kantor Berita Central News Agency Taiwan mengutip Agence France-Presse yang mengatakan bahwa otoritas  Nagorno-Karabakh mengeluarkan pernyataan di media sosial yang mengatakan: “Melalui mediasi markas besar pasukan penjaga perdamaian Rusia yang ditempatkan di wilayah Nagorno-Karabakh, kedua pihak mencapai kesepakatan pada pukul 13.00  20 September 2023, akan ada penghentian total permusuhan mulai pukul 09.00 GMT).”

Pernyataan itu juga menyebutkan bahwa pasukan separatis telah sepakat untuk membubarkan seluruhnya dan menarik seluruh peralatan berat dan senjata militer dari wilayah Nagorno-Karabakh.

Isi pernyataan  juga menyatakan bahwa seluruh angkatan bersenjata Armenia akan mundur dari wilayah yang dikuasai pasukan penjaga perdamaian Rusia.

Kegagalan perlawanan ini mengejutkan dunia luar dan merupakan kemenangan besar bagi Presiden Azerbaijan Ilham Aliyev.

Aliyev, Presiden Azerbaijan. (MIKHAIL METZEL/SPUTNIK/AFP melalui Getty Images)

Aliyev berupaya mengembalikan wilayah Nagorno-Karabakh di bawah kendali otoritasnya . “Karena keberhasilan tindakan anti-terorisme di wilayah Nagorno-Karabakh, Azerbaijan telah memulihkan kedaulatannya,” katanya dalam pidato yang disiarkan televisi, seraya menambahkan bahwa pasukan separatis sudah mulai mundur.

Wilayah Nagorno-Karabakh terletak di dalam wilayah Azerbaijan. Daerah pegunungan ini berpenduduk mayoritas orang Armenia. Sejak runtuhnya Uni Soviet, dunia internasional telah mengakui wilayah ini sebagai wilayah Azerbaijan, namun kelompok perlawanan lokal masih aktif. Kedua  pihak telah melaporkan pelanggaran hak asasi manusia selama konflik yang telah berlangsung selama bertahun-tahun.

Sehari setelah Azerbaijan mengumumkan peluncuran operasi militer, otoritas Baku dan otoritas Armenia di wilayah Nagorno-Karabakh mengumumkan bahwa kedua belah pihak telah mencapai kesepakatan gencatan senjata melalui mediasi pasukan penjaga perdamaian Rusia.

Berdasarkan perjanjian gencatan senjata, kelompok separatis mengatakan mereka telah menyetujui pembubaran tentara sepenuhnya dan Armenia akan menarik semua pasukan dari wilayah Nagorno-Karabakh.

Kementerian Pertahanan Azerbaijan menyatakan bahwa “semua senjata dan senjata berat harus diserahkan” di bawah pengawasan 2.000 pasukan penjaga perdamaian Rusia yang ditempatkan di sana.

Kedua belah pihak menyatakan bahwa pembicaraan mengenai penggabungan wilayah yang memisahkan diri ini ke wilayah lain Azerbaijan akan diadakan di kota Yevlakh pada  21 September.

Penasihat kebijakan luar negeri Aliyev, Hikmet Hajiyev, berjanji untuk memberikan jalan yang aman bagi kelompok separatis yang menyerah dan mengatakan pihak berwenang Baku mengupayakan “reintegrasi secara damai” terhadap orang-orang Armenia di Nagorno-Karabakh serta mengabaikan orang-orang Armenia karena dituduh ingin melakukan “pembersihan etnis” di Nagorno-Karabakh.

Rakyat Armenia menuduh pemerintah gagal bertahan dan menginginkan perdana menterinya mundur

Reuters dan media Eropa Timur NEXTA melaporkan bahwa ribuan pengunjuk rasa berkumpul di Republic Square di pusat kota Yerevan pada 20 september, banyak yang menuntut pengunduran diri Perdana Menteri Armenia Nikol Pashinyan.

Armenia yang dipimpin Pashinyan kalah dari Azerbaijan pada perang 2020, dan kini kekuasaan Armenia di wilayah Nagorno-Karabakh telah runtuh.

Perdana Menteri Armenia Pashinyan. (KAREN MINASYAN/AFP melalui Getty Images)

Wartawan AFP melaporkan secara langsung bahwa banyak orang yang berpartisipasi dalam protes mengibarkan bendera distrik Nagorno-Karabakh di Yerifan. Para pengunjuk rasa melemparkan botol, kaleng dan batu ke arah polisi. Beberapa orang bentrok dengan polisi, sementara yang lain bergerak menuju Lapangan Republik. Sejumlah benda seperti Botol, kaleng dan batu dilempar ke kantor perdana menteri.

Polisi menggunakan bom kejut, menangkap pengunjuk rasa dan memperingatkan mereka akan mengambil “tindakan khusus” jika bentrokan terus berlanjut. Polisi anti huru-hara menutup kantor-kantor pemerintah, dan truk-truk militer diparkir di dekat Lapangan Republik, dikelilingi oleh banyak pasukan keamanan.

Seorang pengunjuk rasa berbicara dengan polisi Armenia selama demonstrasi di pusat kota Yerifan pada 20 September 2023. (KAREN MINASYAN/AFP melalui Getty Images)

“Kami ingin dia (Pashinyan) pergi,” kata seorang insinyur berusia 32 tahun. “Bagi seorang pemimpin yang kalah perang, pergi akan lebih baik daripada tetap tinggal.”

Ia mengatakan kekalahan itu semakin menyakitkan karena Armenia sudah lama berperang demi Karabakh.

“Ini adalah sesuatu yang telah kami perjuangkan setidaknya selama 30 tahun, namun sekarang semuanya sia-sia.”

Politisi oposisi memberikan pidato di panggung yang mengecam Pashinyan, yang berkuasa pada revolusi tahun 2018. Pashinyan juga berbicara pada rapat umum di alun-alun yang sama.

Pada 20 September 2023, pengunjuk rasa berkumpul di pusat kota Yerifan. (KAREN MINASYAN/AFP melalui Getty Images)

Pada 20 September 2023, polisi Armenia menahan seorang pengunjuk rasa di pusat kota Yerifan. (KAREN MINASYAN/AFP melalui Getty Images)

“Kami membutuhkan Armenia untuk berjuang bersama Artsakh. Rakyat Armenia tidak dapat menerima negara lain, agama lain, mengapa kami harus melakukan ini? Mengapa Armenia harus menyerahkan sebagian dirinya kepada negara lain,” ujar seorang pelajar berusia 21 tahun.

“Artsakh” adalah nama Armenia untuk wilayah Nagorno-Karabakh. “Jika kami kehilangan Artsakh, kami akan kehilangan Armenia, karena Armenia akan menjadi yang berikutnya,” tambahnya.

Pengunjuk rasa lainnya mengatakan dia “sangat terkejut dengan invasi Azerbaijan ke Nagorno-Karabakh.”

“Saya pikir PBB, Amerika Serikat, Rusia bisa melakukan sesuatu, tapi saya sangat kecewa dan saya tidak melihat adanya harapan dalam solusi saat ini.”

Pada 19 September 2023, di pusat kota Yerifan, pengunjuk rasa bentrok dengan polisi saat menuntut pengunduran diri Perdana Menteri Armenia Pashinyan. (KAREN MINASYAN/AFP melalui Getty Images)