Jumlah Perumahan Kosong di Tiongkok yang Belum Dihuni Bahkan Lebih Besar dari 1,4 Miliar Penduduk

oleh Chang Chun 

He Keng, mantan wakil direktur Biro Statistik Nasional Tiongkok, baru-baru ini melontarkan kritik publik terhadap pasar real estate Tiongkok, dengan mengatakan bahwa perumahan kosong di seluruh Tiongkok tidak mungkin seluruhnya terisi meski Tiongkok memiliki 1,4 miliar penduduk. Industri perumahan harus bertransformasi sesegera mungkin. Beberapa pakar menunjukkan bahwa industri real estate Tiongkok sudah tidak ada harapan lagi.

Pada 23 September, He Keng berbicara tentang beberapa masalah yang sedang dihadapi oleh perekonomian Tiongkok saat ini dalam “Konferensi Pembangunan Ekonomi Riil Tiongkok” yang diadakan di Dongguan. Diantaranya, fokusnya adalah pada permasalahan yang ada di bidang real estate.

“Saat ini real estat sedang kelebihan pasokan, dan seberapa banyak rumah kosong yang tersedia di seluruh Tiongkok sekarang ini ? Angka yang diberikan oleh berbagai ahli pun sangat bervariasi. Tetapi yang pasti bahwa perumahan masih akan tersisa kalaupun seluruh 1,4 miliar penduduk Tiongkok mengisinya. Apalagi kalau menanti untuk dibeli oleh warga yang kebetulan membutuhkan rumah baru atau ekspansi ruangan, jelas tidak mungkin habis terjual. Oleh karena itu, perusahaan real estat harus bertransformasi dan mengambil inisiatif sejak dini,” kata He Keng, mantan wakil direktur Biro Statistik Nasional Tiongkok.

Reuters juga mengutip ucapan He Keng melaporkan bahwa beberapa ahli percaya jumlah rumah kosong di seluruh Tiongkok saat ini cukup untuk menampung 3 miliar orang.

Frank Tian Xie, ​​​​seorang profesor di Aiken School of Business di University of South Carolina mengatakan bahwa 10 tahun lalu, Tiongkok sudah punya rumah kosong untuk dihuni 300 juta penduduk yang belum terjual. Oleh karena itu, apa yang disampaikan He Keng itu sebenarnya bukan berita baru, namun hanya menunjukkan bahwa pejabat Partai Komunis Tiongkok telah memalsukan data.

“Lalu bagaimana hal ini bisa terjadi ? Itu terjadi lantaran PKT tidak mengikuti hukum pasar. Pemerintah daerah atau berbagai kelompok birokrasi atau kelompok kepentingan atau generasi merah kedua, dan para pemilik modal semuanya bekerja sendiri-sendiri, mereka semua menjual tanah di berbagai tempat untuk membiayai pembiayaan tanah, lalu terlibat dalam pengembangan real estat, memperkaya kantong pribadi masing-masing,” ujar Frank Tian Xie.

Perkembangan real estat Tiongkok tidak didasarkan pada permintaan, tetapi bergantung pada kerja sama antar pejabat PKT, media, dan perbankan untuk menggerakkan pasar real estat, menaikkan harga dengan mengorbankan pendapatan masyarakat Tiongkok demi mengisi pundi-pundi pribadi kelompok kepentingan PKT, sedangkan sisa utangnya biar diambil alih oleh pemerintah PKT atau menjadi gelembung real estat lalu pecah, yang mana kerugiannya juga akan dipikul oleh ratusan juta masyarakat awam, kata Frank Tian Xie.

David Huang, seorang ekonom di Amerika Serikat mengatakan : “Tiongkok sebenarnya tidak memiliki saluran investasi lain, karena bisnis yang enak, baik sudah dimonopoli dan dikoordinasikan oleh perusahaan milik negara, perusahaan yang dimiliki oleh pusat dan instansi yang berkoneksi. Pada dasarnya, warga sipil Tiongkok tidak punya pilihan lain. Jadi mereka terpaksa membeli rumah secara pasif, melakukan investasi dengan membeli rumah, saham.”

David Huang menjelaskan bahwa masalah besar lainnya di pasar real estat Tiongkok adalah tumpang tindihnya pungutan pajak real estat, yang mengakibatkan harga membumbung tetapi jaminannya rendah. Apalagi tidak seperti negara-negara Eropa dan Amerika Serikat yang memberikan subsidi kepada masyarakat miskin untuk menyewa rumah. itulah sebabnya situasi real estat menjadi demikian.

Menurut data dari Biro Statistik Nasional Tiongkok, jumlah penjualan perumahan komersial secara nasional dari Januari hingga Agustus tahun ini mengalami penurunan sebanyak 7,1% YoY.

Namun data yang diberikan oleh perusahaan BUMN Tiongkok China International Capital Corporation (CICC) tahun 2017 menunjukkan, bahwa tingkat kekosongan perumahan di perkotaan Tiongkok dalam arti luas dan sempit masing-masing adalah sebesar 16,9% dan 12,1%. Bahkan data dari Southwestern University of Finance and Economics menunjukkan angka sebesar 21,4%.

Pada Agustus tahun lalu, hasil survei yang dilakukan Shell Research Institute menunjukkan, tingkat kekosongan perumahan di Kota Nanchang, ibu kota Provinsi Jiangxi adalah 20%, dan di Kota Langfang, Provinsi Hebei adalah 19%.

David Huang berpendapat bahwa pembiayaan tanah telah menyebabkan perkembangan industri real estat yang terlalu panas, akibatnya adalah, kawasan pemukiman di banyak tempat, terutama kawasan dengan perkembangan ekonominya yang tertinggal kelebihan pasok perumahan.

“Pasar real estat Tiongkok mengalami ketidakseimbangan struktural. Di beberapa tempat, pasokan lokal tidak mencukupi, sementara di sebagian besar tempat lain pasokannya terlalu tinggi. Terdapat kelebihan real estat yang serius tanpa nilai tukar dan tanpa pengembangan dan nilai investasi,” kata David Huang.

Frank Tian Xie mengungkapkan bahwa Partai Komunis Tiongkok terus menggunakan gelembung real estate untuk menciptakan ilusi kemakmuran ekonomi Tiongkok dan menarik investasi asing, sehingga Partai Komunis Tiongkok tidak ingin memecahkan gelembung real estat. Namun sekarang jika PKT ingin melepaskan ikatan dan melakukan soft landing, ia memerlukan modal asing dalam jumlah besar.

“Industri real estat Tiongkok pernah sekali diselamatkan oleh modal dari Hongkong dan Taiwan, kemudian sekali lagi diselamatkan oleh modal dari Wall Street. Sekarang PKT sudah berhutang banyak pada Wall Street. Siapa lagi yang bisa menyelamatkannya ? Dunia ini sudah tidak ada lagi sumber pendanaan lain yang mampu menyelamatkannya,” ujar Frank Tian Xie.

Frank Tian Xie percaya bahwa sudah waktunya real estat untuk kembali ke nilai aslinya. (sin)