Jajak Pendapat Mengungkap Kekhawatiran Investor Global Terhadap Perekonomian Tiongkok di Tengah Krisis Real Estate

Sebanyak 34 dari 50 pengembang real estat swasta teratas di Tiongkok sejauh ini telah gagal membayar utang luar negeri mereka

Shawn Lin dan Lynn Xu

Berdasarkan sebuah jajak pendapat yang dilakukan oleh Bank of America pada September, krisis real estate yang sedang berlangsung di Tiongkok mengancam perekonomian negara tersebut, membuat banyak manajer investasi global menjadi waspada.

Jajak pendapat ini mensurvei 222 manajer investasi global dengan dana kelolaan $616 miliar dan menemukan bahwa para investor bersiap-siap menghadapi penurunan lebih lanjut di pasar saham Tiongkok.

Bank of America mengatakan bahwa sentimen “hindari Tiongkok” telah menjadi salah satu opini utama di antara mereka yang disurvei.

Sepertiga dari para manajer investasi yang disurvei menyebutkan bahwa real estate Tiongkok adalah sumber yang paling mungkin untuk “peristiwa kredit sistemik”, dua kali lipat persentase dari bulan sebelumnya.

Lebih dari seperlima responden mengatakan bahwa shorting ekuitas Tiongkok akan menjadi posisi yang paling padat di pasar keuangan.

Sementara itu, tidak ada satupun responden yang memperkirakan ekonomi Tiongkok akan membaik dalam 12 bulan ke depan.

Survei ini mencerminkan kekhawatiran bahwa krisis real estat terus memicu pesimisme tidak hanya mengenai stabilitas ekonomi Tiongkok, tetapi juga dunia, demikian dilaporkan Nikkei.

Krisis Real Estate

Li Hengqing, auditor senior dan direktur Institut Informasi dan Studi Strategis yang berbasis di Washington, berbicara kepada The Epoch Times tentang krisis real estat Tiongkok yang semakin memburuk.

Investor tidak akan mendapatkan uang mereka kembali setelah perusahaan properti gagal bayar, baik bunga maupun pokoknya.

“Uang [investor] tidak akan pernah kembali,” kata Li pada 15 September. “Begitu situasi ini terjadi, dampaknya akan sangat luas.”

Kebangkrutan Evergrande 

Pada 17 Agustus, raksasa properti pertama di Tiongkok, Evergrande Group, mengajukan perlindungan kebangkrutan di New York dan meminta pengadilan untuk mengakui rencana restrukturisasi utang luar negerinya. Langkah ini menggagalkan para kreditur untuk mengajukan tuntutan hukum terhadap Evergrande di Amerika Serikat atau membekukan aset-asetnya.

Utang Evergrande, menurut laporan hasil sementara perusahaan yang belum diaudit pada 27 Agustus, dapat mencapai 2,388 triliun yuan (sekitar 320 miliar dolar AS). Angka tersebut mewakili sekitar 2 persen dari PDB Tiongkok dan melebihi kekayaan Elon Musk, orang terkaya di dunia.

Pada 1 September, 34 dari 50 pengembang real estate swasta teratas di Tiongkok telah gagal membayar utang luar negeri mereka. Sebuah laporan dari Bloomberg mengatakan bahwa 16 perusahaan lainnya yang belum gagal bayar harus membayar $1,48 miliar dalam bentuk kupon atau pokok obligasi pada bulan September.

Demikian juga, perusahaan real estate milik negara, Sino-Ocean Group yang terdaftar di Hong Kong, telah menangguhkan pembayaran semua utang luar negeri, mengumumkan pada 15 September bahwa delapan dari sekuritas luar negerinya yang berdenominasi dollar AS telah ditangguhkan mulai pukul 9:00 pagi dan melakukan pembenahan secara keseluruhan. Delapan obligasi tersebut memiliki total nilai sekitar $3,92 miliar.

Pernyataan Sino-Ocean Group mengakui bahwa industri real estate dan pengembang Tiongkok telah menghadapi tantangan yang belum pernah terjadi sebelumnya terkait likuiditas dan pendanaan sejak paruh kedua 2021.

Industri real estate Tiongkok sedang runtuh, dan krisis keuangan sistemik memang telah meletus, menurut Li Hengqing. 

Salah satu pukulan mematikan bagi sektor real estat Tiongkok adalah harga rumah turun “setidaknya 5 persen hingga 10 persen dari harga asli dan, di beberapa tempat, hingga 30 persen,” katanya.

Keuntungan yang dibayangkan hilang semuanya, bersama dengan utang jumbo dan pembayaran yang harus dibayarkan untuk proyek, material, dan upah pekerja konstruksi, membebani seluruh industri real estate.

Penurunan industri real estat Tiongkok, menurut Li, juga disebabkan oleh penurunan drastis populasi Tiongkok dan konsumsi yang lemah karena kebijakan anti-COVID-19 yang ketat selama tiga tahun.

Profesor Xu Chenggang, seorang peneliti senior di Pusat Studi Ekonomi dan Institusi Tiongkok di Universitas Stanford, mengatakan bahwa runtuhnya sektor real estate Tiongkok “tidak dapat disembuhkan”, tidak peduli apa pun langkah yang diambil oleh pihak berwenang komunis Tiongkok.

Xu mengatakan bahwa jika pihak berwenang Tiongkok mencoba  turun tangan dan menyelamatkan pasar real estat, hal itu tidak akan berhasil.

“Jika pemerintah Tiongkok menyuntikkan modal ke perusahaan-perusahaan ini atau membebaskan hutang, atau sampai batas tertentu membekukan pasar untuk menjaga agar harga properti tidak jatuh, itu hanya akan menghasilkan pasar dengan harga tetapi tidak ada transaksi,” kata Xu kepada NTD TV berbahasa Mandarin pada 12 September.

“Karena tidak ada yang mampu membeli rumah dengan harga-harga tersebut, maka, tanpa menjual properti, pengembang tidak dapat membayar utang … Jadi, [PKT] tidak memiliki cara untuk menyelamatkan pasar,” kata Xu.

Melemahnya industri yang berhubungan dengan real estat – yang pernah menyumbang sekitar 25 persen hingga 30 persen dari PDB Tiongkok – memiliki dampak yang parah pada ekonomi Tiongkok, kata Xu.

Berdasarkan data tahun lalu, ia memperkirakan tahun ini akan ada pertumbuhan nol atau negatif dalam ekonomi Tiongkok.

Xin Ning berkontribusi pada artikel ini.