Tokoh Terkini : Sosok Politisi Asia yang Tegas Lawan Komunisme – Yoon Suk-Yeol

“Di tengah realitas perpecahan, kekuatan totalitarianisme komunis beserta kekuatan lain yang mengiringinya secara membabi buta, juga kekuatan oportunisme yang mengikutinya acap kali merekayasa, mempropaganda, dan menghasut untuk mengganggu masyarakat bebas dengan perang psikologis. Ini adalah cara mereka bertahan hidup.” 

Demikian disampaikan oleh Presiden Korsel Yoon Suk-Yeol pada Konferensi Unifikasi Kader & Komite Konsultatif Unifikasi Demokrasi Damai ke-21 yang diadakan di Wisma Kenegaraan Cheong Wa Dae (Cheong Wa Dae Yeong Bin Gwan, red.) pada 29 Agustus lalu.

Yoon Suk-Yeol yang gigih menentang komunisme merupakan satu lagi tokoh kuat politik Asia yang telah membuka pola baru geopolitik di kawasan Asia Pasifik, penerus mantan PM Jepang Shinzo Abe yang meninggalkan jalur diplomatik Jepang sebelumnya yang pro-RRT, dengan berani memperkuat militernya dan bersekutu dengan AS (Amerika Serikat) melindungi Taiwan. 

Dalam hal ekonomi ia juga berani melakukan decoupling dengan PKT (Partai Komunis Tiongkok), dalam hal politik ia bersekutu dengan AS dan bersahabat dengan Taiwan, mengesampingkan masa lalu dan membina kembali hubungan baik dengan Jepang, telah memperkuat rangkaian gugus pulau pertama pertahanan AS yang paling lemah dalam menghadapi Beijing.

Keturunan Keluarga Terpandang, Berkarakter Keras dan Lurus

Yoon Sok-Yeol adalah keturunan dari seorang jenderal Dinasti Goryeo bernama Yoon Gwan (Yun Gwan, red.), lahir pada 18 Desember 1960 di Seoul di tengah sebuah keluarga terpelajar, sang ayah, Yoon Ki-Joong, adalah seorang ekonom berprofesi sebagai dosen ilmu statistik di Yonsei University, pernah menjabat sebagai Direktur Asosiasi Ekonomi Korea, ibunya Choi Seong-Ja pernah mengajar di Ewha Women University Korsel. 

Sejak usia mudanya, Yoon Sok-Yeol telah memperlihatkan prinsip tidak takut pada kekuasaan, berani menegakkan keadilan, dan berpegang teguh pada kebenaran.

Pada 1979, Yoon Sok-Yeol diterima di Fakultas Hukum Seoul National University. Di saat ia duduk di perguruan tinggi, ia mensimulasi status seorang jaksa, menuntut vonis hukuman mati terhadap Chun Doo-Hwan, presiden kala itu, yang telah menindas Gerakan Demokratisasi Gwangju pada 1980. Untuk itu, ia terpaksa bersembunyi di kawasan Gangwon-Do.

Pada tahun keempat di Seoul University, Yoon Sok-Yeol lulus ujian pengacara putaran pertama, tapi tidak lulus putaran kedua. Setelah itu selama 9 tahun berturut-turut ia terus mengikuti ujian tapi selalu gagal, hingga pada 1991 baru berhasil lulus. Pada 1994, ia memulai karirnya sebagai jaksa.  

Selama menjabat sebagai jaksa segala tingkatan di kota Suwon, Seoul, dan lain-lain, banyak tokoh penting pernah digugatnya, di antaranya termasuk dua orang presiden, dua orang raksasa bisnis serta tiga orang kepercayaan atau kerabat presiden.

Saat di Suwon ia pernah menggugat orang kepercayaan mantan Presiden Roh Moo-Hyun yang bernama Ann Hee-Jung, mantan CEO Hyundai Motor Group yakni Chung Mong-Koo dan kakak dari mantan Presiden Lee Myung-Bak yang bernama Lee Sang-Deuk. 

Tahun 2016 pasca rumor sahabat baik Park Geun-Hye yakni Choi Soon-Sil yang melakukan intervensi pemerintahan terungkap, pada waktu itu Yoon Sok-Yeol menjabat sebagai ketua tim investigasi dalam kasus tersebut, dialah yang telah menahan Park Geun-Hye dan Choi Soon-Sil. Yoon juga menahan dan menggugat Wakil Dirut Samsung Electronics yakni Lee Jae-Yong. Lalu pada Mei 2017, Yoon Sok-Yeol telah merampungkan gugatan terhadap mantan Menhan Kim Kwan-Jin dan mantan Presiden Lee Myung-Bak.

Namun dalam proses penggugatan, Yoon Sok-Yeol pernah diskors dua kali karena telah menyinggung perasaan atasannya. Dalam proses investigasi terhadap kasus campur tangan Badan Intelijen Nasional dalam pilpres Korsel pada 2013, Yoon sempat diskors selama sebulan, dan pangkatnya diturunkan dari Kepala Kejaksaan Wilayah Suwon menjadi jaksa di kota Daegu.

Pada November 2020, Yoon Sok-Yeol kembali dikenakan skors 2 bulan akibat menginvestigasi mantan Menteri Kehakiman di masa pemerintahan Moon Jae-In yang bernama Cho Kuk. 

Walaupun dipulihkan lagi setelah ia memperjuangkannya, tapi setelah itu ia mengundurkan diri karena marah, serta lantas mencalonkan diri dalam Pilpres Korsel 2021 dan memenangkannya.

Tak Takut Sakit Sesaat, Pada Saat Berupaya Putar Balik Hubungan Ekonomi Korsel-RRT

Korea Selatan adalah sebuah negara kecil dengan sedikit sumber daya dan berorientasi pada ekspor. Selama dua dasawarsa terakhir, pertumbuhan ekonomi Korsel mengandalkan RRT (Republik Rakyat Tiongkok), ekspor ke Tiongkok mencapai rasio 25% dari total ekspor Korsel setiap tahunnya. 

Menurut data yang dilansir oleh Federasi Perusahaan Korea, dari 228 jenis produk yang paling besar impor dan ketergantungannya, sebanyak 172 jenis diantaranya berasal dari Tiongkok. Tidak sedikit bahan baku kimia dasar, lebih dari 90% juga berasal dari Tiongkok. Pada 2021 nilai perdagangan RRT-Korsel mencapai sepertiga dari total nilai impor Korsel.

Untuk melepaskan kendali RRT terhadap Korsel dari bidang ekonomi, selama masa kampanye pilpres pada Juli 2021 lalu Yoon Sok-Yeol telah mengemukakan industri semi konduktor Korsel seharusnya decoupling dengan daratan Tiongkok. 

Setelah menjabat sebagai presiden, ia secara aktif mendorong perusahaan Korsel agar melakukan “de-Sinifikasi”, dan dengan cepat mencari peluang di AS dan pasar negara lain untuk menggerakkan ekspor. 

Pemerintahan Yoon Suk-yeol juga bergabung bersama dengan AS dalam “Chip 4 Alliance” untuk mengepung Beijing. Mulai tahun ini, untuk pertama kalinya ekspor Korsel terhadap Tiongkok turun hingga hampir 20%, dan ekspor Korsel terhadap AS telah meningkat pesat dengan pertumbuhan sebanyak 51%.

Pada Juni lalu, Dubes RRT untuk Korsel yakni Xing Haiming di saat menemui pemimpin partai oposisi Korsel yakni Lee Jae-Myung, tidak hanya membujuk Korsel dengan skala tinggi, juga menyebutkan “Asalkan pihak Korsel meneguhkan keyakinan untuk bekerjasama dengan RRT, maka Beijing dipastikan terus berbagi keuntungan dari pertumbuhan ekonomi Tiongkok”, sekaligus juga mengancam Korsel agar jeli membaca situasi, “Perihal bertaruh AS akan menang dan RRT akan kalah, dipastikan akan menyesal di kemudian hari”. 

Terhadap hal ini, esok harinya Kemenlu Korsel langsung memanggil duta besar tersebut, dan melontarkan peringatan keras terhadapnya karena pernyataannya yang tidak pantas dalam konteks etika diplomatik serta campur tangannya terhadap urusan dalam negeri Korsel.

Yoon Suk-yeol tidak tergerak akan “keuntungan pertumbuhan ekonomi” RRT, bersamaan dengan derita sakit sesaat akibat merosotnya ekonomi ekspor, dengan berani Korsel berbelok arah. 

Jun Kwang-Woo selaku Direktur Institute for Global Economics (IGE) menyatakan, defisit perdagangan Korsel belakangan ini adalah “sakit akibat pertumbuhan” dalam proses melepaskan diri dari ketergantungan terhadap Tiongkok selama 20 tahun. 

Dalam proses ini, kondisi perusahaan pasca terlepas dari ketergantungan terhadap pasar di Tiongkok justru kinerjanya meningkat, Hyundai Motor Group adalah salah satu contoh tipikalnya.

Tahun 2016, pasar otomotif terbesar di seluruh dunia bagi Hyundai Motor Group adalah pasar Tiongkok, dengan memecahkan rekor penjualan tertinggi tahunan mencapai hampir 1,8 juta unit, tapi setelah itu akibat kontroversi THAAD perusahaan itu dikucilkan RRT, dan mengakibatkan penjualan di pasar Tiongkok selama 6 tahun berturut-turut terus menurun, hingga 2022, pangsa pasar Hyundai turun hingga hanya 1%. 

Akan tetapi, total penjualan global dua merek Hyundai Motor Group yakni “Hyundai” dan “KIA” pada 2022 mencapai 6,845 juta unit, untuk pertama kalinya menduduki posisi ketiga dunia setelah Toyota dan Volkswagen.

Akibat dampak dari krisis cip otomotif tahun lalu, penjualan pabrik otomotif lima besar dunia rata-rata menurun, tapi hanya Hyundai Motor Group merealisasikan 2,7% pertumbuhan positif. Tentu saja semua ini berkat kinerja Hyundai Motor Group di pasar luar negeri yakni AS dan Eropa. 

Surat kabar Korea Selatan Dong-A Ilbo memuat artikel yang menyebutkan, “Tanpa berniat mengurangi tingkat ketergantungan terhadap RRT yang tadinya bagaikan bencana, kemudian malahan membawa berkah bagi Hyundai Motor Group.”

Tak Takut Ancaman, Berani Injak “Garis Merah” PKT

Dalam masalah THAAD, Korsel terus mendapat ancaman dan tekanan dari PKT. Yoon Suk-yeol pun mengubah kebijakan “bertekuk lutut” pemerintahan Korsel sebelumnya, dan sama sekali tidak menghiraukan ancaman Beijing. 

Pada November 2022 sebelum menjabat sebagai presiden ia telah menyatakan bahwa dirinya bersikap terbuka atas rencana AS menempatkan lebih banyak sistem THAAD di Korsel. Pada 2022, berstatus sebagai presiden Korsel, Yoon Suk-yeol meminta AS memperluas penempatan THAAD.

Sistem THAAD adalah sistem pertahanan rudal di ketinggian yang dikembangkan oleh perusahaan Lockheed Martin Corp asal AS, yang dapat menghancurkan objek berbahaya di dalam maupun di luar lapisan atmosfir bumi. Korsel beranggapan sistem THAAD hanya sebagai tindakan defensif untuk mengantisipasi ancaman dari Korea Utara.

 Tetapi PKT menyebut jangkauan gelombang radar X-Band pada sistem THAAD itu dapat mencapai 2.000 km, tidak hanya dapat mengawasi Korea Utara, juga mampu mengawasi daratan Tiongkok, hal ini berarti telah mengancam kepentingan PKT, sehingga berupaya keras menentang dan melakukan tindakan balasan terhadap Korsel, termasuk yang disebut “larangan produk Korsel”, membatasi media massa beserta artis Korsel untuk beredar dan tampil konser di Tiongkok, melarang WN Tiongkok berwisata dan berbelanja di Korea Selatan dan lain sebagainya.

Pembalasan PKT menyebabkan hubungan RRT-Korsel menjadi dingin dengan cepat. Pada 2017, perusahaan Lotte Co. Ltd. Korsel setuju mengalihkan lapangan golf miliknya untuk dijadikan tempat membangun sistem THAAD, sehingga menuai berbagai macam aksi balas dendam dari PKT. Pada Juli 2022, Lotte dipaksa menjual gerai terakhirnya yang terletak di Kota Chengdu, Tiongkok, dan sejak saat itu telah hengkang secara tuntas dari pasar Tiongkok.

Terdesak akibat tekanan PKT itu, pada November 2017 pemerintah Moon Jae-In membuat pernyataan sikap “Three Nos and One Restriction”. Yang dimaksud “Three NOs” adalah tidak mempertimbangkan penambahan terhadap sistem THAAD, tidak bergabung dalam sistem anti rudal balistik AS, tidak mengembangkan aliansi militer trilateral AS-Jepang-Korsel; “One Restriction” adalah pembatasan penggunaan sistem THAAD yang telah ditempatkan di Korsel. “Three Nos and One Restriction” itu telah menjadi garis merah yang digariskan oleh PKT bagi Korea Selatan.

Setelah menjabat sebagai presiden, Yoon Suk-yeol secara tegas menyatakan “Three Nos and One Restriction” bukan janji yang diucapkan pihak Korsel, bukan pula kesepakatan yang dicapai Korsel dengan PKT, dan akan terus mendorong normalisasi penempatan THAAD. Hal ini membuat PKT berang namun tak berdaya.

Bersekutu Dengan AS Berteman Dengan Jepang, Hambat Ekspansi PKT

Kerenggangan Jepang-Korsel akibat dendam sejarah selama ini menjadi kelemahan mematikan bagi AS dalam membangun aliansi di kawasan Asia-Pasifik. Tetapi dalam menghadapi PKT sebagai ancaman terbesar terhadap kubu demokrasi dan tatanan internasional, Yoon Suk-yeol dengan berani mengesampingkan dendam sejarah dengan Jepang. 

Pada Maret tahun ini, dilakukan pertemuan bilateral dengan PM Jepang Fumio Kishida untuk pertama kalinya dalam 12 tahun terakhir. Ini juga bukan spontanitas yang dilakukannya, di masa kampanyenya ia sudah dengan jelas menyatakan sikapnya yang “pro AS dan Jepang, serta melawan RRT dan Korut”.

Pada April tahun ini, Yoon Suk-yeol berkunjung ke AS, ia bersama dengan pihak AS telah menerbitkan “Washington Declaration”, AS berjanji akan menempatkan mobilisasi kapal selam nuklir di sekitar perairan dekat Semenanjung Korea. Ini untuk pertama kalinya kapal selam nuklir strategis AS kembali ke Korsel setelah berakhirnya Perang Dingin pada 1991 lalu. 

Pada Agustus, ia kembali melangsungkan pertemuan tingkat kepala negara dengan Biden dan Kishida di Camp David yang memiliki makna tonggak sejarah. Membuat niat jahat PKT merusak aliansi AS dengan sekutu demokrasinya di Asia Pasifik dengan memanfaatkan konflik Jepang-Korsel menjadi sia-sia.

Dalam pertemuan di Camp David itu, ketiga pihak mencapai kesepakatan saling menghubungkan dan berbagi sistem intelijen, mengambil langkah besar membentuk aliansi militer trilateral yang paling ditakutkan oleh Beijing, serta terintegrasi dalam sistem anti-rudal AS. 

Yoon Suk-yeol juga menyatakan, dirinya berharap tahun depan akan menjadi tuan rumah bagi KTT tiga negara yang kedua. Mantan PM Jepang Shinzo Abe pada akhir 2021 pernah berucap kalimat yang paling dibenci PKT, yaitu: “Taiwan bermasalah, berarti Jepang juga bermasalah”.

Pada April lalu, saat diwawancarai Reuters Yoon Suk-yeol secara lugas menyatakan: Ketegangan Selat Taiwan timbul karena Beijing “berusaha mengubah keadaan dengan kekerasan”. Ia menjelaskan, masalah Taiwan bukan hanya masalah antara kedua daratan itu saja.

Tahun terpilihnya Yoon sebagai presiden bertepatan dengan 30 tahun dibangunnya hubungan diplomatik antara RRT dengan Korsel. Pada Maret 2022 lalu Xi Jinping di luar kebiasaan PKT, pertama kalinya mengatur pembicaraan di telepon sebelum Yoon Suk-yeol dilantik sebagai presiden, setelah itu Wang Qishan diutus untuk menghadiri upacara pelantikan Yoon pada 10 Mei, untuk menunjukkan sikap bersahabat. Tapi “itikad baik” Beijing itu tidak berpengaruh pada Yoon.

November 2022 pasca digelarnya Kongres Nasional ke-20 PKT, untuk pertama kalinya Yoon Suk-yeol berdialog tatap muka dengan Xi Jinping di tengah ajang konferensi G20. Masalah yang paling disoroti Yoon adalah ancaman nuklir Korea Utara yang kian menjadi-jadi, sementara Xi Jinping justru menitik-beratkan pada topik seputar ekonomi. 

Cara-cara lama PKT terhadap Korsel dengan “memberi wortel sembari dicambuk” sudah tidak berguna lagi. Bagi Yoon Suk-yeol yang sangat memahami komunisme telah dibuka sebuah jalan perkembangan baru terlepas dari RRT, dan bersama dengan AS –  Jepang serta negara-negara demokrasi Barat yang memiliki nilai universal yang sama, mereka secara bersama-sama mematahkan ancaman yang ditimbulkan PKT terhadap dunia. (Sud/whs)