Pengacara Hak Asasi Manusia Internasional : Pihak Berwenang Tiongkok “Sebenarnya Ingin Menyingkirkan Uyghur”

ANDERS CORR

Rezim partai komunis Tiongkok secara efektif menggunakan “kampanye misinformasi”  untuk  memberikan kesan yang baik pada genosida yang dilakukannya, menurut Omer Kanat, Direktur Eksekutif Proyek Hak Asasi Manusia Uyghur.

Informasi yang salah tersebut mencakup kunjungan pejabat asing ke tempat yang oleh rezim Tiongkok disebut sebagai “Daerah Otonomi Uyghur Xinjiang” dan sejumlah kunjungan ke luar negeri oleh orang-orang Uyghur yang diberangus dan hanya diperintahkan untuk mengatakan hal-hal baik tentang Xinjiang.

Sementara itu, rezim Tiongkok merelokasi ratusan ribu warga Uyghur dari kamp pendidikan ulang, tempat mereka menjalani program cuci otak, ke penjara negara dan pabrik kerja paksa di mana mereka dapat bekerja lebih dari 10 jam per hari di samping sesi indoktrinasi politik.

Warga Uyghur yang ditahan biasanya tidak diadili tetapi dijatuhi hukuman massal di sel yang penuh sesak. Hukuman sewenang-wenang yang berdurasi hingga 15 tahun ini didasarkan pada kunjungan orang- orang Uyghur ke luar negeri yang tidak bersalah, ketaatan beragama, atau, jika tidak, tuduhan dan kesak- sian palsu.

Sebagian besar dari antara 1 hingga 2 juta warga Uyghur, yang menurut perkiraan para ahli dan pejabat pemerintah ditahan, tampaknya masih ditahan oleh rezim tersebut. “Semua intelektual Uyghur,” misalnya, “Berada di penjara atau kamp konsentrasi,” kata Kanat kepada The Epoch Times dalam sebuah wawancara pada 26 September. Di kamp-kamp tersebut, terdokumentasikan kasus-kasus orang Uyghur yang menjadi korban pembunuhan, penyiksaan, dan pemerkosaan.

Menurut Kanat,  ada  sekitar 10.000 orang Uyghur di Amerika Serikat. Sekitar 500 kerabat mereka telah dibebaskan. Dengan asumsi populasi ini mewakili keseluruhan, maka sekitar 95 persen warga Uyghur yang ditahan masih ditahan, menurutnya. Beberapa dari mereka adalah orang lanjut usia dan diyakini telah meninggal di balik jeruji besi.

“Pelan-Pelan, Uyghur Akan Hilang”

Kanat mengatakan bahwa lebih dari 800.000 anak Uyghur dipisahkan dari orang tuanya di sekolah berasrama dan taman kanak-kanak yang dikelola negara. Mereka diberi nama baru yang bukan nama Uyghur dan akan dihukum jika menggunakan nama asli mereka. Anak-anak dilarang berbicara bahasa Uyghur atau menjalankan agama. “Sangat sedikit anak-anak Uyghur yang tinggal bersama orang tua mereka,” katanya.

Pada awal 2010, ada keluhan tentang sekolah berasrama yang tidak mengizinkan anak-anak berbicara bahasa Uyghur kepada orang tua mereka selama panggilan mingguan. Ketika orang tuanya dibawa ke kamp konsentrasi, anak-anak tersebut secara paksa dikeluarkan dari perawatan keluarga besar mereka, termasuk kakek-nenek, bibi, dan paman, menurut Kanat.

Kanat mengatakan, rezim Tiongkok memandang warga Uyghur sebagai orang asing yang tidak setia, yang jika terjadi perang, bisa dipersenjatai oleh Amerika Serikat dan berperang melawan Beijing. “Mereka sebenarnya ingin menyingkirkan Uyghur,” tegasnya.

“Mereka tidak bisa membunuh semua warga Uyghur sekarang. Ini adalah abad ke-21. Mungkin mereka tidak mampu membunuh, tapi mereka ingin menghilangkan identitas dan budaya Uyghur serta mengubahnya menjadi sesuatu yang lain.”

Tindakan pertama yang dipak- sakan oleh Partai Komunis Tiongkok kepada warga Uyghur di kamp pendidikan ulang adalah dengan mengatakan: “Saya tidak percaya pada Tuhan. Saya percaya pada Partai Komunis (Tiongkok),” katanya. Setelah asimilasi, orang-orang Uyghur dimaksudkan untuk berpenampilan Uyghur tetapi berpikir, hidup, dan bertindak dengan cara orang Tiongkok. “Mereka mungkin akan berubah menjadi orang Tiongkok,” katanya. “Perlahan-lahan, Uyghur akan hilang jika kebijakan ini terus berlanjut.”

Kanat mengatakan bahwa meskipun taktik Partai Komunis Tiongkok (PKT) telah berubah, niatnya untuk “menghilangkan identitas Uyghur” tetap sama. “Mereka berhasil karena tidak ada tindakan yang kuat dan terkoordinasi dari komunitas internasional.”

Angka kelahiran Uyghur turun

50 persen antara 2017 dan 2019, menurut Kanat, termasuk melalui sterilisasi paksa. “Sebagian besar laki-laki” yang subur telah berada di penjara, katanya. Ratusan ribu perempuan Uyghur dipenjara. Setiap wanita Uyghur yang berusia antara 18 dan 55 tahun diharuskan menerima metode kontrasepsi yang dimasukkan dokter yang disebut alat kontrasepsi dalam rahim (IUD), katanya.

Laki-laki Tiongkok etnis Han dari etnis dominan di Tiongkok melakukan perjalanan ke Turkistan Timur dan melakukan pernikahan paksa terhadap perempuan Uyghur setelah melihat iklan pemerintah komunis Tiongkok tentang “gadis Uyghur yang cantik”, kata Kanat. Perempuan Uyghur merasa terpaksa menikah dengan mereka karena jika mereka menolak, laki- laki tersebut dapat menuntut diskriminasi rasial dari wanita Uyghur terhadap pria Han. “Dia akan dihukum, atau keluarganya akan dihukum oleh rezim,” katanya.

Rezim juga memasukkan laki- laki Han ke dalam keluarga Uyghur melalui program yang diberitakan secara luas yang disebut  “menjadi keluarga”, termasuk mengatur tempat tidur di tempat tidur platform berukuran ruang tamu yang biasanya digunakan oleh seluruh keluarga Uyghur. Para “penjaga Han” ini akan mengamati, mencatat, dan melaporkan “anggota keluarga” mereka, yang berujung pada pemenjaraan anggota rumah tangga yang menjalankan praktik keagamaan, misalnya.

Program ini telah menyebabkan “banyak pelecehan seksual”, menurut Kanat. Seorang wanita yang diwawancarai oleh Kanat ha- rus mengancam akan bunuh diri untuk menghentikan “keluarga” yang agresif, katanya.

Genosida

“PKT mungkin ingin membunuh semua warga Uyghur tetapi tidak dapat melakukannya, mengingat kemungkinan adanya penolakan global,” kata Kanat. Namun, penindasan terhadap Uyghur sesuai dengan definisi genosida yang ditetapkan PBB.

Kantor Kanat di Washington tampak kecil dan sederhana: Sebuah meja, beberapa rak penuh buku, dan rak mantel kosong. Pria yang rambutnya mulai memutih dan serius ini memikul beban dunia di pundaknya serta sangat fokus pada genosida dan mereka yang terlibat dalam kejahatannya.

Kanat berterima kasih kepada Amerika Serikat karena menjadi satu-satunya negara yang secara resmi mengakui genosida dan mengesahkan dua undang-undang yang mendukung warga Uyghur, termasuk larangan terhadap barang-barang yang dibuat dengan kerja paksa dari wilayah Uyghur. Dia mengatakan, masih ada beberapa RUU lagi yang sedang dalam proses.

Selain itu, Perdana Menteri Turki juga menyebut penindasan tersebut sebagai “genosida”, mengecamnya di PBB, dan menerima ratusan ribu pengungsi, menurut Kanat.

Dari negara-negara G7, hanya Jerman dan Italia yang belum mengeluarkan mosi yang berpihak pada Uyghur. Tidak ada negara Muslim yang mengeluarkan undang-undang yang mendukung Uyghur. Arab Saudi justru melangkah lebih jauh dengan mendukung Tiongkok dalam sebuah pernyataan.

Kanat berpendapat bahwa Partai Komunis Tiongkok (PKT) mengambil inspirasi dari kurangnya tanggapan internasional terhadap genosida Rohingya di Burma (juga dikenal sebagai Myanmar). Namun, Beijing melakukan kesalahan besar dalam menerapkan tindakan tersebut terhadap warga Uyghur, bahkan dengan tujuan asimilasi. Warga Uyghur sudah melakukan asimilasi, termasuk melalui pendidikan bahasa Mandarin bagi anak-anak Uyghur, menurut Kanat, hal ini diperlukan untuk mendapatkan pekerjaan yang baik. Namun, penindasan yang hebat ini menyadarkan masyarakat Uyghur dan dunia akan ancaman Partai Komunis Tiongkok.

“Harapan bagi Kami”

Kanat mengatakan, ini adalah “harapan bagi kami” bahwa semua warga Uyghur sekarang tahu bahwa mereka berada di bawah ancaman. “Tidak ada lagi Uyghur yang memihak Partai Komunis Tiongkok,” katanya. Tak satu pun dari mereka ingin hidup di bawah sistem itu. Bahkan seorang gubernur Uyghur terkemuka dan pendukung pendidikan bilingual kini dijatuhi hukuman penjara seumur hidup, menurut Kanat. Bahkan warga Uighur yang atheis dan komunis yang memiliki pola pikir Tiongkok tidak dipercaya oleh rezim, katanya. Jadi, tidak ada lagi orang Uyghur yang berpihak pada Beijing. Tidak mungkin warga Uyghur bisa hidup bersama atau memercayai rezim tersebut.

Sejak 2010, negara-negara Organisasi Kerja Sama Shanghai (SCO) tampaknya memiliki kebijakan yang tidak menerima warga Uyghur, termasuk untuk bepergian.

“Saya dideportasi dari perba- tasan Kazakh pada 2010 karena mereka mengatakan Anda tidak diperbolehkan mengunjungi negara anggota SCO mana pun karena tekanan dari pemerintah Tiongkok,” kata Kanat.

Kanat sangat kritis terhadap kegagalan komunitas internasional untuk menghentikan  genosida. Dia kecewa ketika pejabat pemerintah Amerika Serikat melakukan perjalanan ke Tiongkok dan duduk “semeja” dengan para pemimpin Partai Komunis Tiongkok yang melakukan genosida. Ia mengamati bahwa upaya untuk “menormalkan” hubungan antara Amerika Serikat dan Tiongkok malah me- normalisasi genosida.

Ada beberapa cara yang bisa digunakan oleh pemerintah AS untuk melawan genosida, katanya. Jumlah individu dan perusahaan yang terkena sanksi kerja paksa hanya sekitar selusin, menurutnya, dan lebih banyak lagi pemimpin PKT, termasuk di tingkat kabupaten, provinsi, dan pusat, yang harus bertanggung jawab.

“Kami bisa memberikan ratusan nama,” ujarnya. “Ada ratusan kamp, yang masing-masing kamp berisi pejabat rezim yang bertanggung jawab.”

Di antara negara-negara G7 yang mengadopsi perjuangan Uyghur, Jerman dan Italia belum mengambil tindakan, karena parlemen mereka belum mengeluarkan resolusi yang mengecam “kejahatan terhadap kemanusiaan” ini, apa- lagi “genosida”. Kanat menjelaskan bahwa mereka mempunyai terlalu banyak bisnis di Tiongkok sehingga tidak dapat (atau kemungkinan besar tidak akan) mengambil sikap.

Ironisnya, menurut Kanat, pendekatan keras pemimpin PKT, Xi Jinping dalam memberantas budaya Uyghur justru berdampak sebaliknya. Orang-orang Uyghur sudah kehilangan budaya mereka, perlahan tapi pasti, karena untuk mendapatkan pekerjaan yang baik di Tiongkok mereka harus bisa berbahasa Han dan menjadi anggota PKT. Namun kunjungan Xi ke Xinjiang membuatnya bereaksi berlebihan. Ia menuntut percepatan asimilasi yang sudah terjadi. Hal ini menyadarkan masyarakat Uyghur dan dunia, yang mulai melakukan perlawanan, menurut Kanat.

Meskipun ini adalah masa-masa sulit bagi warga Uyghur, Kanat mengatakan, dia masih memiliki harapan karena masyarakat Uyghur terus bersuara, melawan, dan bekerja sama untuk memastikan kelangsungan hidup mereka dan masa depan yang lebih baik.

“Tetap saja, kami masih eksis di sana,” katanya. “Pemerintah Tiongkok masih belum mampu mengasimilasi kami.” (eko)